Bara Api tak Menari Sendiri

21 0 0
                                    

"Sudah kubilang tadi Nak, ini Pekanbara. Jangan lagi sebut-sebut nama lamanya di sini. Ini tempat sakral, tak bisa kau nodai seenaknya dengan mulut kotormu itu!"

Padahal Hamid hanya kelepasan bertanya apakah dia dan peziarah-peziarah lainnya sudah sampai di Pekanbaru. Meski memang tak bisa dipungkiri lagi bahwa Pekanbaru masa kini tidak seperti dulu. Tidak bisa dibilang salah juga kalau Makmur dan tetua-tetua Penyembah Bara lain mengganti nama puing-puing kota ini menjadi Pekanbara. Lagipula di seantero Riau hanya mereka yang punya otoritas untuk mengganti nama tempat, orang, bahkan benda-benda seenak jidat mereka. Bukan diktator di Jakarta Positif yang menamakan dirinya Sang Maha Motivator. Bukan juga begundal-begundal yang membelah Tapanuli seperti kue tar, membagi kekuasaan di antara mereka.

Maka bisa ditebak bahwa kebanyakan Penyembah Bara bergabung semata-mata demi keamanan. Bukan dari monyet mutan yang bertebaran di rawa-rawa Bengkalis, melainkan dari siapapun, atau apapun, yang mengejar mereka. Hamid termasuk salah satu dari orang-orang terasing ini. Dia salah satu orang beruntung yang berhasil kabur dari Jakarta Positif. Lebih beruntung lagi karena dia berhasil tiba di Riau –banyak eksil Jakarta Positif yang terjebak perang sipil di Palembang atau diperbudak raja-raja kecil Jambi.

Dan benar saja, 8 bulan di sana (bila perhitungan para Penyembah Bara tentang kapan matahari terbit dan terbenam benar) Hamid aman. Kabut asap tebal yang menyelimuti Riau memang agak menyiksa paru-paru pada awalnya, tapi lama-lama dia terbiasa juga. Toh justru itu yang membuatnya dihindari orang biasa.

"Jangan melamun, Nak! Sudah waktunya jalan!" kembali Makmur menegur Hamid. Yang ditegur menggerutu tapi tak melawan. Maka semua peziarah meninggalkan reruntuhan rumah di tengah ilalang yang menjadi tempat mereka istirahat, melanjutkan perjalanan ke arah tujuan mereka: Bara Abadi, tempat pemujaan tersuci bagi para Penyembah Bara.

******

Para peziarah, dipimpin Makmur si berjenggot pembawa obor, sudah 3 hari berjalan dan mereka belum juga mencapai Bara Abadi. Ini karena Makmur tidak pernah berjalan lurus. Selalu mengikuti condong arah api obor. Kadang kiri, kadang kanan. Ada kalanya berputar-putar diiringi gumam kesal beberapa peziarah. Termasuk Hamid. Sekarang mereka ada di hutan dinding-dinding retak berlumut, berjalan menyusuri gang sempit beralang-alang. Kepala mereka lebih sering menunduk ke bawah dibanding melihat jalan di depan, menjaga agar kaki mereka tidak terperosok atau tersandung retakan beton yang menyembul. Untuk apa melihat ke depan kalau yang benar-benar terlihat hanya kabut asap pekat?

Makin lama berputar-putar makin sulit bagi Hamid menahan batuk. Tindakan yang hampir sama bahayanya dengan memberontak. Ini karena para Penyembah Bara percaya bahwa kabut asap merupakan penyuci badan dari setan yang akan keluar melalui batuk. 'Setan' ini dikeluarkan lewat upacara penyembuhan sekaligus inisiasi seseorang masuk ke dalam sekte, di mana si orang baru dibuat batuk rejan sejadi-jadinya. Setelahnya dia tidak diperbolehkan batuk lagi kalau tidak mau didakwa sebagai jelmaan setan sampai ke tulang dan dihukum mati.

Sial.

Hamid menggigit bibir bawahnya, masih berusaha keras menahan gatal dan dahak yang sudah seolah meletup-letup dalam paru-parunya. Dia lirik wajah peziarah-peziarah lain. Semuanya terlihat biasa saja, membuatnya makin bertanya-tanya. Otaknya mulai berhipotesa, mencari alasan yang paling membuat nyaman. Bisa jadi karena sebelum berangkat dia lupa batuk diam-diam seperti yang biasa dia lakukan, tapi soal itupun Hamid tak bisa memastikan. Lebih tepatnya takut memastikan. Dia lebih suka menyalahkan kabut asap. Atau Penyembah Bara. Atau Sang Maha Motivator. Siapapun yang bisa disalahkan asal bukan dirinya sendiri.

Maka dia putuskan untuk menyalahkan Tuhan karena tidak memberinya keadaan yang lebih layak. Pemikiran ini membuat nyaman, memabukkan bak candu, hingga dia hampir lupa akan batuknya. Dan untuk beberapa saat (mungkin belasan menit, mungkin satu jam, dia tidak bisa tahu) waktu berlalu lebih menyenangkan untuk Hamid.

"Kita sudah hampir sampai!" ujar Makmur kencang-kencang, nyaris berteriak, membuyarkan Hamid dari khayalan yang sedang asyik-asyiknya dan menjelang klimaks di mana dia membayangkan menantang Tuhan di suatu sabana luas membentang. Tapi dia tidak jadi kesal, malah menghela nafas lega sebab perjalanan yang buatnya bak komedi tidak lucu ini segera berakhir.

Lagipula tak sulit untuk mempercayai perkataan si pemimpin ziarah. Setelah lama berkutat di jalur-jalur sempit dikelilingi reruntuhan, mereka tiba di suatu lapangan luas beraspal dan berilalang jarang. Mungkin bekas bandara, pikir Hamid. Tapi tidak, bukan itu yang membuatnya percaya. Ada suatu suasana tak lazim di tempat itu: kedamaian. Walau sejak bergabung bersama Penyembah Bara sang pria tak pernah mendapat masalah serius ada saja yang membuatnya resah. Entah semacam ennui atau krisis jati diri yang biasanya dialami orang paruh baya. Mungkin saja musababnya adalah kehilangan cita-cita, meski Hamid tidak ingat pernah ingin menjadi sesuatu. Maka dia bertanya pada dirinya sendiri, kenapa bisa? Ada apa gerangan?

"Makin dekat ke Bara Abadi, hatimu akan makin damai, Nak!"

Lamunan Hamid buyar. Tergantikan lamunan baru, apakah Makmur bisa membaca pikirannya atau perkataan tadi sekadar kebetulan, gurauan Tuhan belaka.

"Maksudnya?"

"Sebentar lagi kau akan tahu kenapa."

Hamid ingin sekali bertanya lagi, namun dia tahu pertanyaannya tak akan terjawab.

******

"Sampai kapan kita harus berjalan?"

"Makin dekat, makin dekat."

Ketiga kali Hamid bertanya, ketiga kali pula jawabannya sama. Dia mulai frustrasi, bukan karena tak kunjung sampai, melainkan karena jalan yang ditempuh makin absurd. Mereka berjalan zig-zag dengan mata memerah. Kabut asap sekilas berubah ungu, lalu merah, lalu putih susu pekat. Bahkan Hamid merasa melihat seekor kuda terbang di hadapannya. Langkah mereka juga melemah, lunglai. Tungkai-tungkai Hamid mulai sulit digerakkan. Pikirannya juga makin liar. Sepanjang jalan sejak melewati bekas bandara pikirannya beralih dari mencurigai Makmur merencanakan sesuatu ke apakah berapa jumlah puting susu pada sapi betina, diselingi pertanyaan apakah kabut asap bisa memunculkan pelangi bila terkena hujan.

Dan akhirnya dari kejauhan terlihat bara api.

"Itu Bara Abadi?" tanya seorang peziarah di belakang Hamid. Makmur mengangguk. Maka mereka percepat langkah hingga tiba di depan api unggun besar itu. Hamid terkesiap. Ajaib sekali, pikirnya. Nyala apinya membumbung tinggi sekali, padahal tidak ada kayu bakar yang lumrahnya menjadi dasar api unggun. Di dasar Bara Abadi hanya ada tumpukan daun berbentuk mirip daun singkong. Dan anehnya lagi, warna baranya tidak kemerahan. Tidak pula kebiruan. Hijau. Seperti warna dahak. Seketika Hamid teringat gejala batuknya yang sempat dorman berjam-jam. Terlambat. Suara batuknya keras sekali terdengar, memecah keheningan. Sontak Makmur menatapnya nanar.

Bangsat!

Refleks Hamid mencoba lari. Naas, baru juga sejengkal dia tersandung. Tubuhnya oleng, terhempas ke depan. Ke arah Bara Abadi. Cepat-cepat dia menjauh namun apa daya api sudah menjalar ke sekujur tubuhnya, membuatnya menggeliat panik.

"Setan!"

"Mesias!"

Bara Api tak Menari SendiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang