0: Perempuan Dari Air
Gabriel mendengar napas-napas yang tertahan di sepanjang akar-akar pohon raksasa Magnadia-pusat dunia Waldheim, yang saling lilit serta saling tindih. Kedengarannya seperti suara banyak orang yang bernyanyi pilu dengan bisikan tidak teratur, terperangkap di balik dinding kulit pohon yang tebal, berlumut, serta berbonggol-bonggol. Ketika dia duduk, bersandar pada salah satu bagian akarnya yang kuat sambil mencelupkan kaki ke permukaan air danau yang mengelilingi Magnadia, dia jadi berpikir apakah suara-suara yang didengarnya adalah detak jantung pohon itu.
Meskipun sudah cukup lama Gabriel memikirkan suara-suara Magnadia, dia tidak pernah mau bertanya pada orang-orang di sekitarnya. Sebenarnya, dia hampir tidak pernah berbicara sejak beberapa bulan terakhir. Ingatan Gabriel yang paling awal yang bisa ditelusurnya sendiri adalah ketika para prajurit Eurevail menemukannya terkapar di reruntuhan Vihnitsa dengan badan penuh luka. Dan itu persisnya sekitar lima bulan yang lalu.
Ingatan masa lalu Gabriel menghilang dengan meninggalkan lubang besar dalam hatinya, yang membuatnya merasa sesak setiap kali para biarawan dan biarawati yang baik hati mencoba membuatnya tertawa, setiap kali mereka mengajaknya mengobrol, atau setiap kali dia diajak berbaur bersama anak-anak seumurannya yang bermain dengan senang. Gabriel kecil, dengan sepasang matanya yang kosong, seolah imun dari perasaan-perasaan yang baik seperti kegembiraan atau bahkan rasa syukur, sampai akhirnya mereka semua menyerah dan membiarkan anak laki-laki itu selalu sendirian.
Kemudian pada suatu hari, Perawan Api melihatnya. Entah apa yang membuatnya tertarik pada Gabriel, hingga wanita itu mengangkatnya sebagai "calon orang kepercayaannya." Itulah yang dibisikkan orang-orang di sekitar mereka, meski Perawan Api sendiri bersikeras menyatakan Gabriel sebagai anak angkatnya. Sedangkan Gabriel sendiri entah bagaimana mengerti. Mungkin sebenarnya tidak etis bagi seorang wanita dengan posisi seperti dia untuk mempunyai anak, baik kandung maupun angkat. Pun Gabriel tidak pernah percaya bahwa wanita itu tulus padanya. Ada kepalsuan yang tidak bisa ditutup-tutupi dari cara berbicaranya yang lembut maupun tangannya yang mengelus-elus rambut kehitaman Gabriel. Tidak lama lagi, mungkin ketika dia sudah menjadi remaja, Gabriel merasa akan segera tahu apa tujuannya yang sebenarnya.
Anak itu mengayunkan kakinya sembari memejamkan mata. Permukaan air yang bening kehijauan membentuk lingkaran-lingkaran riak. Suara-suara yang tadi didengarnya menjadi makin jelas ketika benaknya juga makin terfokus, seolah-olah merupa pesan-pesan rahasia yang disampaikan dalam bahasa yang tidak dikenal. Sementara itu, ingatannya mengembara lagi dalam keheningan yang basah.
Dia seharusnya tidak berada di sini. Berkali-kali orang-orang mengingatkan, terutama kepada anak-anak, bahwa danau Magnadia itu tempat yang terlarang bagi awam. Ada pagar serta para penjaga lima kilometer dari tepian danau. Tetapi Gabriel tahu Perawan Api pergi ke tempat ini sedikitnya satu minggu sekali. Suatu hari, dia yang selama ini selalu memandangi Magnadia dari atas tempat-tempat tinggi dengan ingin tahu, tergerak untuk mengikuti dan menemukan celah kecil di sebuah sisi pagar yang tertutup pepohonan.
Danau itu tidak terlalu luas dan tidak terlalu dalam, dengan batang pohon raksasa Magnadia berdiri di pusatnya. Ada bagian kering berupa tumpukan akar-akar yang semakin besar dan berbonggol dalam radius satu meter dari batang pohon, yang bisa dicapai pejalan kaki dengan cara menyusuri bagian-bagian akar yang menonjol di atas permukaan air.
Kali pertama dia mengikuti Perawan Api, wanita itu berjalan menuju sebuah lubang gelap di antara jepitan dua akar besar. Agak mirip jalan masuk gua. Gabriel sebenarnya agak tertarik mengikutinya masuk, tapi kegelapan di depan sana entah bagaimana membuatnya takut. Maka dia membuat dirinya puas dengan berjalan-jalan di sekitar daerah yang kering, tempat untuk pertama kalinya dia mendengar suara-suara Magnadia ketika dia berusaha menikmati pemandangan perairan yang tenang.