"Flo sayangku, ingin rasanya aku memelukmu diantara bintang-bintang ini" suara azriel menyeruak di sunyinya malam. " kegenitanmu akan membunuhmu orang muda " balas ku.
Malam itu terlihat indah sebenarnya aku tak pernah terasa hangat memeluk lelaki setelah memeluk sakya yang terakhir kalinya dan kami bersantap ria hingga bulan terlihat beralih tempat dari sudut gelap ke sudut gelap lainya. Sebagaimanapun juga dia harus mati dalam tanganku malam ini, dan dia adalah yang ke 6 di tahun ini dimana aku telah membunuh lelaki semenjak 16 tahun. Sayang sekali aku jatuh cinta padanya tapi riuk rinduku ke ibu jauh lebih menpengaruhiku daripada perasaan bodoh yang membuai milyaran manusia dibumi ini.
"Jika aku tewas malam ini aku rela jika itu didekapan mu flo " suara Azriel terasa menggebu." kau jangan merayu ku wahai lelaki aku masih belum mau tersipu, dan kurasa permintaanmu akan terwujud dalam sekejab " jawabku. " permintaan yang mana flo sayang" tanya Azriel. " kau akan mengetahuinya sebentar lagi, mau aku peluk?..." tanyaku. " aku takkan bisa menolaknya" itulah kalimat azriel yang kurasa bakalan menjadi yang terakhirnya.
Pelukan kami terasa sangat hangat dan aku seperti teringat dengan sakya sampai-sampai aku lupa menancapkan pisau ke punggungnya. Untung saja aku teringat ibu dan langsung menikamnya dari belakang, kucabut kemudian ku tusuk lagu dari depan dan terus berulang hingga iya kritis. Terdengar kata-kata aneh dari mulutnya
"Kau sanggat menikmatinya ya?, kuharap kau masih punya masa merenung dalam 12 jam berikutnya karna kau akan menjemputku dalam masa itu. Ingatlah kegilaan-mu harus dihapuskan segera untuk menenangkan mereka" jerit Azriel saat merenggang nyawanya.
Apa sebenarnya ini dan apa maksud dari perkataanya semua terasa membingungkanku. Kini aku berjalan di reluk malam yang tidak terlalu larut dan menukar semua bajuku dan merendam semuanya dalam air. Aku berjalan di malam sunyi itu dan berhenti di sebuah taman yang gemerlap. Kulihat lampunya terang dan kuputuskan menunggu fajar disana seorang diri.
Apa inti dari kematian yang kupermainkan ini, apakah dia biasa saja atau mungkin terasa berat bagi orang yang mencintai sang mayat atau mungkin itu hanya sejumlah air mata yang sebenarnya tidak berarti. Kalau tidak ada artinya kenapa aku pernah meneteskanya demi orang tersayang dalam hidupku, apakah tindakan ku itu sia-sia belaka?, dan kalau iya sia-sia kenapa aku ingin membunuh mahluk-mahluk durjana itu sebanyak mereka yang jatuh dari mataku?.
Aku menapak di sisi langit malam ini dimana bulan yang terlihat sangat perkasa tadinya mulai meredup di telan awan-awan gelap, cajaya terangnya perlahan gelap dan udara dingin mulai menusuk tulangku ini. Seorang bapak duduk disampingku dalam ringkihnya dan baunya seperti tidaklah asing.
"Aku adalah pisau hatimu yang paling dalam pada masa lalu, kini dan nanti saat kau meregang nyawa. Derai derai air mata mu sangat banyak sehingga sangat sulit menghitungnya masa itu dan semenjak itu aku tak pernah lagi menampakkan muka ku kedepan mu, hanya sakya yang berani kutemui dan dia telah menemui ibumu." sabda orang tua itu terasa sangat pilu. "Aku adalah darah yang dibesarkan dari segenggam balas dendam atas perlakuanmu itu, tiap masa yang berlalu setelah kejadian mu itu menjadikanku malaikat maut bagi puluhan orang saat ini dari kaummu" jawabku.
" aku mengawasimu flogarata, setiap masa mu aku selalu berada di sisimu melihatmu dan mengawasimu, aku adalah asal darahmu" dia kembali bercerita. " Darahku berasal darimu kau kata tapi mengapa kau membunuh pasanganya" jawabku " diamlah kau wahai anakku" tanganku reflek dan langsung kutampar muka bapak itu. "Aku bukan anakmu baik dulu, sekarang ataupun nanti. Kau hanyalah orang tua gila yang bercinta dengan ibuku sehingga menghasilkan aku dan sakya, setelah kau puas kau bunuh dia dan kau lari bagaikan hewan hina " tukas ku keras.
Dia menatap bulan yang telah hilang dari langit malam dan berganti awan hitam pekat, aluran napasnya terasa berat dan mulai terasa sendu malam ini. Aku melihat iya menangis terisak, 16 tahun aku terdiam dalam sendu tapi baru kali ini rasanya perasaan itu menyentuh kalbu. Dia tetap terdiam beberapa saat meluapkan sendunya dan setelah 16 tahun yang lalu aku kembali merasakan air hangat itu mengalir di pipiku, mengguncang otakku memerahkan hidungku dan menyentuh sanubariku. Aku saat ini adalah aku saat aku di pemakaman ibuku. Apa geranganya sehingga aku rela kembali menumpahkanya saat ini? Beberapa saat kemudia dia kembali bercerita.
" aku adalah manusia dengan setumpuk kesalahan, anyir darah ibumu masih berbekas di kedua tanganku. Relung-relung penyesalan adalah rangkaian kata-kata bodoh yang keluar belakangan, mereka hanya mempurukkan hidupmu lebih dalam. Aku berjalan-jalan di tanah makamnya di setiap senjaku yang layu jingganya, mengucapkan kata-kata bodoh itu berulangkali dan menjerit meminta maaf kepadanya, aku percaya dia mendengarnya, hanya kesunyian yang datang setelah malam itu. Aku selalu terngiang wajah cantiknya, dia yang selalu sayang kepadaku bagaimanapun aku mengkasarinya. Dan aku hanya bisa menatap setiap fajar di kuburanya setelah malam itu. Keluarga kita memang masih beredar di dunia ini tapi sebenarnya jiwa-jiwa kita semua telah menemani ibumu saat ini" tangisku pecah saat itu juga mendengar kalimat-kalimatnya, aku memeluknya pertama kali semenjak 16 tahun berlalu pada malam ini.
" apakah malam ini adalah malam perbaikan hubungan antara bapak dan anak-anaknya?" tanyaku. " Kau salah gadis cantikku, sebenarnya malam ini adalah malam dimana tak ada lagi darahku yang akan hidup kembali, semua akan lenyap tanpa sisa malam ini. Anak lelakiku merengang nyawanya tadi " aku pucat mendengar perkataan orang tua dan mulai terdiam. Reflek kemudian adalah kupekikkan nama adikku itu dan mulai memecah malam suntuk ini. " bagaimana bisa dia meninggal ?, dan siapa yang membunuhnya? Biar aku tumpahkan darahnya sekarang juga" perkataan ku meluncur ke orang tua ini.
" Dia mati ditanganmu..." kelimat itu keluar dari pak tua itu dan langsung menghujam diriku dengan sangat telak dan menyakitkan. Suasana berubah menjadi sangat hening setelah itu, tubuhku terdiam dan terpaku lemas di samping genggaman ku terhadap ujung kursi tampa ganggang tersebut.
"Kini dia milik alam dan kembali ke alam dengan selamat, aku ingat nafas pertamanya saat dia lahir..., mengkahiri penderitaan ibumu dan memberi keceriaan yang seakan hilang saat itu. Keceriaanya dan tangisanya seperti nafas dan tambahan semangat kami. Aku tak menyangka dia terlahir untuk mengakhiri kegilaan mu yg terlalu buas, dia kembali bersama ibumu dan menebar bahagia dan tawa ibumu disana" lanjut orang tua itu memecah sunyi. "Kenapa kau mengorbankan azka untuk menghentikanku?, mengapa bukan kau saja yang menghentikan langkahku?" sambung ku.
" tak ada guna lagi senandung mu itu, nyawanya kini sudah melayang-layanng di atas awan dan langit, dia menjadi salah satu dari bintang disana. Begitu juga aku dan kamu nantinya, kita sekarang milik kematian, dia adalah tuan kita semenjak ibumu menghamba kepadanya beberapa tahun yang lalu. Jika benar dia adalah tuhan yang baik maka aku akan ikut denganmu beberapa detik saja dari sekarang. Kita semua adalah mahluk fana yang menanti mata-mata pisau tajam sang kematian. Racun azka telah merasuk kedalam dirimu dan aku akan menghadap cintaku yang kubunuh sendiri dan anakku yg memberi nafasku, hidup ini singkat sekali dan darah kotor ku tak akan terbagi menjadi sekumpulan daging manusia fana lagi karna aku telah meghapusnya dari kehidupan. Kematian azka untuk membunuh keangkuhan derajat wanitamu dan itu tidak sia-sia, nafasmu tak akan terjadi lagi dalam beberapa jam lagi dan aku akan menghadap tuhan ku beberapa waktu lagi" sabdanya terasa rindu yang pekat.
Orang tua itu tersenyum riang dihadapan fajar yang datang di renungan cakrawala timur. Pepohonan rindu telah lebat tumbuh dihatinya dan ia siap menuainya menjadi buah-buah kebahagiaan yang siap ia tuai meski di neraka sekalipun. Ia sangat bahagia menjadi milik dari kematian, dimana ia siap meniti satu masa lagi di langit sana dan berusaha membangun masa bersama kekasih hatinya dan nafas hidupnya.
Tiba-tiba muncul sebuah kendaraan yang sangat laju di jalanan itu, sontak iya berlari kencang menerjang angin sepoi subuh itu dan langsung berteriak " aku mencarimu wahai tuan ku sang kematian". Aku mengucapkan sesuatu yang sangat lama tidak aku ucapkan tubuhku secara reflek berkata " Ayah..." dan aku tak ingat sejak kapan terakhir kalinya aku berkata itu. Terdengar bunyi hentaman yang kuat. Kini kau telah menjadi hamba kematian.
Apa rasanya menjadi hamba kematian wahai adikku, ayahku, dan ibuku. Apakah dia menuntunmu ke surga atau ke neraka, atau apakah dia membawamu keliling dunia dulu untuk bersenang-senang. Aku berjalan kembali di subuh yang menerang ini, tak pernah rasanya mentari bangun sepagi ini semenjak ku lahir. Dia seakan menatap bumi dengan bahagia dan diiringi dengan kicau burung perkutut dan longlongan ayam jantan. Selama aku hidup tak pernah rasanya semua terlihat sebahagia ini
Aku menyisir jalanan kota yang mulai ramai dengan manusia- manusia yang lalu-lalang mencari kehidupan. Mereka mencoba abadi selama jari-jari mereka kuat menopang kepala. Hanya aku yang akan menjadi hamba kematian pagi ini dan berakhirlah kisah kusut keluarga ini yang akhirnya putus keturunanya di dunia dan menjadi abdi setia kematian.
Seekor burung gagak hitam hinggap di bahuku dan dia bersuara dengan lantangnya pagi itu di bahuku
KAMU SEDANG MEMBACA
Desperated
SpiritualApakah inti dari permainan kematian yang ku permainkan ini?