Alfiyah Untuk Ar Rahman

515 15 0
                                    


Lantunan Alfiyyah Ibnu Malik terdengar halus dari suara lembut gadis bermata seindah senja yang tengah duduk di gubuk pinggir sawah. Tak menghiraukan semilir angin yang memainkan jilbabnya. Bahkan riuh kicau burung yang terbang kembali ke sarangnya pun tak dipedulikannya.

"Ehm.. rajin amat neng," sapa seorang laki-laki berpakaian santri. "Dih, kebiasaanmu kelewatan amat kak. Udah mondok juga ndak ilang-ilang. Tetap ndak ngucapin salam wae" gadis itu sebenarnya kaget dan agak tersentak karena dari tadi dia sendirian. Jangan heran ya, gubuknya dekat rumahnya.

"Hahaha.. maaf maaf.. Assalamu'alaikum neng.. kaif khaluki?" Kata pemuda itu sembari duduk di sisi lain gubuk itu. "Wa'alaikumussalam kang santri. Ana bikhair wal hamdulillah" jawab gadis itu dengan senyum yang dibuat selebar mungkin.

Gadis berparas ayu itu bernama Wirda Ats Tsuraiyya. Gadis keturunan Jawa Sunda itu kini tengah duduk di kelas XI PAI MAN Trenggalek. Ia juga seorang santri kelas 1 Aliyah di Madrasah Hidayatut Thullab Kamulan, Trenggalek. Sedangkan pemuda itu bernama Muhammad Ahsan Al Fattah, yang kini sedang mondok di Ponpes Bahrul Ulum Jombang. Ia 2 tahun diatas Wirda. Dan dia sekarang tengah menikmati liburan akhir tahun pelajaran. Mereka adalah teman sepermainan sejak kecil. Rumah mereka yang berdekatan membuat mereka sangat akrab.

"Kapan pulang kak? Kok udah nyampe sini wae" tanya Wirda. "Tadi siang. Tadi lagi nikmatin senja eh nemu kamu di sini" kata Ahsan dengan santainya. "Nemu? Emang aku barang" kata Wirda sewot. "Kamu gak sadar? Kamu itu berlian Wirda. Dah cantik, rajin, ramah, tukang tidur lagi. Kurang apa coba? Hahaha" tawa pecah terdengar dari Ahsan. "Oh, terimakasih Ahsan tembem tukang ngabisin makanan orang lain" Kata Wirda sambil memperagakan gaya alay. "Dih, alay. Lagian aku dah ganteng plus atletis gini masih dibilang tembem" muka Ahsan sok ngambek sambil memegang pipinya yang dibuat gembul.

"Wirda.. kau tau, terkadang awan harus menghitam agar pelangi hadir menemaninya" suasana yang tadi penuh tawa sekarang berubah dan raut wajah Wirda menjadi datar. "Aduh kak, terkadang aku ingin memprogram otakmu agar tidak menyuruh mulutmu untuk mengatakan makna tersirat. Kata-katamu terlalu rumit untuk orang awam sepertiku" Wirda sungguh tidak mengerti setiap Ahsan mengeluarkan kata-kata kiasnya. Baginya kata kias bagaikan sobekan kertas kecil yang hilang di otaknya.

"Hahaha.. kapan kamu pintar jadi pujangga Wirda. Nama kamu Tsuraiyya kan, tapi kenapa belum ada bintang di otak kamu ya? Boro-boro bintang, lampu 7 watt saja masih belum mampir. Hahaha" tawa Ahsan pecah dan itu membuat Wirda menggerutu tak jelas.

"Ok ok.. sudahlah, ayo balik. Dah mau maghrib nih" ajak Ahsan. "Eh tunggu, lihat! Lihat! Bintang senja" kata Ahsan sambil menunjuk bintang itu. Sembari berjalan santai ia memejamkan mata. Bibirnya menciptakan lengkungan indah. Wirda sempat menyaksikan pemandangan ini sebelum pandangannya mengikuti pandangan Ahsan tadi. Wirda hanya menggumam "indah" untuk ciptaan Allah di ujung barat sana dan untuk ciptaan Allah di sampingnya.

"Fabiayyi alaa irabbikumaa tukadzdziban. Maka nikmat dari nikmat-nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan (wahai manusia dan jin)" Wirda menghirup nafas dalam-dalam sambil memejamkan matanya. Salah satu caranya menikmati surga dunia dariNya.

Ahsan menatap gadis di sampingnya itu. "Sungguh Maha Besar Engkau Ya Allah" batinnya. "Udah kali gak usah liatin kayak gitu. Gak ketemu setaun doang, kangen ya..?" Wirda membuka matanya dan menjahili Ahsan. "Dih, PD amat kamu. Bilang aja kamu yang kangen. Ya kan, ya kan?" Balas Ahsan. Wirda malah melipat tangannya ke dada, dia memang selalu kalah omong sama Ahsan.

"Hahaha.. finishin tuh cemberut. Aku balik dulu. Assalamu'alaikum" Ahsan berlari menuju rumahnya karena maghrib memang sudah tiba. "Wa'alaikumussalam, eh.. udah sampe rumah pula. Haduh galfok lagi nih" Wirda merutuki dirinya sendiri, kebiasaan gagal fokusnya memang susah diusir.

Alfiyah untuk Ar RahmanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang