2

13.3K 1.7K 174
                                    

"Assalamualaikum," salam Alfa dari arah depan, dengan masih mengangkat Ola dalam gendongannya.

''Walaikumsalam, loh La kamu kenapa digendong Abang?" Jawab dari wanita paruh baya, yang masih tampak cantik di usianya yang sudah tak muda lagi.

"Ola jatuh, Mi." Adu Ola lagi, membuat Alfa menghela nafas malas mendengarnya. Adiknya itu sungguh manja, dan dramaqueen sekali. Apapun yang terjadi dalam hidupnya, selalu menjadi heboh untuknya.

"Kog bisa? Terus gak papa, kan?" Tanya wanita paruh baya itu lagi. Langkahnya mengikuti putra lelakinya yang berjalan ke dalam rumah.

Alfa mendudukkan Ola di sofa ruang tengah dengan mudah, tidak tampak jika dia kesusahan ataupun kelelahan setelah mengangkat beban yang hampir 55kg. "Hanya lecet Mi, gak usah diobati juga sembuh. Ola aja yang heboh sendiri." Jawab Alfa datar dan duduk dengan melepaskan dasi yang mencekik lehernya sejak tadi.

Wanita paruh baya yang bernama Alana itu terlihat tersenyum mendengar penuturan anak lelakinya. Anak yang sudah dianggap darah dagingnya sendiri itu, sudah tumbuh dewasa dengan ketampanan yang menaungi wajahnya.

"Udah bilang terimakasih dengan Abang, La? Kasian tu Abang, pasti habis ini dimarahin Pappi." Kata Alana sambil menyisir rambut panjang anak gadisnya yang masih meratapi kakinya.

Ola menatap Alana sedikit terkejut, "Pappi sedang rapat ya, Mi?" Dan Alana menjawab dengan anggukan kepalanya.

"Iya, dan Abang kamu lari dari rapat gara-gara kamu menelfonnya. Jadi, nanti kalau Pappi marah sama Abang, kamu harus maju pertama kali, mengerti." Kata Alana, membuat mata Ola beralih pada Abangnya yang sudah disibukkan dengan ponsel hitamnya.

"Bang," panggil Ola manja. Sungguh menghadapi Pappinya, ketika ia mengganggu Abangnya tak tahu waktu membuatnya sedikit ketakutan.

"Hmm?" Alfa berdeham tanpa menoleh pada Ola yang sudah bergerak mendekat ke arahnya.

"Bang," panggil Ola lagi, dan itu membuat Alfa akhirnya menyimpan ponsel hitamnya dan menatap adik semata wayangnya itu.

"Apa sih La?" Tanya pria 29 tahun itu.

"Bang, nanti kalau Pappi marah sama Ola. Abang bantuin ngomong, ya." Katanya dengan mata yang mengedip lucu pada Alfa. Padahal usia Ola sudah 24 tahun, yang artinya tak muda lagi untuk merayunya seperti itu. Tetapi adiknya itu masih saja seperti anak kecil di keluarga besarnya.

Alfa diam, dia juga malas harus kembali ditegur oleh Pappinya karena ulah adiknya itu. Padahal hari ini ada rapat penting di hotel milik Pappinya, tetapi gara-gara tangisan Ola yang katanya jatuh dari taksi, membuatnya kabur begitu saja dari rapat. Bagaimana dia bisa disebut atasan, jika dia sendiri tidak bisa memberi contoh pada anak buahnya.

Alfa menghela nafas panjang sebelum menjawabnya, "Iya, sekalian ajak Mommi untuk bujuk Pappi."

Dan seperti mendapatkan pencerahan, Ola langsung menghadap Alana yang sejak tadi melihat interaksi kakak beradik itu. "Mi, bantuin yah. Pappi kalau marah kan serem, bisa-bisa uang jajan Ola digantung seminggu kayak bulan lalu." Rayunya pada Alana, yang tersenyum melihatnya.

"Pappi kalau marah gak bisa dirayu La, kamu tahu sendiri. Jadi sebelum uang jajan mu dipotong, kamu harus kerja sendiri mengerti. Sudah Mommi mau kebelakang dulu, kamu mandi sana." Kata Alana, lalu beranjak meninggalkan ke dua anaknya.

"Bang,"

"Abang mau istirahat, sebelum Pappi datang dan marah sama kita." Kata Alfa lalu ikut beranjak meninggalkan Ola yang sudah merengut sebal.

***

Malam harinya, ruang makan itu tampak sunyi senyap. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang saling beradu. Dari ujung meja sebelah kiri, Alfa terlihat tenang dalam mengunyah makanannya. Berbeda dengan Ola yang tampak kesusahan menelan makanannya.

Believe in YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang