Aku Mengubah Kekasihku Menjadi Keset

82 1 0
                                    

"Pacarmu pulang kampung, dude?" tanya sahabatku sambil ngupil. Ketika kalian bertemu dengannya, aku bisa jamin kalian akan terheran-heran—atau kalau kalian emang error, bisa sampai terkagum-kagum—dengan ukuran lubang hidungnya selebar gua. Dia memang biasa ngupil pakai dua jari. Telunjuk dan jari tengah. Waktu aku tanya dulu, saat awal pertemanan kami kalau kalian begitu kepo, kenapa tidak pakai satu jari, jawabnya, "Siji, mana cukup?"

Aku menyemburkan onde-onde isi kacang tanah yang setengah kukunyah. Untung tidak ada orang lewat di depanku, kalau ada, mungkin aku bakal kena sembur atau gampar. Di hari lain aku mungkin tak keberatan, secara aku yang salah. Cuman hari ini aku memakai kemeja favoritku, dan siapa yang bisa menjamin orang yang kena semburanku tidak menyemburku secara harfiah? Bagus kalau dia sudah sikat gigi. Apalagi pakai pasta gigi anak-anak yang wangi buah-buahan. Kalau belum? Kebayang dong baunya seperti apa?

Aku tahu hari ini akan tiba. Hari di mana akan ada seseorang yang menyadari pacarku hilang. Yang sebenarnya bukan hal yang sulit ditebak secara beberapa hari ini dia tidak masuk kuliah. Dan beberapa kali malam minggu aku lewatkan di dunia maya.

"Tidak," jawabku sambil bertanya-tanya dalam hati, Apa khasiat jamu galian rapet yang aku minumdalam rangka mengunci rahasiaku rapat-rapat telah pudar khasiatnya?

"Kenapa, dude?" imbuhku, menggunakan kalimat tanya yang aman dan tidak bersifat terlalu defensif.

Dude adalah panggilan khusus kami untuk menyebut satu sama lain. Pernah sahabatku mengusulkan dede sebagai nama panggilan khusus kami. Tapi aku tolak. Takutnya kalau kami sedang ngos-ngosan, terus panggilan tersebut ketambahan huruf "H" di belakangnya, ntar dikira kami pendakwah yang nerima curhat.

Kalau curhatnya benar sih tidak masalah, lha kalau curhatnya singkatan curahan hajat? Masa aku perlu menjelaskannya?

"Akhir-akhir ini aku nggak melihat batang hidung dan batangnya yang lain," kata sahabatku.

"Batangnya yang lain? Emang kamu kira dia cew—"

"Maksudku batang penanya. Dia kan yang paling rajin nulis catatan di kelas. Pikiranmu butuh disapu tuh. Nggak semua batang mengarah ke “itu” kali," sambungnya sambil cengengesan. "Jadi, kemana dia?"

Selama sesaat aku ragu.  Antara cerita, yang akan meringankan beban masalah yang aku tanggung, atau tetap merahasiakannya, dan tersiksa oleh kesalahan yang disebabkan oleh ulahku sendiri.

Aku memutuskan untuk cerita.

"Aku mengubahnya menjadi keset," kataku.

Dia melongo. Jelas menganggapku sedang ngebanyol.

Meski terdengar konyol, itulah kenyataannya. Dan hingga kini aku sedikit menyesalkan kejadian naas itu[1].

Kisah naas ini bermula karena tingkah polah pacarku yang, sumpah, bikin aku sakit hati. Padahal saat masa pedekate dulu dan awal-awal kami merajut kisah kasih kami, dia itu maniiis banget. Bahkan sirup Ojan kalah manis kalau disandingkan dengannya. Tapi setelah hubungan kami berjalan empat bulan, dia berubah. Masih mending kalau perubahannya dikarenakan serangan Negara Api, setidaknya—kalau dia jadi korban bakar-bakar dan masih hidup—aku masih mau menerima dia apa adanya walau kulitnya gosong kayak pantat panci. Tapi ini, tak ada hujan tak becek tapi banyak ojek, tiba-tiba saja dia jadi makhluk paling nyebelin di dunia!

Apa jangan-jangan setelah empat bulan ini, dia memutuskan memperlihatkan belangnya? Tapi setahuku kulit pacarku itu semulus dan seputih tapi tak sedingin pualam. Aku juga yakin banget dia bukan siluman macan. Dan terakhir aku cek dia bukan anggota grup penyanyi dangdut, Manis Macan Grup.

“Kamu mengubah pacarmu jadi apa, dude?”

“Kamu sudah mendengarnya tadi,” sungutku. “Sebenarnya, bukan secara langsung sih. Secara aku tidak punya tongkat sihir yang memilihku—aku sadar aku bukan Heli Copter yang sejak lahir sudah punya darah penyihir di tiap nadinya. Ini kerjaan kakek tua yang entah muncul dari mana yang mengabulkan harapanku."

KUKIS PEDAS - KUMPULAN KISAH PENDEK FANTASITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang