Seorang laki-laki dengan jas putih khas dokter memasuki sebuah ruang rawat intensif, dua orang paruh baya mengikuti di belakangnya. Mereka menghentikan langkahnya di samping sebuah bangsal dengan seorang laki-laki terbaring di atasnya. Di sisi bangsal itu terdapat papan identitas yang menorehkan nama Xi Luhan.
"Kondisinya masih belum ada kemajuan sejak pertama kali ia dirawat enam bulan yang lalu." Suara laki-laki yang mengenakan jas dokter itu mengisi ruangan. Sementara kedua orang lainnya menjawab dengan keheningan yang entah mengapa terasa dingin dan menyesakkan.
"Keputusan ini memang berat untuk keluarga, juga untuk pasien sendiri. Apakah pihak keluarga yakin akan mengambil tindakan euthanasia untuk pasien?" Suara dokter itu terdengar lagi.
"Kami akan mengambil tindakan tersebut." jawab salah seorang dengan nada lemah sembari memandangi wajah putra semata wayangnya yang terbaring tanpa jejak kesembuhan di atas bangsal. "Maafkan kami, Luhan." lanjutnya pilu, sambil menggenggam tangan sang putra. Disusul suara isakan dari seorang paruh baya lain yang kini merengkuh Luhan dalam pelukan, berharap dirinya bisa menggantikan posisi sang putra kesayangan.
"Kalau begitu, bapak dan ibu silahkan ikut saya ke ruangan dokter untuk melakukan pengurusan prosedur euthanasia." Suara si dokter bergema lagi, sebelum terdengar suara langkah kaki dan pintu yang berdecit membuka kemudian tertutup lagi.
Kini tinggallah Luhan yang masih terbaring diam, diiringi suara monoton dari mesin-mesin penunjang kehidupan yang ada di sekitarnya. Sejak enam bulan yang lalu, sejak mobil yang dikendarainya dihantam bus dan menyebabkan dirinya nyaris saja meregang nyawa, Luhan sudah terbaring di tempat ini. Entah sudah berapa kali prosedur operasi dijalaninya, pun berapa ratus suntikan obat dan cairan infus telah masuk ke dalam tubuhnya, kondisi vegetatif Luhan tak pernah menunjukkan perkembangan ke arah yang lebih baik.
Namun, semua orang tak pernah tahu bahwa dalam kondisi vegetatifnya laki-laki itu tetap bisa mendengar semua yang mereka ucapkan. Luhan bisa mendengar tiap tangis dan kalimat iba dari orang-orang yang menjenguknya, ia juga bisa mendengar semangat orang-orang yang berusaha agar ia tetap hidup hingga sampai semangat itu memudar dan berakhir dengan keputusan euthanasia yang baru saja ia dengar.
Luhan frustasi, tentu saja. Namun ia sendiri tak bisa bangun dan meneriakkan bahwa dirinya tak ingin menjalani prosedur euthanasia, bahwa dirinya masih ingin berjuang dan hidup. Ia harus pasrah dengan keputusan yang orang lain buat atas nama dirinya.
Di tengah rasa frustasi yang menyesakkan itu, Luhan mendengar pintu kembali berdecit terbuka dan suara langkah yang sangat dikenalnya terdengar, langkah gadis yang sangat ia cintai. Kemudian suara isak tangis yang tak ditahan-tahan lolos begitu saja dari bibir si gadis yang kini sudah bersimpuh di samping bangsal Luhan, menggenggam sebelah tangan Luhan erat dan membiarkan air matanya merembes mengenai kulit laki-laki vegetatif itu lewat sela-sela jarinya.
Luhan tahu benar penyebab gadisnya menumpahkan air mata frustasi, dan terkutuklah Luhan yang tak mampu melakukan apapun untuk menenangkan gadis kesayangannya itu. Ia berusaha mati-matian untuk menggerakkan tubuhnya, yang tentu saja hasilnya nihil. Namun ia lebih suka berusaha ketimbang hanya diam dan menghitung mundur sampai proses euthanasia atas dirinya dilaksanakan.
"Aku akan menemanimu selamanya.." sebuah kalimat lolos disela isakan gadisnya.
Belasan jam telah berlalu, kamarnya kosong dan terasa lebih menyiksa dari hari-hari sebelumnya. Tidak berapa lama kemudian pintu kamarnya berdecit terbuka dan langkah kaki terdengar. Ini bukan langkah kaki ayah dan ibunya, juga bukan langkah kaki gadis kesayangannya. Ini langkah kaki dokter, dokter yang mungkin akan mengeksekusinya tidak berapa lama lagi.
Luhan masih berusaha keras, ia berharap mendapatkan keajaiban di detik-detik terakhir atas perjuangannya selama enam bulan terakhir. Namun akhirnya ia hanya mampu pasrah ketika suara dokter itu bergema di ruangannya, "Pukul 09.00, prosedur euthanasia atas pasien Xi Luhan yang telah vegetatif selama enam bulan dilakukan."
Sebuah jarum menembus kulit Luhan dan cairan potassium chlorice mengalir di darahnya. Tidak menunggu banyak sekon berlalu, Luhan merasa tubuhnya mengejang sebentar kemudian jiwanya seperti ditarik keluar dari tubuhnya, diiringi bunyi panjang monoton dari mesin-mesin penunjang kehidupan yang masih menempel di tubuhnya itu.
Kini mata Luhan terbuka, ia melihat ruangan tempat ia di rawat selama enam bulan terakhir. Dan ketika Luhan menolehkan kepalanya ke belakang, ia melihat tubuhnya yang sudah terbaring tanpa nyawa beserta beberapa orang dokter yang kini sedang mencatat waktu kematiannya. Ia sudah meninggal, perjuangannya sudah selesai.
"Luhan.."
Sebuah panggilan akrab menyambangi rungu Luhan, ia menoleh secepatnya ke sumber suara dan mendapati seorang gadis bergaun putih berdiri di ambang pintu kamar rawatnya. Luhan begitu terkejut hingga ia tak sanggup merespon panggilan gadis itu, sebab gadis itu adalah gadisnya. Gadis yang kemarin baru saja menangis frustasi sambil mengenggam tangannya. Bagaimana bisa gadis itu kini berdiri di hadapannya, melihat dirinya yang sudah berwujud arwah?
Luhan melangkah hati-hati mendekati si gadis, mengangkat tangannya dan berusaha menyentuh pipi lembut gadis di hadapannya itu, "Hyerim-ah.. Bagaimana kau bisa-"
Si gadis yang baru saja dipanggil Hyerim itu menatap Luhan sambil tersenyum.
"Kau..."
Suara Luhan terhenti ketika sebuah bangsal dorong melaju di hadapannya dengan cepat, dan seorang gadis pucat dengan mulut mengeluarkan busa terbaring di atasnya. Lalu beberapa dokter menghampiri dan ikut berlari di samping bangsal itu, "Gadis ini kenapa?"
"Ia ditemukan di dalam bilik toilet, sepertinya ia meminum cairan pembunuh serangga."
Euthanasia
"Tentu saja mereka sudah terlambat."
Hyerim berkomentar ketika tidak lama kemudian sebuah bangsal dorong kembali melewati mereka, namun kali ini sebuah kain putih menutupi tubuh gadis tadi yang kini sudah terbaring tak bernyawa di atasnya.
"Hyerim-ah, gadis itu dirimu." Luhan terbata, dirinya menatap bergantian pada Hyerim yang ada di hadapannya dan tubuh tak bernyawa Hyerim yang terbaring di atas bangsal yang lewat.
"Ya, itu aku." jawab Hyerim tegas.
"Tapi, mengapa?" Kali ini Luhan mengalihkan atensinya fokus pada kedua manik Hyerim.
Hyerim balas menatap Luhan lembut, "Sudah kubilang, karena aku akan menemanimu selamanya."
fin.