Mariel

950 46 19
                                    

A Short Story

All right reserved by Orinthia Lee 2014

Copyright by Orinthia Lee 2014

Cerita ini murni fiktif, apabila ada kesamaan nama atau kejadian, itu hanya kebetulan saja.

Vomment sangat disarankan hehehe :p

***

Ada banyak kisah cinta yang diceritakan berulang-ulang dengan berbagai versi, juga berbagai akhir. Ada kisah yang berakhir bahagia, ada pula yang berakhir pedih bahkan tragis. Seperti kisah Duyung Ragil yang cintanya pada seorang manusia berakhir pada kematian setelah mengorbankan suara dan mengalami penyiksaan tiap kali menjejakkan kakinya di daratan. Kisah-kisah itu dianggap sebagai kisah cinta yang tak lekang oleh waktu, kisah cinta yang layak untuk diingat sepanjang masa.

Kisah cinta Ragil adalah aib untukku, kisah cinta yang mengumbarkan kebodohan karena jatuh cinta pada predator yang memburu warga lautan tanpa belas kasihan. Mereka bahkan mengotori lautan kami dengan bahan kimia yang meracuni banyak ikan-ikan dan membuat kami seringkali terjangkit penyakit kulit mengerikan yang sulit untuk disembuhkan.

Untung saja di Amalfi, manusia-manusianya tidak suka merusak. Lautan kami jernih dan airnya menyegarkan. Pada bulan Februari dan Oktober, di sepanjang pantai dan pada dataran yang bertingkat akan dipenuhi pohon-pohon berbuah kuning. Para manusia suka bermain di laut, meluncur di atas air dengan papan panjang dengan ujung-ujung meruncing, sekedar berenang di tepian atau membuat replika istana dari pasir pantai. Tak jarang juga ada manusia yang tenggelam karena terbawa ombak, dan tugas kamilah untuk mengirim mereka kembali ke tepian jika hal itu terjadi—tanpa sepengetahuan mereka.

Aku takkan jadi seperti Ragil. Takkan pernah. Aku tak menyukai manusia. Mendengar saudari-saudariku menganggap kisah Ragil sebagai petualangan yang romantis benar-benar membuatku muak. Dan sekalipun manusia yang sekarang berada di pelukanku adalah makhluk terindah yang pernah kulihat seumur hidupku, aku takkan jatuh cinta padanya.

Aku menemukan dia hanyut terbawa arus dan pelan-pelan tubuhnya yang berat tenggelam ke kedalaman laut. Sebenarnya, ingin kubiarkan saja dia mati tenggelam, tapi sayang peraturan laut akan menghukumku bila aku tidak menolongnya.

Ada sebuah luka memanjang di keningnya, mengeluarkan darah yang bisa saja mengundang predator laut untuk datang. Tubuhnya kurus tapi tidak terlihat lemah, aku bisa melihat otot tangan dan perutnya terbentuk nyaris sempurna. Kelopak matanya tertutup rapat, bulu mata pirangnya berkilauan tersiram cahaya dari langit di atas permukaan laut begitu juga dengan rambutnya. Bibirnya berwarna merah muda dan tipis. Kubayangkan bibir itu hanya akan tersisa menjadi garis tipis jika manusia itu tersenyum. Kulitnya kecoklatan, sehat terbakar matahari. Jenis warna yang takkan dimiliki para duyung yang selalu berada di dalam air. Lalu, sebagai manusia, tentu saja dia memiliki sepasang kaki yang membuatku bergidik.

Singkatnya, manusia yang kuselamatkan ini begitu indah. Terlalu indah hingga aku tak bisa memalingkan mataku darinya ketika dia kubaringkan di dekat batu karang di tepi pantai.

Tanganku bergerak, dengan jemariku aku meraba wajahnya, mengusap hidungnya yang mancung lalu bibirnya. Ada semacam godaan dalam diriku untuk melihat seperti apa matanya ketika sepasang kelopak mata itu terbuka, hingga aku tetap diam di tempatku ketika manusia itu mengerang dan terbangun. Bersamaan dengan itu, matahari mulai berubah warna menjadi merah, mewarnai langit dengan tiga warna penuh pesona yang tak terbayangkan.

Aku tersentak ketika sepasang mata biru itu menatapku. Bayangan matahari terbenam terpantul di sana, memberikan kesan hangat yang membakar dadaku—menyakitkan.

Inikah yang dirasakan Ragil ketika dia mati karena mencintai manusia?

Sebelum manusia itu benar-benar sadar seutuhnya, kudapatkan lagi akal sehatku dan aku segera kembali ke laut lalu berenang menjauh.

MarielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang