Jreng... jreng... jreng... petikan gitar sang pengamen sangat membuat tidak nyaman para pelanggan cafe yang sedang ingin menikmati suasana yang disajikan cafe tersebut. Tapi tidak dengan Nada, gadis itu tampak nyaman dengan keadaan itu. Dia malah tersenyum saat melihat pengamen itu menghampirinya dan menadahkan bungkus permen untuk segera diisi. "kalian sangat menghibur" kalimat yang terucap dari bibir munyil gadis itu yang berbuah kernyitan kening dari para pengunjung lainnya.
Nada, namanya adalah bagian dari irama namun tidak dengan hidupnya. Setiap hari hanya kesunyian yang menghiasinya. Tak pernah tau bagaimana suara penyanyi dari lagu yang sering di putarnya. Tak pernah tau bagaimana nyaringnya bunyi klakson mobil saat dalam kemacetan bahkan dia tidak tau bagaimana suara orang yang teramat di kasihinya. Tapi itu tidak membuatnya bersedih dan terpuruk " aku masih bisa melihat dunia, melihat bagaimana hitamnya asap knalpot kopaja, masih bisa melihat langit cerah, masih bisa melihat bintang, apa yang harus membuatku terpuruk, tanpa mendengar aku masih bisa mengerti apa yang mereka ucapkan, bu" jawaban itulah yang selalu di ucapkan nada saat sang ibu melihatnya dengan tatapan yang menggambarkan penyesalan. " kalau saja ibu tidak mengalami kecelakaan itu, andai saja ibu bisa lebih berhati – hati, " dan sudah banyak perandaian yang di ucapkan oleh sang ibu untuk menunjukkan bagaimana dia menyesal atas kesalahannya. Tapi sekali lagi nada hanya berkata " ibu, aku bersyukur masih bisa hidup, bisa melihatmu, bisa berbakti untukmu, dan bisa melihat setiap ciptaan sang kuasa, jangan selalu berandai – andai ibu, seolah engkau sedang menyalahkan takdir. Apa yang engkau takutkan dibalik rasa sesalmu terhadapku wahai surga-ku" " ibu hanya takut nada, takut kamu menjadi terkucil, ibu takut takkan ada irama yang mendampingi nada nya ibu, takkan ada hangat seperti hangatnya ayah, takkan ada tangan yang membimbing nada, karena sekarang kesempurnaan adalah mutlak bagi yang menginginkan pendamping." "ssttt..." nada tersenyum, senyum yang begitu tulus " lihat nada ibu, apakah nada terkucilkan ?" nada menggeleng kecil tetap menampilkan senyumnya "tidak ibu, dulu di sekolah nada punya banyak teman, ada Riri, Josen, Larisa, Bimo, masih banyak yang lain bahkan sampai nada bekerja ibu," "tapi..." nada memegang tangan ibunya " soal dia yang akan menjadi matahari yang menghangatkan, bintang yang menunjukkan jalan," nada memiringkan kepalanya dan menatap ibunya dalam " dia akan muncul ibu, di saat yang tepat, di waktu yang memang sudah di janjikan" nada mengakhiri pembicaraannya dengan ibunya walau dihatinya tersimpan banyak sekali ketakuatan tapi biarlah itu menjadi rahasianya, dia mengambil tangan sang ibu dan berpamitan " nada pergi dulu ibu, "assalamualaikum" " waalaikumsalam, hati – hati , bilang sama pak kardi bawa mobilnya jangan kencang – kencang" nada mengangguk seakan nada mendengar ucapan sang ibu, tapi nyatanya tidak, dia hanya memperhatikan gerak bibir ibunya.
Nada adalah admin di sebuah toko elektronik, kekurangannya menghentikan langkahnya untuk duduk di salah satu bangku yang tersedia di bangunan bertingkat di daerahnya. Nada bisa bekerja di tempatnya bekerja karna pemiliknya adalah teman dekat nada. "Selamat pagi , Arin" sapa nada pada temannya di bagian kashier yang merangkap sebagai bagian front office. "selamat pagi, nada" balas Arin dengan senyum cerah. Nada langsung menaiki tangga ke lantai 2, bagian yang dijadikan kantor kecil sebagai ruang kerja nada dan rekannya yang lain. Nada langsung menempati kabin nya dan mengerjakan pekerjaannya.
Harap maklum klo banyak typo, sebenarnya cerita ini pernah ikut lomba cerpen, tapi sepertinya g ada kejelasan lebih baik di posting disini biar g teralu nyampah di lepi. cerita yang dibuat untuk mengikuti lomba dengan harapan bisa naik cetak . tapi apalah daya saya.
semoga cerita ini bisa di terima ya sama teman - teman
salam sayang ,
dira