-
Srastha berdecak kesal menatap ponselnya yang sedari tadi dia pegang. Sejak tadi malam dia mencoba menghubungi seseorang, tapi tidak ada jawaban. Ini mungkin sudah panggilan yang kesekian puluh kali. Dia kembali mencoba menghubungi nomor yang sama dan masih tidak ada jawaban lagi.Srastha mulai memijit-mijit keningnya. Berusaha untuk menenangkan diri. Tatapannya kini mengarah ke kaca bagian dalam mobil. Dilihatnya dirinya yang begitu pucat dengan kantung mata yang hitam.
"Stop, Tha. Sampai kapan lo terus-terusan jadi orang bodoh kayak gini?"
Kemarin kata Sarah -salah satu rekan kerjanya― akhir-akhir ini dirinya terlihat sangat pucat dan kurang fit. Padahal saat itu Sarah sudah memaksa untuk mengantarkannya pergi ke dokter. Tapi hal itu malah ditolak Srastha dengan alasan dirinya hanya kelelahan karena pekerjaannya yang selalu padat hingga membuat dirinya kurang tidur.
Sekarang, disinilah dirinya berada. Rumah Sakit Saka Bakti. Langsung saja Srastha membuka pintu mobilnya, memberanikan diri memasuki rumah sakit itu tanpa ditemani siapapun.
Rumah sakit itu terlihat sangat ramai siang ini. Banyak yang lalu lalang. Srastha berusaha sekuat tenaga agar tidak tumbang ketika memasuki rumah sakit itu. Bahkan sepanjang perjalanan tadi, bibirnya tak henti-hentinya memohon pada Tuhan untuk selalu menguatkannya.
Sesekali Srastha menelan ludahnya saat melihat anak kecil yang merupakan korban kecelakaan di bawa masuk ke ruang UGD menggunakan ranjang dorong oleh para perawat. Matanya tak kuasa melihat kepala anak kecil itu yang mengeluarkan banyak darah. Dengan rahang yang mengetat, Srastha memejamkan matanya. Dirinya mengiris dalam hati. Harusnya bukan hal itu yg dipedulikannya. Sungguh, dirinya tidak ingin tumbang saat ini juga.
Lalu Srastha membuka matanya. Mengalihkan tatapannya kemana pun, asalkan tidak ke arah anak kecil yang penuh darah itu. Tapi justru kini tatapannya mengarah pada seorang pria berjubah kedokteran yang tadinya melangkahkan kakinya lebar-lebar memasuki ruang darurat kini tiba-tiba berhenti.
Pria berumur 26 tahun itu lurus memandangi seseorang yang berdiri kaku di dekat pintu masuk rumah sakit.
Bersamaan dengan hal itu. Srastha hanya bisa diam. Tanpa suara. Tidak ada hal lain yang bisa membuatnya seperti itu sebelumnya.
Srastha berniat untuk pergi dari sini. Tapi belum sempat dirinya berjalan satu langkah kepalanya sudah berdenyut-denyut. Bahkan sekarang perutnya kembali mual. Pandangannya tiba-tiba buram dan tubuhnya langsung terjatuh di lantai rumah sakit. Dan suara yang terakhir didengarnya adalah suara teriakan pria yang memanggil namanya.
ϕϕϕ
Masih prolog, jadi masih narasi. Untuk dialog nanti di part selanjutnya pasti ada hahaha.
Cerita ini bolak-balik aku rombak. Nama tokohnya ada yang aku revisi, soalnya agak gimana gitu (?).
Di part selanjutnya, kita akan ketemu sama pasangan ini. Insyaallah semua konfik dan alur udah pas banget aku catet. Jadi semoga nggak aku rombak lagi kayak kemarin huhuhu 😢
Leave ur vomment ya...
Terima kasih!
KAMU SEDANG MEMBACA
Bingkai Masa Lalu
Teen Fiction"Semuanya nggak ada yang abadi. Semua yang dateng ngasih kemungkinan besar buat pergi." "Tapi ada juga yang pergi, tujuannya untuk kembali. Dan itu adalah perkataan lo. Right?"