Satu surat kembali diantarkan.
Pemuda itu mengambil secarik amplop berisi surat. Dia sudah mengenal bentuk dan tulisannya. Terlalu seringnya surat itu diantarkan untuknya. Tak ada nama pengirim, tak ada alamat pengirim, hanyalah sebuah tulisan yang bertuliskan 'teruntuk Arvandi' yang tertera pada amplop surat. Tidak ada titel yang diberikan. Arvandi tidak pernah mengetahui pengirimnya, tak pernah tahu siapa yang memujinya sedemikian rupa, siapa yang mencintainya seperti itu. Menganggapnya begitu penting hingga menciptakan kalimat yang mau tidak mau menghiasi harinya.
Dihelanya nafas dalam-dalam. Surat yang baru saja diantarkan oleh petugas pos dibawa masuk ke dalam rumah. Pemuda itu menutup pintu, kaki telanjangnya menyusuri lantai berkeramik yang menjadi huniannya selama lima tahun terakhir. Ia sudah mandiri, sudah punya rumah sendiri dan bisa menghidupi dirinya sendiri. Namun dia juga merupakan orang timur yang masih tahu cara berterima kasih pada orangtua dan tidak langsung memutuskan tali kekeluargaan. Sesekali Arvandi akan pulang, saat dia punya cukup waktu libur dan istirahat dari pekerjaan yang melelahkan di rumah sakit dan klinik prakteknya.
Sofa empuk bercorak polkadot hitam putih menjadi tempat dijatuhkannya tubuh itu untuk kemudian disandarkan punggungnya pada sandarannya. Televisi yang ada di depannya masih menayangkan berita tentang berkunjungnya salah seorang pejabat negara pada daerah pengungsian namun sudah sejak tadi tak dihiraukan lagi oleh si empunya rumah karena bel yang membawakannya sepucuk surat yang kini di tangannya.
Menimbang-nimbang apakah akan dibacanya sekarang atau nanti, amplop putih itu diputar-putar di tangannya meski pada akhirnya dirobek juga sisi dari amplop dengan hati-hati agar suratnya tidak ikutan tersobek.
'Taman surga tengah menari.
Bersamaan dengan itu, sekelompok malaikat merayakan hari baru.
Merayakan mimpi dan impian yang merekah di pagi hari.
Bertabur cinta dan harapan yang membumbung tinggi hingga mencapai taman surga.
Mereka bersuka cita, menyambut apa yang dikatakan sebagai masa depan.
Harapanku sudah ikut terbang di langit sana.
Meski kukatakan pada diriku bahwa sayapku tak akan pernah membuatku mencapai nirwana, namun aku tahu sayapmu telah menggantikannya untuk memberiku harapan.
Tiap kali melihatmu mengibarkan sayap itu, dalam diriku muncul satu impian yang tak habis dimakan putus asa, menggantikan kekhawatiran yang telah lama bersarang, memberikan harapan baru untuk memulai masa.
Kau-di sana, tak perlu menjadi apapun. Terus saja melebarkan sayapmu.
Itu cukup untuk menjadikanku merasa 'ada'.'
Singkat.
Sesingkat itu. Tapi Arvan kehabisan kata-kata. Setiap hari selalu seperti ini. seperti membisikinya agar melakukan yang terbaik dalam hidupnya. Surat itu datang sejak setahun yang lalu, ketika dia baru saja kehilangan satu operasi penting dan pasien yang dirawatnya meninggal dunia. Depresi dan putus asa sempat menderanya, namun kemudian surat itu datang seperti sebuah penyemangat, harapan bagi dirinya.
Namun surat itu selalu berisi sama. Seperti memujanya, seperti keberadaan dirinya merupakan harapan dan inspirasi bagi penulisnya.
Siapa yang mengirimnya, Arvandi tidak pernah tahu. Namun siapapun yang menulisnya, memiliki perasaan kuat padanya, membuatnya ingin mengenal lalu mengetahui seperti apa dirinya dimata sang penulis-sang pemuja rahasia.
Dilipatnya surat yang ada di tangannya, dimasukkan kembali dalam amplop putihnya. Badannya diangkat dari sofa setelah mematikan kotak hitam elektronik di depannya. Di dalam kamarnya, ada satu laci yang kemudian digunakannya untuk menyimpankan surat yang diterimanya selama ini. Masih lengkap semenjak pertama kali diterimanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Siapa Gerangan Dirinya
Historia Corta"Kicau burung di malam hari, pernahkah kau mendengarnya? Bisikannya tidak sama dengan mereka yang berkicau di pagi hari. Memberikan penyambutan pada yang mengintip malu di singgasananya. Mereka menceritakan banyak hal. Termasuk kisahku. Kisah kita...