Hadian. Aku pernah mengenalinya dulu. Saat aku masih duduk di kelas 1 SMA. Aku gak pernah terlalu dekat dengannya sejak dulu, karena waktu pertama kali bertemu dengannya ia malah melihatkan raut gak sama sekali tertarik untuk sekadar berkenalan denganku. Jadi udah gak heran lagi kalau dia gak banyak akrab dengan orang-orang, sebab aku tahu ia memang bersifat dingin. Sangat dingin. Mirip es batu.
Aku memang anggota OSIS di sekolahku. Mengurus banyak program kerja dan bekerja sama dengan banyak pihak. Hingga berujung pada pensi sekolahku, acara terbesar yang dilaksanakan oleh OSIS SMA Laksana Nusantara setiap tahunnya.
"Vin! Dana udah turun semua? H-15 lohhh, lo nggak mungkin lupa, kan?" Ujar Andria setelah rapat mengenai acara pensi.
"Yaampun, kan udah gue bilang dari kemarin, yang belum turun cuma dana dari dua sponsor." Jawabku tegas.
"Terus yang dua lagi itu kapan?" Tanya Andria cemas.
"Besok atau paling lama lusa." Balasku datar.
"Udah ada perjanjian besok atau lusa bakal turun?" Andria bertanya lagi. Dia memang ketua pelaksana acara ini, dialah yang bertanggung jawab atas kelancaran dan kesuksesan acara pensi Laksana Nusantara. Wajar kalau dia yang benar-benar khawatir.
"Udah. Lo tenang aja. Oh ya, penampilan seni musik udah ada kabar kelanjutannya?" Tanyaku kemudian pada Andria.
Andria malah membalas dengan tatapan terkejut kemudian menepuk keningnya sendiri.
"Lah gimana sih?" Balasku."Anggota-anggotanya nggak ada yang ready terakhir gue tanya. Gue gak tanya lagi karna gue pikir lo udah urus." Andria kali ini menjawabku sambil menunduk.
"Kan gue sibuk sama dana, Dri. Aduh, lo mah....... "
"Tenang, anggota pemusik siap kok buat pensi. Kalian gak usah khawatir." Tiba-tiba seseorang memotong pembicaraanku dengan tema yang sama seperti yang sedang aku bicarakan dengan Andria. Aku langsung menengok ke arah orang itu cepat, lalu memalingkan wajahku kembali.
Tapi,
tunggu sebentar.
Siapa dia?
Aku berpikir sejenak. Siapa dia? Aku tak asing saat melihatnya. Akhirnya aku melihat lagi ke arah wajahnya. Dan.....Yak!
Itu Hadian."Serius?" Kali ini muka Andria benar-benar mirip orang dapet doorprize. "Kok lo bisa yakin banget?" Tambahnya.
"Iyaa, gue waktu itu coba buat koordinir anggota pemusik, terus mereka mau gue bantu aransemen. Mereka juga udah siap kok.." Ungkap Hadian santai.
"Thanks ya." Kataku yang saat itu juga langsung menarik tangan Andria dan menjauh dari tempat Hadian berdiri. Setelah jauh, aku kembali melihat ke arah tempatnya berdiri, dan ternyata Hadian sudah pergi.
"Lo kenapa sih? Mulai deh gak jelasnya." Andria menggerutu.
"Gapapa, gue males aja deket-deket sama dia." Jawabku singkat.
"Kenapa sih? Lo punya masalah sama dia?" Tanya Andria. "Dia baik banget gitu juga, ih." Timpalnya lagi.
"Gue balik duluan ya, Dri." Karena gak mau ditanya-tanya terus, akhirnya aku langsung pamit pulang duluan.
"Lah? Iyaudah deh, lo hati-hati, Vinn."
"Oke, lo juga ya."
Kenapa harus ketemu sama dia lagi? Kenapa gak orang lain aja. Ah, sudahlah. Untuk apa juga aku mikirin orang kayak dia? Tapi kenapa dia selalu sempat kebayang di otak ini? Apa kebanyakan makan micin ya, aduh. Aku gak boleh mikirin dia lagi, dia bukan siapa-siapa kecuali teman satu angkatan.
Aku setiap pulang sekolah memang selalu ikut kelas belajar tambahan di luar sekolah. Semua sahabatku, bilang kalau aku terlalu ambisius. Tapi aku gak pernah merasa 'terlalu'. Buatku semuanya normal karena aku adalah seseorang yang sangat memimpikan dan menginginkan semua cita-citaku jadi kenyataan.
Saat lelah menyapa kala senja, aku mendengar teleponku berdering beberapa kali. Tapi aku gak ada niat buat mengangkatnya atau sekadar melihat dari siapa telepon itu masuk. Sampai seseorang mengetuk kamarku keras.
"Vinna! Kenapa ngga diangkat aja sihh teleponnya. Berisik tau dari tadi!" Ibu ternyata sudah kebisingan dari tadi.
"Hehe, iyaa iyaa, buu. Nanti kalo bunyi lagi Vinna angkat." Jawabku spontan. Dan benar, teleponku berdering (lagi).
Kriiinggggg.. Kriiingggg....
*ceklik*"Ya, halo?" Sapaku yang langsung menempelkan layar teleponku di telinga tanpa melihat nomor yang masuk.
"Iya, ini Vinna kelas IPS kan?" Sekejap jantungku berhenti. Yang benar saja, suaranya sangat mirip dengan laki-laki yang ku temui siang ini.
Ya, Hadian maksudku.
Aku langsung buru-buru melihat nomornya, dan betul, hanya nomor tanpa nama. Karena aku memang gak pernah punya kontak Hadian sama sekali, lagi pula untuk apa? Tapi, dari mana ia bisa dapat nomor teleponku? Pasti ini ulah seseorang!
"Halo? Vinna? Vinn..." Astaga! Aku terlalu asik melamun, sampai gak sadar kalau dari tadi dia memanggilku.
"I.. Iyaa, iyaa. Ini siapa ya?"
"Ini gue, Hadian." Jleb. Ternyata dugaanku benar.
"Ada apa? Kok bisa dapet nomor gue??"
"Eh santai dong hehe, gue bakal kasih tau gue dapet nomor lu dari mana. Tapi......" Kenapa dia terdengar sangat santai? Ah, ada apa ini sebenarnya? Kenapa aku sangat penasaran?!
"Gausah tapi-tapian kenapa sih?!" Ku potong bicaranya dengan nada bicaraku yang mulai agak tinggi.
"Kok ngegas aja sih, mbak? Hehe. Gue kasih tau, tapi kalo besok lo mau ketemu sama gue di kafe yang di ujung jalan sekolah." Kali ini Hadian bertempo cepat, mungkin dia tak ingin ku sela lagi pembicaraannya.
Ah, mau ngapain sih dia ngajak ketemu? "Mau ngapain sih lo?" Balasku.
"Lo mau kan tapi? Gue anterin kok pulangnya." Katanya terburu-buru. Kemudian aku diam sejenak, berpikir. Untuk apa dia mengajakku ketemuan?
"Udah ya, gue tunggu balik sekolah besok. Bye!" tambahnya lagi.
*Tuut.. Tuut.. Tuut.. Tuut..*Ah! Sial, dia langsung menutup teleponnya. Padahal aku belum selesai bicara! Dasar laki-laki gak sopan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Penyesalan
Teen FictionBersifat keras itu kadang tidak menguntungkan diri sendiri. Namun juga kadang bisa membantu diri sendiri. Tetapi, karena sifatku yang terlalu keras, kini aku kehilangan apa yang harusnya menjadi milikku. Aku telah kehilangan sebagian nafasku. Aku t...