"Aku gak setuju!"
Bentakan bernada kasar itu membuat Ridan menutup kedua kelopak matanya. Laki-laki yang masih memakai jas hitam eksklusif miliknya itu hanya bisa menatap putranya dengan pandangan sabar. Jika tindakannya gegabah, maka Hidan akan bertindak diluar logikanya.
"Apa secepat itu Papa melupain Mama?"
Pertanyaan yang dapat menceploskan hati Ridan itu hanya ditanggapi dengan kepalan tangan yang tertahan di sisi tubuhnya. Sekali lagi, Ridan tidak boleh keras dan gegabah dalam hal ini.
"Hidan. Tolong kamu ngertiin Papa. Kamu-"
"Apa?!" teriak Hidan. Tubuhnya berbalik dengan tatapan kedua mata yang memerah. Menahan emosinya mati-matian. Sama seperti Ridan. "Apa secepat itu hati Papa tergantikan yang baru?! Dua tahun gak cukup hanya untuk melupain kenangan sama Mama."
"Dua tahun hanya waktu yang terhabiskan untuk kepergian Mama." kata cowok yang memakai baju putih polos itu. Rambutnya yang berjambul kini sudah acak-acakan. Menambah kharisma yang tinggi untuk seumuran anak SMA. Kedua bola mata hitamnya itu kini menajam seperkian detik setelah melihat Ridan-Papanya melepaskan jas hitam itu.
"Walaupun mau gimana pun, Hidan gak akan setuju kalau Papa menikah sama wanita murahan itu!"
Bentakan yang bisa dikategorikan sebagai teriakan itu menggema di setiap sudut rumah. Seolah-olah memantul dari dinding satu ke dinding yang lainnya. Ucapan penuh penekanan tadi adalah awal dari dimana Hidan mulai berubah kembali.
Menjadi sosok yang mengerikan bagi semua orang.
Dia bisa saja menjadi kejam.
Seperti psikopat.
Tapi, Hidan menahan rasa itu.
Dia masuk ke dalam kamar dan membanting pintu coklat itu dengan kasar. Nafasnya memburu saat tau Papanya akan menikah dengan wanita lain.
Tentu saja Hidan tidak setuju.
Waktu dua tahun tidak cukup untuk Hidan melupakan Mamanya. Tidak, Hidan tidak akan pernah melupakan jasa Mamanya. Jasa yang tidak bisa Hidan balas sampai kapan pun.
Laki-laki itu melangkah ke arah meja belajarnya. Tanpa sengaja mata itu melirik sebuah cutter tergeletak di atas buku kimianya. Dengan perlahan namun benar-benar pasti, Hidan mengambil benda tajam iu dengan pelan.
Menatap benda itu dengan senyuman samar. Sudah lama Hidan tidak melukai dirinya sendiri. Kira-kira satu tahun yang lalu semenjak Hidan koma selama satu bulan penuh.
Kepalanya sedikit tertoleh ke arah pintu kamar yang tertutup rapat, seolah memastikan tidak akan ada orang yang akan masuk ke dalam kamarnya.
Dengan mantapnya, Hidan mendekatkan sisi tajam cutter itu ke arah lengannya. Mengiris kecil lengannya itu. Hidan meringis pelan. Cairan kental berwarna merah itu mulai mendesak keluar dari permukaan kulitnya. Membuat sebuah ukiran luka yang baru lagi.
Namun, semakin banyak darah yang keluar dari kedua lengannya, semakin gencar Hidan membuat ukiran luka di lengannya.
Dia semakin menekan goresan-goresan kecil itu. Menikmati setiap rasa sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Bajunya yang semula putih polos perlahan berubah menjadi bercak-bercak merah darah.
Hidan melepaskan cutter di genggaman tangannya. Dan berjalan terseok-seok disaat ia mendekat ke arah pintu balkon kamarnya. Baru saja dua hari tinggal di rumah besar ini sudah ada masalah lagi.
Lelaki itu membuang nafasnya secara kasar dan lengannya yang penuh darah itu menahan tubuhnya di penyangga balkon. Tapi, detik kemudian ia dikagetkan dengan kedatangan makhluk hidup yang entah datang dari mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unrequited
Teen Fiction"Dia adalah seseorang yang selalu ada untukmu, dan membuatmu bahagia, bahkan membuatmu tergila-gila, dan kamu tidak akan berhenti memikirkannya." Copyright © 2017, kacamatabermakna