1

47 8 4
                                    

Sepuluh tahun yang lalu. Saat itu umurku dua belas tahun, dan David belum genap delapan tahun. Kami diusir dari panti asuhan. Saat itu di kota ku sedang terjadi masalah keuangan yang sangat sulit, sehingga panti asuhan yang kami diami terpaksa menyeleksi mana anak yang dianggap layak untuk dipelihara, dan mana anak yang lebih pantas untuk di buang. Keputusan mereka bisa dibilang benar, karena aku dan David memang sudah terlalu sering tertangkap basah mencuri roti, bahkan berhasil mempengaruhi anak-anak yang lain untuk melakukan aksi yang kami lakukan.

Kadang-kadang aku dan David mencuri bukan karena kami menderita kelaparan hebat. Bagi kami kelaparan bukanlah lagi menjadi suatu penderitaan, tapi sudah menjadi kebiasaan. Alasan utama aku dan David mencuri roti tidak lain tidak bukan, adalah karena sangat senang melihat para ibu panti yang kebingungan akibat hilangnya roti-roti, ditambah lagi musim kelaparan yang sedang menerpa kota kami. Sangat lucu melihat mereka dengan terpaksa mengeluarkan koin-koin terakhir dari pundi-pundi simpanan mereka untuk membeli roti tambahan. Raut wajah mereka menjadi mengkerut, dan beberapa urat di dahi mereka kadang sampai menonjol di permukaannya. Itu benar-benar membuatku dan David tertawa geli. Tapi saat itu aku masih belum tahu bahwa dampak dari yang kami lakukan akan menjadi begitu serius.

Pagi-pagi sekali, di hari yang sudah di tentukan, ibu kepala panti sudah mengepak barang-barang kami dalam dua tas besar (untuk ukuran bocah yang menggendongnya). Ia bilang, ia terpaksa melakukan ini kepada kami karena keadaan resesi ekonomi yang sedang melanda dan benalu-benalu harus disingkirkan walaupun indah kelihatannya. Semua itu untuk menyelamatkan bunga-bunga yang pantas untuk di pelihara. Aku hanya mengangguki kata-katanya. Aku yakin diantara ia dan aku, kami saling paham, bahwa aku tidak mengerti apa maksud yang ia ucapkan

Diawal pengusiran, aku menganggap ini berarti sebuah kebebasan besar sepenuhnya terhadapku. Terlebih lagi mereka (para pengurus dan suster-suster panti) berkata, bahwa kami akan menemukan kebahagiaan kami diluar sana. Kata-kata seperti itu terdengar sangat menantang bagi bocah ingusan seperti aku dan David, dan dengan bodohnya, aku malah merasa ingin segera cepat-cepat di usir, aku tidak tahu bahwa ada pertanda buruk dari kalimat tersebut.

Aku dan David bukan saudara kandung, tapi dia sudah seperti adikku sendiri. Dan sebagai bocah laki-laki tertua atas kejadian yang menimpah kami, aku menjadi bertanggung jawab penuh atas David saat mobil box pengurus panti menepi di pinggir jalan yang belum pernah aku lalui sebelumnya, lalu menurunkan kami, dan segera pergi. Kemudian aku sadar, ini sama sekali bukan tanda dari sebuah kebahagiaan seperti yang mereka ucapkan.

Kami menjadi gelandangan yang menyedihkan untuk beberapa minggu setelah tragedi pengusiran. Bekal roti kering yang di berikan oleh ibu kepala panti sudah habis di minggu pertama. Karenanya, aku dan David sempat beberapa kali mencuri di pasar penduduk daerah ini. Beruntung kami sudah terbiasa dalam hal ini, jadi tidak terlalu sulit untuk kami lakukan, walau tetap saja mencuri di tengah kerumunan pasar lebih sulit daripada yang ku kira. Tak jarang pedagang memergoki kami mencuri makanan dagangannya –dan inilah bagian yang paling sulitnya, mereka akan mengejar kami mati-matian agar dapat menghabisi kami sampai babak belur dan kamipun jera dengan apa yang kami lakukan. Tapi sayang, bukan hanya mereka, aku dan David pun sama mati-matiannya berlari, menghindar sekeras mungkin dari pandangannya, dan atas apa yang mereka lakukan pada aku dan David, itu sama sekali tidak membuat kami jera untuk tetap bertahan hidup dengan mencuri makanan milik mereka.

Itulah yang membuat aku dan David sebisa mungkin harus selalu berpindah tempat, dan lagi karena kami yang masih belum tahu arah tujuan kami selanjutnya, kami masih mencarinya.

Di pinggir danau Clarith lah tempat terbaik yang kutemukan untuk peristirahatan kami di tiga hari belakangan ini (aku sempat membaca nama danaunya saat masih di persimpangan arah menuju danau ini), setelah lewat tiga hari, aku dan David lagi-lagi di usir oleh petugas keamanan setempat karena dianggap mengganggu. Mau tidak mau, kami kembali berjalan lagi dan masih tanpa tujuan yang jelas.

Aku benar-benar putus asa saat kami di usir dari kawasan danau, aku sudah begitu lelah dengan penolakan-penolakan, juga raut wajah jijik orang orang saat melihat kami, dan aku juga yang sudah tidak tahu kemana lagi kami harus pergi. Kurasa David bisa membaca jelas keputusasaan di wajahku. Untuk menghiburku ia berkata, bahwa di tepi danau terasa terlalu dingin jika malam telah datang, dan memang sudah seharusnya kami pergi dari tempat itu.

Setelah cukup lama berjalan tanpa arah, kami menemukan sungai kecil tepat di bawah jembatan besar dimana mobil-mobil sibuk lalu-lalang di atasnya. Tidak pikir panjang, aku langsung lari mendekati aliran air itu. Airnya memang tidak terlalu bersih, tapi aku rasa, untuk gelandangan kering sepertiku, air ini jelas masih amat layak untuk diminum.

Kami memutuskan untuk berisitirahat di pinggir sungai ini tersebut, dan yakin kali ini tidak akan ada yang terburu-buru untuk mengusir kami, karena kurasa tempat ini memang sudah menjadi tempat pembuangan. Tempat ini jauh dari pemukiman warga. Dari perjalanan kami, terakhir kalinya kami menemukan pasar adalah empat hari yang lalu, sebelum kami benar-benar sampai di danau Clarith. Persediaan roti curian kami tinggal satu. Kami harus bisa menghemat persediaan roti sampai kami menemukan pemukiman penduduk lagi. Tapi aku sudah sangat lapar, dan aku tahu David tidak kalah laparnya denganku. Saat aku menawarkan potongan roti yang setengah busuk yang menggoda ini, David menolaknya, ia bilang, ia hanya butuh ait karena ia sangat kehausan dan bukan kelaparan. Ia pun mendekati sungai, dan menyeruput air yang sangat nikmat itu ke mulutnya.

Aku tahu ia hanya pura-pura tidak lapar. Bisa kau bayangkan, bagaimana bisa bocah berumur delapan tahun, berjalan berkilo-kilo meter jauhnya dengan tidak kelaparan sama sekali? Mungkin akan terdengar masuk akal jika David adalah seorang anak peri. Tapi tidak, ia hanyalah bocah malang yang menyedihkan. Aku  –Bocah yang lebih menyedihkan lagi, yang mendengar penolakannya terhadap roti berjamur di tanganku ini, segera menyerbu habis tak bersisa, dan berpura-pura tidak tahu bahwa David hanya pura-pura kuat saja.

Saat aku sedang sibuk menikmati roti terakhir yang terasa begitu nikmat ini, David mendekat ke arah ku sambil memegang beberapa lembar kardus yang ia temukan tidak jauh dari tempat aku duduk. Ia bilang, ia sangat mengantuk, kemudian ia membuat kardus-kardus yang ia temukan itu sebagai alas tidurnya. Aku tidak menyangka bahwa saat itu David sebenarnya sedang kritis. Memangnya apa yang bisa dipahami oleh bocah berusia dua belas tahun? Jadi aku anggap bahwa ia memang sedang mengantuk, dan aku membiarkannya tertidur, lagipula memang hari sudah senja.

Saat malam sudah berganti pagi, David masih belum bangun juga dari tidur panjang nya. Barulah aku merasa ada yang tidak beres pada David. Aku cemas dan ketakutan. Ini pasti karena ulah kerakusanku pada roti berjamur kemaren sore. Apa aku sudah membunuhnya? Aku semakin panik. Akupun memberanikan diri untuk memastikan apakah David masih bersamaku atau tidak. Aku mendapatkan nafasnya yang tersenggah-senggah dari hidungnya. Aku meneteskan air mata, belum pernah aku merasa selega ini sebelumnya.

Saat siang aku sempat meninggalkan David yang masih terbaring pucat untuk berkeliling, sekedar berharap ada keajaiban turun, dan aku mendapatkan makanan. Walaupun setengah basi, itu tetaplah keajaiban yang luarbiasa untukku dan mungkin juga untuk David kalau saja ia masih bisa bertahan lebih lama.

Tapi rasanya keajaiban tidak akan menghampiri bocah malang sepertiku. Aku tidak menemukan satu butir makananpun. Hari sudah mulai sore. Akupun segera berlari untuk kembali, aku tidak bisa meninggalkan David lebih lama lagi

Mengetahui  kondisi saat ini bukanlah saat yang tepat untuk merasa tenang, aku memutuskan untuk tetap terjaga. Barangkali David terbangun dan membutuhkan sesuatu yang mungkin bisa aku bawakan untuknya, apapun itu yang ia butuhkan untuk membuatnya merasa lebih baik, kecuali makanan.

Sayangnya, keputusan yang diambil oleh bocah –yang tidak lebih dari dua belas tahun, tidak akan bisa bertahan untuk waktu yang lama. Saat sinar matahari sudah tenggelam dan bintang -bintang bertaburan di langit malam, saat rasa lapar mulai lagi menggerogoti perut kecilku, saat itulah aku mulai tenggelam dalam mimpi panjangku. Aku tertidur, atau barangkali pingsan, aku sudah tidak bisa membedakannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 31, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

LunataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang