Roma

51 6 0
                                    

Ku kaitkan jarum pada kain syar'i yang menutupi kepala, sambil tersenyum ke arah pantulan cermin. Lalu mengusap sedikit balutan make up tipis di wajah sawo matangku yang khas sekali dengan kulit-kulit orang Indonesia. Melihat sekali lagi ke arah cermin, "cukup", gumamku.

Sedikit perkenalan dariku.
Namaku Adila Ufairah, yang berarti adil dan berani. Mungkin kedua orang tuaku menginginkan aku mempunyai sifat seperti itu. "Karena hidup adalah pilihan, maka keadilan dan keberanian di perlukan dalam mengambil keputusan", salah satu kata-kata Ayah yang tak pernah bisa kulupakan.
Keluargaku adalah orang yang sangat sederhana tetapi mengedepankan Agama diatas segalanya. Itulah sebabnya juga dulu Aku dan Kakak ku disekolahkan di Pondok Pesantren untuk mengenal agama lebih dalam. Kakak ku sekarang sudah menjalani kehidupan baru dengan Suami nya, juga lulusan dari Pondok Pesantren yang sama.

Aku harap, aku bisa sepertinya. Berkeluarga dengan lelaki yang bisa menghantarkanku pada surga kelak.

***
3 Januari 2015

Ini adalah pagi yang cerah pada hari baru aku menginjakkan kaki di Kota Metropolitan milik Italia. Setelah tadi malam-waktu jakarta-pesawat yang membawaku meninggalkan tempat kelahiranku mendarat tepat di Bandara Leonardo da Vinci Fiumicino, empat puluh limat menit dari pusat kota Roma. Semerbak aroma lautan tercium tepat saat kujatuhkan telapak kaki menuruni tangga pesawat. Dengan langkah gontai, kubiarkan mataku merekam sekeliling bandara dengan orang-orang sibuk di dalamnya.
Sejenak aku berpikir apa yang bisa membawaku berdiri ditempat yang tak pernah ku pikirkan sekalipun sekelebat.

"Baik Dila, kamu sudah sejauh ini, jangan cepat menyerah!", bisikku pada diri sendiri.

Sambil menatap kertas yang kupegang semenjak tadi, aku mencari satu nomor kontak pada telepon genggamku yang bertengger di barisan huruf C.
Camela.
Ku tempelkan telepon genggam ke arah daun telinga menunggu jawaban suara diseberang.
"Selamat pagi Camela?", sapaku mendahului.
"Adila? Apa kamu sudah turun dari pesawat? Maafkan aku, hari ini jadwal sedang sibuk-sibuknya. Aku akan sedikit terlambat menjemputmu", dari balik suara Camela, terdengar suara ramai.
"Tidak perlu Camela, aku akan naik taksi. Aku juga sudah memegang kertas berisikan alamatmu disini, tak perlu khawatir. Pekerjaanmu adalah prioritas utama"
Sekitar satu menit percakapan via telepon dengan Camela, ditutup dengan permintaan maaf nya yang diucapkan berulang-ulang.

Tidak sulit mendapatkan taksi, karena loket informasi taksi masih berada di area bandara. Setelah menanyakan harga dan memberi alamat kepada petugas loket, aku segera mengikuti petugas yang menunjukkan dimana taksi yang akan ku naiki.
Jet lag.
Jarak yang akan ditempuh sekitar 25 kilo, cukup baik jika perjalanan ku habiskan dengan tidur. Mengingat selama 21 jam perjalanan dipesawat hanya kugunakan 4 jam untuk tidur, dan selebihnya membaca beberapa buku yang kubawa. Alunan musik beerirama tenang mulai terdengar lirih dari tape taksi, seolah mendukung mataku untuk terpejam lebih nyenyak.


Ku kerjapkan kedua mataku setelah mendengar ponsel ku berbunyi, terlihat ada satu pesan dari Camela beberapa menit lalu yang memberi tahu bahwa ia juga dalam perjalanan menuju rumah.
Mataku berputar melihat ke arah jam, hampir satu jam aku terlelap didalam taksi. Lalu melihat keluar jendela, taksi telah membawaku menuju pemukiman penduduk yang tertata rapi dengan rumah-rumah khas kota Roma.
Sedikit kusunggingkan senyuman, setelah taksi berhenti pada salah satu pekarangan rumah. Berbeda dengan gaya rumah lain yang di dominasi bangunan - bangunan tua, rumah ini lebih anggun dengan kebun bunganya. Inikah rumah Camela?

Aku turun dari taksi setelah membayar ongkos perjalanan dan mengucapkan terimakasih. Kulihat Camela melambaikan tangan di depan pintu ke arahku.
"Selamat datang di rumah ku yang sebentar lagi boleh kau anggap rumah mu Adila, mari masuk. Tidak kah hari ini sangat melelahkan bagi kita?", tanya Camela ramah. Aku hanya tertawa receh membalas perkataan nya sambil menarik koper ku mengikutinya.
Di balik pintu coklat rumah Camela, bagian dalam rumah terasa lebih menenangkan untuk tempat berpulang. Asap perapian di pojok ruangan membawaku untuk kesana sambil menjulurkan kedua tangan lalu mengusapkan ke pipi. Hangat.
Tak perlu lama, aku langsung menghampiri Camela yang sedang duduk di atas sofa ruang tengah.
"Aku hanya tinggal sendiri disini, sangat menyenangkan rasanya beberapa hari lalu kau memberi kabar bahwa akan kesini. Jangan canggung di rumahku. Seperti yang ku katakan tadi, kau boleh anggap ini sebagai rumahmu. Dan kalau kau perlu apa-apa, aku selalu siap, Adila."
"Terimakasih Camela, kamu sangat baik", jawabku disertai senyuman darinya.

Camela Davieg. Dia adalah teman kecil ku ketika di Jakarta dulu. Tepatnya ketika kami berdua saling bertetangga dan bersekolah di Sekolah Dasar yang sama. Tetapi, karena perceraian kedua orang tua Camela yang saat itu belum terlalu kami mengerti, ia dipaksa ikut bersama ibu nya pindah ke luar negeri.
"Tak perlu berlama-lama atas kesedihan rusaknya keluarga. Setidaknya, Mama masih membawa ku ikut bersamanya. Setidaknya, aku masih merasa diharapkan dalam salah satu dari mereka. Meskipun tidak dengan Papa." katanya ketika aku menanyakan kabar lewat email beberapa tahun setelah ia pindah.
Itulah salah satu yang aku suka dari Camela, belajar menerima, meskipun dengan usia yang saat itu masih belum terlalu mengerti dan masalah terus masuk dalam kehidupannya.

"Maaf Adila, setelah ini aku akan kembali ke kantor. Ada pekerjaan tadi yang masih belum ku selesaikan. Tidak mengapa kan kalau kamu dirumah sendirian?", kata Camela dengan terburu-buru mengambil tasnya. Setelah melihat senyuman dan anggukan dariku, ia segera keluar.

Aku menuju kamar yang tadi telah ditunjukkan oleh Camela, yang akan menjadi kamar ku tentunya. Kuliat jam tangan ku yang sudah ku atur sama dengan waktu Roma. Jam telah menunjukkan waktu shalat Dhuhur. Ketika aku membuka koper untuk mengambil mukenah, satu lembar foto terpampang diatas tumpukan barang-barangku. Seketika mataku meneteskan air mata.
Ayah, Dila rindu.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 07, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

different.Where stories live. Discover now