Chapter 2

8.8K 478 24
                                    

Alunan musik dangdut menjadi temanku diperjalanan, sejak tadi televisi didepan kursi bus tidak henti-hentinya menampilkan video klip wanita bertubuh bongsor sedang bergoyang. Aku sampai hafal, ada tiga belas lagu dangdut yang sedari tadi terus berulang. sebagian penumpang tampaknya menikmati sekali mini konser dalam televisi milik penyanyi dangdut yang tidak aku kenal itu, entah apa yang sedang mereka bayangkan ketika melihat tubuh sintal yang meliuk-liuk mengikuti irama gendang. Namun sebagian orang memilih tidur seperti Baim, mereka seakan tidak peduli dengan suara dentuman musik yang cukup keras, telinga mereka seperti bisa diseting untuk mode hening.

Langit diluar sudah gelap gulita, namun hujan masih belum berhenti sepanjang perjalanan. Jam digital didalam bus sudah menunjukan angka delapan. Menurut percakapan orang dikursi depan tadi, katanya untuk sampai di tempat tujuan membutuhkan waktu sekitar dua belas jam, itupun kalau tidak ada kemacetan.

Aku memperhatikan Imron yang sedari tadi masih asik berbincang dengan Hesti, dia seakan tidak peduli dengan goyangan maut yang ditampilkan penyanyi dangdut ditelevisi. Matanya masih fokus menatap Hesti, pemandangan ini seperti sebuah adegan di FTV.

Pantatku sudah mulai terasa tidak nyaman, mungkin karena tidak terbiasa duduk lama-lama. Padahal ini baru beberapa jam, tapi rasanya aku sudah mual mau muntah karena mabuk perjalanan.

"Im.. bangun im.. bawa antimo ga ?" aku goyang-goyangkan tubuh Baim.

Masih dalam keadaan setengah sadar, Baim mengucek-ngucek matanya sambil menguap. Dia bertanya ulang apa yang aku ucapkan, setelah mendapat jawaban dengan segera dia merogoh saku jaketnya.

"Si Imron kenapa bawa cewe segala ?" kata Baim sambil menyerahkan satu tablet obat anti mabuk perjalanan.

"Itu gebetannya, biarin ajalah."

"Bukan gitu, bawa Cewe itu ribet kalau naik gunung. Apalagi ini pendakian pertamanya."

"Ah, paling kamu sensi sama si Imron karena ga bisa bawa cewe "

"Terserah. Tapi kalau nanti cewe itu mogok ditengah jalan aku tidak mau menggendongnnya."

"Emang dia mau digendong sama kamu ?"

Baim langsung mengambil botol air mineral tanpa menjawab pertanyaan. Setelah selesai menghabiskan setengah botol air minum matanya langsung tertuju pada televisi.

"Kita ga bakalan nyasar ?"

"Tenang, kalau sudah nyampe terminal nanti kita Tanya-tanya saja sama orang-orang disana."

"Kamu bawa jahe ?"

"Lupa, tidak sempat bawa yang kamu pesan. Ini Cuma bawa mie instan dan beberapa bungkus roti saja." jawabku.

Baim kemudian merogoh saku jaketnya lagi, dia mengeluarkan jahe satu ruas jari. Saku jaketnya sudah mirip kantong doraemon yang bisa mengeluarkan apa saja, bahkan aku sampe heran.

"Ini simpan, kalau nanti pas pendakian kedinginan, kunyah."

"Banyak orang meninggal digunung karena kedinginan. Aku tidak mau menggendong mayatmu dari puncak kebawah." Lanjut Baim.

Mendengar ucapan Baim tentang kematian, nyaliku jadi ciut untuk naik gunung. Beberapa hari sebelumnya aku menonton film berjudul Everest yang diangkat dari kisah nyata. film itu menceritakan tentang perjalanan Rob Hall seorang pendaki yang tewas saat mengantar para pendaki lainnya digunung Everest. Diakhir film diceritakan Rob Hall dan beberapa rekannya meninggal dunia dan mayatnya tidak pernah ditemukan atau memang sengaja dibiarkan dipuncak gunung, karena mungkin resiko untuk mengambil satu mayat tidak akan sebanding dengan resiko yang harus ditanggung tim penyelamat.

KABUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang