Hujan

12 1 0
                                    

“Belum pulang.” Tanyanya.
Aku hanya mengernyit “Belum.” Lanjutku sembari dengan nada sinis, entahlah, aku juga tak tahu mengapa aku begitu kesal terhadapnya, kulirik sekilas ada raut kecewa di wajahnya. Hujan belum berhenti dari setengah jam yang lalu menyisakan genangan air yang begitu tak ku sukai. Aku tidak benci hujan. Hanya saja, hujan mengganggu aktifitasku mungkin mendung lebih baik.
Ketukan sepatu yang di hentak-hentakkan laki-laki di sebelahku agaknya membuatku terganggu, sembari bergumam. Oh tidak, nampaknya sedang bersenandung walaupun dengan suara yang kecil, namu dapat kudengar sayup-sayupnya. Dia kelihatan nampak bosan dari raut wajahnya dan aku juga ingin segera enyah dari sini.
Satu menit, dua menit. Aku tak tahu, mungkin aku teralalu lelah, aku terus menatap wajahnya sambil melamun, pikiranku melayang seperti angin di bulan agustus, aku memikirkan tugasku yang belum selesai, hujan yang belum berhenti, dia yang belum enyah dari sini. Dan yah, sepertinya laki-laki di sebelahku kelihatan manis saat merasa bosan. Tidak, dia memang selalu terlihat manis dalam keadaan apapun, sepertinya aku nampak gila bagaikan angin yang kehilangan arah.
Dia balik menatapku. Oh Tuhan, sepertinya dia memang menyadari bahwa sedari tadi aku memandangnya, pandangan kami bersirobok, seperti ketahuan maling atau ketahuan menyontek, aku sangat gugup ketahuan diam-diam menatapnya membuatku semakin mengecil, semakin mengecil mungkin aku sudah sekecil kuman sekarang. Aku menunduk kualihakan pandanganku pada jam kecil di lengan kiriku sambil mengatur nafasku, aku begitu layu seperti daun kering yang terbawa angin. Dia pun kembali pada posisisnya yang semula menghadap ke jalanan seperti yang ku lakukan, dia mengerling dan tersenyum bisa kulihat dari sudut mataku. Oh Tuhan sekali lagi aku seperti debu yang tertiup angin bisa kubaca dari ekspresinya dan aku tahu apa yang ada dipikirannya, kuharap dia tidak salah paham, walaupun kenyataannya memang seperti itu.
“Ujannya udah reda, aku duluan ya.” Ungkapnya membuyarkan lamunanku, tanpa ekspresi tanpa menatapku ia beranjak menerobos genangan air, dan hanya itu saja. Dan semakin bisa kurasakan kali ini aku seperti jatuh kejurang atau sedang tersesat di gurun dan mengalami dehidrasi, walaupun keadannya sekarang aku berada di sekolah dan sedang hujan, lucu sekali.
Kulihat wujudnya semakin mengecil dari pandanganku dan menjauh, menatap kekiri dan kekanan entah apa yang dilakukannya, tapi selang beberapa detik dia kembali ada di depanku, sejak kapan, aku juga tidak tahu mungkin efek dari dehidrasi tadi membuat pikiranku kacau. Tidak, dehidrasi itu hanya dalam anganku saja. Dia tersenyum “Adel di luar udah sepi nggak baik sendirian di sini, mending pulang aja ayok.” Tanpa ba bi bu lagi dia menarik lenganku tanpa memperdulikan anggukanku yang kurasa terlambat, mengjakku berjalan. Dan kali ini kembali lagi aku terbang ke langit ke tujuh.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 01, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Adeline & Genangan air hujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang