Sambil tertawa-tawa kecil, kami terus berjalan berdampingan. Taman kota sudah lama tak terlihat. Sebagai gantinya, kami sampai di sebuah McDonald's malam itu. Entah kenapa restoran cepat saji itu begitu menggoda kami berdua. Tanpa ragu lagi, kami memutuskan mampir sebentar sebelum pulang ke rumah. Sebuah hamburger dan Coca-Cola menemaniku malam itu. Sementara dia masih belum memutuskan mau membeli apa. Dasar. Entah sampai kapan anak itu akan selalu kesulitan dalam membuat keputusan.
“Cepat sedikit, Grey!” aku meledek ketika hendak kembali ke meja sambil membawa nampan berisi pesananku. Cowok jangkung itu menyahutinya sembari tertawa. “Santai saja, mereka ‘kan buka dua puluh empat jam,” katanya.
Sepuluh menit kemudian, barulah dia menghampiriku di meja bersama dengan nampan berisi makanan. Aku tidak tahu harus berkata apa begitu melihat nampan coklat yang ia bawa itu berisi menu yang sama denganku.
“Dasar! Dua puluh menit untuk cola dan hamburger juga?”
“Semuanya kelihatan enak, sih! Aku jadi bingung mau memilih yang mana, hehe.” Jawab Greyson sembari menarik kursi kosong di hadapanku. Kemudian ia menghempaskan pantatnya diatas bantalan kursi yang empuk dari busa. Aku mengecek jam tanganku lagi. Jarum jam hampir berada tepat diangka sepuluh dan sampai sekarang aku belum membalas pesan singkat dari ibuku. Sudahlah, tak apa. Aku pasti akan pulang nanti. Lagipula, aku masih ingin berlama-lama dengan Greyson, cowok aneh yang sedang asik melahap sepotong hamburger berukuran besar dihadapanku.
“Kamu mau dengar sesuatu?” tanya Greyson setelah menelan potongan hamburgernya yang terakhir.
“Lucu nggak? Kalau nggak lucu ya aku males dengerin.” Jawabku.
“Lucu kok, lucu.” Katanya. Sebelum melanjutkan, Greyson meneguk isi gelas Coca-Colanya sedikit. “Aku kenal seseorang yang sudah lama naksir teman sekelasnya.”
“Siapa?”
“Rahasia. Tapi sayangnya cinta mereka sulit bersatu.”
“Lho, kok gitu?”
“Soalnya, cewek yang ditaksir ini pakai behel.”
“Hah? Apa hubungannya dengan pakai behel?”
“Susah ciumannya. Giginya ‘kan isi pagar.”
Aku tertawa kecil, namun sambil mengangkat sebelah alis. “Itu kamu sebut lelucon? Payah!”
“Tapi kamu ketawa, tuh!” balas Greyson dengan senyum jahil. Sejurus kemudian suara tawa kami menggema memenuhi seluruh lantai satu McDonald’s, menarik perhatian hampir semua orang yang juga berada disini. Beberapa orang pegawai, termasuk mbak penjaga kasir ikut menahan gelak tawa. Kecuali sepasang anak kuliahan yang duduk selang beberapa meja dari kami. Mataku tanpa sengaja menangkap ekspresi terganggu yang mereka kirim. Padahal tadinya, kukira tidak ada pengunjung lain selain aku dan Greyson.
“Eh, lihat deh, orang yang dibelakangmu itu,” aku berbisik sepelan mungkin sembari memberi kode dengan satu anggukan pelan ke arah depan. Greyson menengokkan kepalanya ke arah yang kutunjuk. Untungnya saat itu pasangan tersebut sudah tidak memperhatikan kami lagi. Setelah memperhatikan mereka sejenak, Greyson kembali berpaling padaku. Tapi coba tebak, Greyson malah menggodaku. “Kamu iri ya dengan mereka?”
“Iri? Ih, nggak ya, sorry deh!”
“Ah, bohong! Tuh buktinya wajahmu memerah.”
Aku mengatupkan kedua ujung bibir, lalu memajukannya kedepan sedikit. “Bukan salahku, dong, kalau aku iri!”
“Ih, kok kamu ngambek?” Greyson kembali bertanya. Kali ini dengan ekspresi ikut-ikutan manyun.
“Sok tau! Siapa yang ngambek?” Aku balas meledek. Dia cuma terkekeh, tidak menjawab dengan kata-kata lagi. Keadaan seketika hening aneh. Greyson mengaduk-aduk sedotan dalam gelas Coca-Colanya, entah apa maksudnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VAIN // A Greyson Chance one shoot
FanfictionCinta itu bukan cuma sebuah perasaan diatas awan. Karena cinta juga bisa mengajarkan sesuatu. [ Greyson Chance one shoot by frantastickris ]