Senja kemarin, aku habiskan untuk duduk di teras rumah sembari membaca novel kesukaanku. Senja kemarin, aku sama sekali tak memegang ponselku dari pagi. Aku sengaja menjauhkan ponselku dariku, selama ini sudah terlalu sering aku bersama ponselku.
"Kenapa di telfon nggak di angkat?"
Aku mendongak, terkejut menatap Raka di hadapanku. Tubuh tegap, tinggi, yang mempunyai paras menawan itu berdiri di sampingku. Menatapku dengan matanya yang lelah, entah sedang memiliki masalah apa, ia selalu datang padaku hanya untuk memelukku. Ia bahkan tak memberiku kesempatan untuk bertanya, ia pasti akan memelukku, atau ia akan tertidur di pahaku.
"Kamu kenapa?" Tanyaku. Aku berdiri, dan menatap sisi wajahnya yang membiru.
"Kali ini, apa alasanmu?" Tanyaku lagi, sembari meraba wajahnya yang membiru.
Ia hanya diam, lalu memelukku dengan erat. Selalu seperti ini, setiap ia mempunyai masalah selalu pulang padaku. Aku senang, itu berarti ia nyaman di dekatku, walaupun terkadang ia tak jarang tak ingin menceritakan masalahnya.
"Kamu," katamu.
Aku terkejut, apa yang membuatnya seperti ini karenaku? Aku bahkan tak sama sekali ada masalah dengan siapapun.
"Aku bosan," ucapmu. "Aku bosan dengan hubungan yang gini-gini aja," lanjutmu.
Perkataanmu mampu menghantamkan beribu-ribu jarum pada tubuhku, perkataanmu mampu membuatku terdiam menatapmu. Kata-kata yang sama sekali tak ingin ku dengar, tapi kamu melontarkannya. Aku tersenyum menatapmu kini.
"Aku ambilkan P3K dulu, ya."
Aku meninggalkannya, aku meninggalkan Raka di teras rumahku dengan alasan mengambil P3K. Aku tak kuat jika harus berada di depannya, air mataku tak lagi tertahan, bendungan di mataku pecah, seakan perkataan kekasihku benar-benar sangat tajam dan menyakitkan.
"Duduk."
Aku menyuruhmu duduk, dan aku berlutut di depanmu. Mengobati rasa sakit di sisi wajahmu yang membiru, rasanya mataku kembali memanas. Ah tidak, jangan sekarang Kayna, kamu harus kuat. Sudah bagus ia jujur, dan kamu mendapatkan jawaban atas sikapnya yang dingin padamu.
"Aku bosan, Kayna," ucapmu lagi.
Aku tersenyum tipis, terus mengobati wajahmu. "Lalu, kamu mau apa?" Tanyaku pelan.
"Nggak mau apa-apa, jalanin aja dulu."
Aku terkekeh, kata-kata Raka sangat familiar di telingaku. Kata-kata Raka seakan hanya pemanis dikala pahit, dan tak akan bertahan lama. Aku tau itu, aku mengerti kata dari 'jalanin aja dulu'. Itu tandanya, aku hanya tinggal menunggu Raka memutuskanku dikala Raka sudah sampai di titik bosan, dan aku harus memperjuangkannya kembali.
"Kayna jangan nangis," ucapmu.
Kamu mengusap pelan wajahku, lalu berlutut sama sepertiku. Kamu menatap mataku dalam, dan kamu tersenyum pahit di sana. Kamu tau aku akan kecewa, tapi kenapa kamu berubah, Ka?
"Tangisku tak seberapa," jawabku.
Kala itu, aku mengerti. Aku mengerti kejujuran dengan segala kepahitannya yang datang menghunjam seluruh tubuhku, aku mengerti kalau sakitnya sebuah pengharapan pada seseorang akan sesakit itu. Kala itu, aku hanya meninggalkannya sendiri di teras, dan aku pergi menjauh darinya. Aku butuh waktu.
Apa dia bilang? Hubungan yang gini-gini aja? Ya, aku sadar hubunganku dengannya memang sangat membosankan. Tapi bukankah dulu ia yang bersikeras untuk mendapatkanku kembali? Lantas, kenapa sekarang ia menganggap hubunganku dengannya membosankan?
Tidak bisakah dia merubahnya? Membuat bosan hilang, menggantikannya dengan kesenangan, canda tawa, dan semua cerita-cerita tentang hidupnya? Ia bahkan jarang sekali bercerita tentang kehidupannya padaku, Raka terlalu tertutup denganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja
Short StoryAku ingin menjadi Senja, kehadirannya selalu ditunggu. Dan kepergiannya selalu tak ada yang mau. Tapi apalah dayaku, siapalah aku ingin menjadi Senja? Kehadiranku tak berarti apapun untuknya, dan kepergianku tak pernah ia cegah. Sayang, aku rindu pa...