Waktu pertama kali kita saling mengenal, rasanya sangat indah, rasanya kau sangat memperjuangkanku, dan rasanya kini semua telah berubah.
Senja waktu itu kau datang ke rumahku, berdiri di depan pagar yang menjulang tinggi, dan menatapku seolah kau membutuhkanku. Aku berjalan pelan menghampirimu, aku melihat wajah kusutmu yang sangat tak ingin kulihat.
"Biarkan, biarkan posisi kita sekarang," katamu.
Kamu memelukku, tepat ketika aku membuka pagar. Kamu menangis dalam dekapanku, dan aku hanya diam sambil mengusap punggungmu. Aku tak tau, dan tak mengerti apa yang harus kulakukan.
"Kayna," panggilmu. "Jangan tinggalkan aku."
Deg, aku merasa jantungku berdebar, sekaligus seperti dihujam seribu jarum yang menusuk hatiku. Kemarin aku memang memutuskan hubunganku dengannya, aku mempunyai alasan untuk itu semua, dan ia tak mengerti.
"Raka," panggilku. "Aku nggak bisa." Aku melepaskan pelukkannya.
"Kamu bilang, kamu yang tidak ingin melepasku, nyatanya? Kamu yang melepaskanku. Kamu bilang, kamu yang tidak ingin berhenti sampai di sini, nyatanya? Kamu yang memutuskan untuk berhenti."
Aku terdiam, menatap kekecewaan yang jelas terpancar dari matanya. Ya Tuhan, andai dia tau betapa tersiksanya aku, andai dia mengerti sakitnya melepaskan padahal masih menyayangi.
Aku juga tidak ingin melakukan semua ini, Ka.
"Apa kita tidak bisa kembali menjadi seperti dulu?" Tanyanya. "Kayna, aku menyayangimu."
"Kamu tau aku juga menyayangimu, Ka. Tapi aku harus melepasmu," ucapku. Dan kamu tertawa.
"Untuk apa kamu menyayangiku, jika akhirnya kamu melepaskanku?"
"Kita masih bisa menjadi sahabat, Ka. Aku janji, aku janji nggak akan pernah berubah."
"Bukan itu yang aku mau, Kay."
Aku hanya diam, dan dia juga diam. Hingga akhirnya Ayahku datang, dan menyuruhnya pulang. Tetapi ia tetap bersikeras untuk berdiri di sana, untuk memintaku kembali.
"Pulanglah, Ka. Aku nggak akan berubah pikiran untuk sekarang."
Aku memutuskan untuk menemuinya, karena hari sudah semakin gelap, senja sudah tak lagi mengeluarkan warna orange, langit sudah tak lagi indah, itu semua karena ditutupi oleh hari yang sudah semakin gelap, kegelapan akan timbul setelah perginya senja.
Ia menggeleng. "Kembalilah padaku," pintamu. "Aku belum berkata iya untuk memutuskan hubungan ini, kamu baru memutuskannya sepihak, Kayna."
Aku hanya diam menatapnya. Ia terkekeh.
"Baiklah, kita putus, dan kamu mendapatkan apa yang kamu mau. Sahabat?" Tanyanya.
Aku mengangguk.
Senja hari itu, benar-benar Senja yang aku ingat. Di kala seseorang rela berkorban untukku, sampai ia sendiri sakit. Sampai akhirnya, setelah dua bulan aku dan dia bersahabat, rasa memiliki mengguncangku lagi. Ia yang terus-terusan berkata padaku kalau ia belum bisa melupakanku, ia yang selalu memberikanku perhatian ketika aku sakit, ia yang selalu marah ketika aku makan, makanan sembarangan hingga membuat perutku sakit.
Dulu, dia rela menungguku, memperjuangkan cintanta untukku, tetapi sekarang? Seakan aku di permainkan oleh takdir.
"Raka," panggilku.
Ia hanya fokus dengan ponselnya, tanpa menoleh padakku yang di sampingnya sudah dari dua jam yang lalu. Kami berdua sekarang kembali menjadi sepasang kekasih, lagi. Yang aku kira akan sangat membahagiakan kembali padanya, yang aku kira sikapnya tak akan pernah berubah, mengingat bagaimana ia memperjuangkanku dulu.
"Gue mau pulang."
"Aku pulang sama kamu, ya?" Pintaku.
"Gue ada latihan musik, Kay. Lo pulang naik taksi aja."
Setelah itu ia pergi, ia tak menoleh padaku, ia tak mengantarkanku pulang. Di tempat ini, dulu aku dan dia pernah tertawa bersama. Di tempat ini, dulu aku dan dia saling mengejek, dan menulis cerita bersama.
"Heh dugong!" Serunya.
"Raka ih!"
"Ciee pakai blush on," ejeknya.
"Makanya ih, jangan di godain akunya."
"Kayna malu ya? Cieee!"
Aku tersenyum miris mengingat itu semua, mengingat bagaimana caranya dulu ia membuat pipiku bersemu, mengingat bagaimana caranya dulu ia membuatku jatuh padanya. Ia memang bukanlah laki-laki yang romantis, ia tak pernah memasang fotoku menjadi foto profil LINEnya, ia tak pernah mengupload fotoku di Instagramnya, kecuali jika aku yang memintanya.
Dulu, aku pernah berfikir kalau ia malu memilikiku, hingga ia tak mau memasang fotoku. Sebenarnya, hal itu dulu tak mengusikku, tapi karena di sekelilingku juga orang-orang yang memiliki kekasih, aku melihat laki-laki mereka sangat bangga mempunyai mereka. Aku melihat laki-laki mereka menggunakan foto mereka menjadi profil LINE, dan timbulah tanya di benakku.
Kenapa Raka tak pernah seperti itu? Apakah ia malu?
Ah sudahlah, memikirkan itu hanya membuatku nyeri. Lebih baik sekarang cepat pulang, dan kembali menulis lagi di laptopku. Begitu aku keluar dari tempat ini, ternyata Senja sudah menyambutku. Senja yang hanya datang setiap sore menjelang malam, Senja yang akan pergi ketika malam sudah datang, Senja yang sangat ditunggu kedatangannya oleh pencintanya, dan Senja yang kepergiannya sangat disayangkan.
Aku berhenti untuk duduk di bangku taman ini, tempat yang tadi aku kunjungi memang berdepanan lokasinya dengan taman. Niat untuk segera pulang aku urungkan, entah mengapa Senja kali ini begitu indah.
"Seandainya ada orang yang menganggapku sebagai Senja," kataku.
Warna orange yang berada di langit hari ini benar-benar sempurna, aku yang melihatnya seakan kehilangan semua sedihku. Aku selalu menceritakan sedihku pada Senja lewat diam, aku selalu menceritakan bahagiaku pada Senja lewat senyuman.
Namaku Kayna Safira, perempuan yang ingin sekali menjadi Senja.
Karena Senja selalu ditinggu, dan kepergiannya tak ada yang mau.
*********
I'm back! Ini short story ajasih, iseng buat, karena emang lagi kosong. Dari pada macem-macem, mending nulis, iyakan?Hope u like it!❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja
Short StoryAku ingin menjadi Senja, kehadirannya selalu ditunggu. Dan kepergiannya selalu tak ada yang mau. Tapi apalah dayaku, siapalah aku ingin menjadi Senja? Kehadiranku tak berarti apapun untuknya, dan kepergianku tak pernah ia cegah. Sayang, aku rindu pa...