JODOH SI NAGA LANGIT
Asmaran S Kho Ping Hoo
01.1. Kegalauan Pendekar Muda
Pemuda itu menuruni puncak
bukit di mana dia semalam tinggal
melewatkan malam yang dingin.
Akan tetapi pagi ini udara cerah
dan hangat. Dia melangkah
perlahan dari puncak,
lenggangnya kokoh dan mantap seperti langkah seekor harimau,
dada dan perutnya menggembung dan mengempis karena
tarikan napas yang dalam dan panjang. Hawa udara demikian
bersihnya, segar memasuki rongga dada dan perut
mendatangkan rasa nikmat dan nyaman.
Usianya sekitar duapuluh dua tahun. Tubuhnya sedang, kulitnya
putih dan wajahnya tidak terlalu tampan namun juga tidak buruk.
Wajah yang lebih tepat disebut ganteng dan gagah, dengan
rambut hitam, alisnya berbentuk golok seolah melindungi
sepasang mata yang mencorong namun lembut. Hidungnya
mancung dan mulutnya selalu menyungging senyum sehingga
wajah yang agak bulat dengan dagu runcing itu tampak penuh
pengertian dan ramah. Pakaiannya sederhana saja seperti
seorang pemuda dusun atau juga seorang pemuda kota yang
miskin. Dia menggendong sebuah bungkusan kain kuning yang
terisi beberapa potong pakaian.
1Dilihat keadaannya yang sederhana, sikapnya yang lembut, dan
tanpa adanya sepotong pun senjata pada dirinya, tidak akan ada
orang yang menyangka bahwa dia seorang ahli silat. Padahal
sesungguhnya pemuda itu adalah Souw Thian Liong, seorang
pendekar yang pernah menggegerkan kedua kerajaan. Di
Kerajaan Kin di utara, dia membantu kerajaan itu membasmi
pemberontakan yang dipimpin Pangeran Hiu Kit Bong.
Kemudian, di Kerajaan Sung Selatan dia memegang peranan
penting dalam menghancurkan kekuasaan Perdana Menteri
Chin Kui yang terkenal dalam sejarah sebagai seorang
pembesar yang korup, lalim dan jahat, yang sudah menguasai
kaisar.
Souw Thian Liong memiliki ilmu silat yang tinggi berkat
bimbingan gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin yang berjuluk Yok-
sian (Tabib Dewa) dan yang terkenal di seluruh negara, baik di
Kerajaan Kin di utara maupun di Kerajaan Sung di selatan.
Selama beberapa bulan ini, Souw Thian Liong melakukan
perantauan tanpa tujuan tertentu, menurut saja ke mana kedua
kaki dan perasaan hatinya membawanya. Dia tertarik oleh
keindahan alam di bukit itu, maka kemarin dia mendaki bukit,
melewatkan malam di puncak dan pagi hari ini dia menuruni
puncak bukit dengan santai.
Ketika dia tiba di lereng pertama dekat puncak dan melihat
tempat itu terbuka, tidak terhalang apa pun sehingga dia dapat
menyaksikan tamasya alam yang berada di bawahnya, dia
berhenti, terpesona akan keindahan alam di bawah sana.
Hamparan yang amat luas, dengan warna-warni bagaikan
sebuah lukisan yang amat indahnya. Sawah ladang dengan
2warna hijau dan kuning, bukit-bukit di belakang sana yang
tampak kebiruan, sungai yang tampak bagaikan naga yang
meliuk-liuk, rumah-rumah di sana-sini dengan gentengnya yang
kemerahan. Dan di sebelah kiri terdapat sekelompok ternak
kerbau yang digembala seorang anak remaja. Para petani yang
berangkat ke sawah memanggul cangkul.
Bukan hanya penglihatannya yang berpesta menikmati semua
pemandangan indah itu. Juga sepasang telinganya menikmati
bunyi-bunyian yang membuat pagi hari itu semakin cerah dan
riang. Kicau burung di pohon-pohon, kokok ayam jantan di
kejauhan, diseling suara kerbau menguak dan kambing
mengembik, salak anjing dan teriakan penggembala yang
menghalau ternak kerbau agar jangan makan padi-padian yang
tumbuh di sawah ladang.
Penciumannya juga menikmati keharuman rumput, daun dan
bunga yang tumbuh di sekitar lereng itu, dan bau tanah dibasahi
embun menghangatkan perasaannya. Sinar matahari pagi
seolah menggugah segala yang berada di permukaan bumi, baik
yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan mencuci
semuanya itu dengan sinarnya yang keemasan dan hangat.
Thian Liong duduk di atas batu besar, seolah menelan semua
keindahan itu, dan dalam keadaan seperti, di mana hati akal
pikiran tidak disibukkan oleh urusan tentang diri pribadinya,
sesungguhnya dia sedang berada dalam keadaan yang disebut
bahagia tanpa disadarinya. Dalam keadaan seperti itu dia
bersatu dengan alam, terangkum dalam kekuasaan Tuhan,
sumber segala keindahan, pusat segala kebahagiaan. Tidak ada
“si-aku” yang susah atau senang, kecewa atau puas, si-aku yang
3