Chapter 3

16 1 0
                                    


Belakangan ini aku sering melamun dan juga bercermin. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Nenek pun menjadi bingung karena tingkah laku cucu kesayangannya akhir-akhir ini. Nenek selalu mempunyai insting ketika aku sedang tidak dalam keadaan baik. Nenek menanyakan hal itu padaku, dan dengan ragu-ragu kuceritakan tentang hal itu. Satu hal yang menurutku lebih rumit dari untaian benang kromosom.

"Sejak kapan kamu merasakan hal itu?" tanya Nenek penuh antusias.

"Aku juga tak tahu pasti Nek, kapan tepatnya itu berawal. Semua ini mengalir begitu saja. Aku takut Nek, aku harus bagaimana sekarang?"

"Kenapa kamu harus takut, Lang? Yang namanya jatuh cinta itu adalah yang wajar. Menyukai seseorang itu gratis, tidak perlu biaya, tidak memandang apapun. Tapi mencintai itu juga harus ada batasnya. Jika orang yang kita cintai tak membalas rasa cinta yang kamu berikan, saat itu kamu harus berhenti mencintainya dan merelakan ia bahagia bersama yang lain, Lang." Nenek menjelaskan panjang lebar tentang filosofi cintanya itu.

"Aku takut, Nek. Aku belum bisa percaya dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan cinta."

"Pelangi, kenapa kamu tidak percaya dengan cinta? Apa kamu masih belum bisa menerima semua kenyataan ini? Kamu harus merelakan Mamamu. Biarkan dia pergi dengan tenang, dia pergi bukan karena kesalahan Papamu." Nenek berusaha untuk meyakinkanku.

"Tapi, Nek... Jika cinta itu memang ada, lalu kenapa Papa pergi meninggalkan Mama. Kenapa mereka berdua bisa bercerai? Dan kenapa juga Mama harus meninggalkan aku, Nek? Jika cinta memang ada, kehidupanku dan orangtuaku tak akan seperti ini, Nek." Aku memalingkan wajah agar Nenek tidak melihat mataku yang berkaca-kaca menahan tangis.

"Lang, kamu harus tahu satu hal. Cinta itu tidak akan bertahan selamanya. Masa kadaluarsa cinta itu mengikuti hukum alam dan tidak seorangpun bisa menghindari kenyataan itu. Cinta itu memang nyata, bukti rasa cinta Mama dan Papamu adalah dirimu sendiri. Kamu harus bisa merelakan Mamamu, agar dia tenang di alamnya yang sekarang. Dan kamu juga harus bisa memaafkan Papamu. Kepergian Mamamu itu bukan kesalahan Papamu dan tidak ada hubungannya dengan perceraian mereka, itu sudah takdir dari Allah. Papa dan Mamamu memutuskan untuk berpisah karena memang sudah tak bisa mempertahankan keutuhan cinta mereka. Sekarang, kamu sudah dewasa, Lang. Sudah sewajarnya kamu merasakan keajaiban cinta di kehidupanmu. Jangan jadikan kisah orangtuamu itu sebagai momok yang menakutkan dan membuatmu tidak percaya akan cinta." Suara Nenek terdengar sangat lembut.

Kulihat Nenek berusaha menyunggingkan senyum di wajahnya, walaupun aku tahu sebenarnya hati Nenek pun sedih mengingat peristiwa yang terjadi 10 tahun silam.

"Aku akan mencobanya, Nek. Aku izin pergi dulu ya, Nek. Kemungkinan aku akan pulang sore hari. Assalamualaikum..." kucium punggung tangan Nenek kemudian bergegas pergi meninggalkan rumah.

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan, Lang. Jangan pulang terlalu sore, ya!"

Saat itu umurku masih terlalu kecil untuk menarik kesimpulan dari suatu masalah, yang ada dipikiranku saat itu adalah Mama meninggal karena Papa. Sejak kepergian Mama, aku memang tidak pernah membahas tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Mama ataupun Papa.


Jejak Pelangi Di Langit ArgopeniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang