Miss Cupid 2

929 20 11
                                    

HARI INI Tinka benar-benar sial. Jazz kuning kesayangannya mogok gara-gara dibawa nge-date sama Dika. Yang punya salah sama sekali tidak bertanggung jawab, pagi-pagi buta Dika kabur berangkat sekolah naik bus kota. Kabur menyelamatkan diri sebelum dibombardir kata makian dan timpukan benda-benda ajaib oleh Tinka.

“Maaa... aku nggak usah sekolah deh ya?” rengek Tinka.

Tidak terbayang olehnya berangkat sesiang ini dari rumah naik bus kota. Bisa-bisa baru besok nyampe sekolah. Mana pelajaran pertama Bahasa Indonesia pula. Bu Dini, wali kelasnya, pasti melotot deh. Tapi Mama paling anti anak-anaknya bolos.

“Tinka, kamu kan nggak terlambat tiap hari. Masa Bu Dini nggak mau maklum sih?” tukas Mama membela Bu Dini.

“Aduuuh, Mama. Nggak tau Bu Dini sih. Dia malah seneng, Ma. Dia kan paling anti sama kita yang bawa mobil. Kesenjangan sosial, katanya. Ngomelnya pasti tambah panjang kalo tau aku telat gara-gara mobilku mogok. Aku kan nggak mungkin bilang busnya mogok juga makanya aku telat, Ma. Ya, Ma, ya? Masa Mama tega sih,” cerocos Tinka panjang lebar.

“Kalo masih ngomong terus sama Mama disini, bisa-bisa kamu diomelin sampe pohon Mama yang Mama tanem di belakang berbuah,” ucap Mama tegas.

Tinka tahu Mama sudah tidak bisa dibantah. Sambil menekuk bibirnya ke bawah mirip bulldog, dia menenteng tasnya lalu berpamitan. Ia menyeret langkahnya dengan malas. Siapa tau Mama berubah pikiran karena iba. Tapi pastinya sih harapan semacam itu sia-sia. Pokoknya tak ada kata bolos buat Mama. Bolos aja sudah salah. Apalagi kalau ditambah pura-pura sakit. Salahnya jadi dua kali lipat.

Perjalanan dari rumah ke halte depan terasa jauh banget. Tinka bolak-balik melirik jam tangannya.

Ada juga sedikit keberuntungan buat Tinka hari ini. Bus yang dia tunggu langsung nongol begitu dia sampai di halte. Buru-buru Tinka melompat naik ke dalam bus yang penuh sesak itu. Semilir bau-bauan tujuh rupa langsung mampir ke hidung Tinka. Dari wangi parfum murahan yang sering diobral di kios-kios, sampai wangi sabun colek bercampur keringat.

Gaya melompatnya dibuat senatural mungkin supaya terlihat sudah ahli. Tinka takut ada yang tahu kalau dia jarang naik bus, kemudian dijailin, dicopet, di-hiiii. Di dalam bus Tinka nyaris tidak bisa bernapas. Tinggi badannya yang pas-pasan membuat posisinya sangat tidak menguntungkan. Mukanya persis berhadapan dengan ketiak bapak brewokan yang baunya minta ampun.

Tinka setengah mati menahan napas. Saking kuatnya menahan napas, sampai-sampai Tinka kentut sedikit.

“Bang, nggak ada tempat kosong nih?” Tinka bertanya pada kenek sambil menyerahkan ongkosnya.

“Non, namanye juge bus kote. Ye untung-untungan aje. Kalo dapet ye untung, kalo kagak ye apes, nyiumin ketek,” jawab Si Abang kenek nyebelin. Sementara Si Bapak brewok mendelik karena merasa tersindir.

Perjalanan dua puluh menit itu sungguh menyiksa buat Tinka. Mana Si Bapak belum turun-turun, lagi. Otomatis ketiaknya makin amit-amit baunya gara-gara keringat. Tinka bergidik sedikit waktu matanya tertuju pada noda kekuningan di ketiak kemeja putih Bapak itu. Orang ini nekat

juga. Jelas-jelas produksi keringatnya berlebihan, masih ngotot pakai baju putih. Dan dasinya? Ya ampun! Beli dimana dia dasi berpola bunga matahari yang noraknya melewati batas normal kenorakan manusia biasa itu?

***

Bus berhenti di halte depan sekolah Tinka. Dengan gerakan superlincah Tinka menerobos ketiak-ketiak para penumpang yang terangkat, lalu melompat turun. Aaahh... udara segar.

Mata Tinka tertuju pada Bapak brewok tadi, yang juga turun di halte sekolahnya. Pengalaman mencium ketiaknya selama dua puluh menit membuat Tinka tergelitik untuk bertanya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 03, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Miss CupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang