Entah berapa kali Karin merasa bersyukur dipertemukan dengan kehangatan sup Borscht dan roti hitam. Keduanya setia menemani menghabiskan waktu selagi Berlin dirundung hujan. Sungguh jika bukan karna suatu keharusan akan sangat enggan baginya untuk keluar dan menghirup udara di puncak musim dingin.
Tepat 30 menit yang lalu, ketiga kawan Indonesianya memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Bradenburg Gate. Setidaknya itulah hal wajar yang dilakukan pendatang menjelang masa penghabisan di negri orang. Namun hal itu tidak berlaku bagi Karin. Gadis itu lebih suka menghabiskan waktu untuk membaca atau sekedar menulis cerpen dalam perjalanan pulangnya menuju Muenchen. Toh, tak lama lagi salju akan turun. Dan itu berarti ia sudah harus sampai stasiun 15 menit kemudian.
"danke schoen" ucap pemuda kasir berterima kasih
Pintu kaca berdering kemudian. Rautnya nampak gusar melihat tetes air yang tak kunjung berhenti. Ia lantas menarik kembali telapak yang sempat ditengadahkan menghadap langit dan beranjak keluar meninggalkan cafe.
**
Hujan slalu menjadi suguhan pemandangan seni yang nyata bagi Eropa, tak terkecuali Berlin. Lengkap dengan kehangatan cappuchino yang disuguhkan sederet cafe kecil dengan kanopi kain klasik dan sebongkah gandum hangat nan harum yang tersaji dalam piring-piringnya.
Gadis itu terus berjalan. Tak mempedulikan tetes air yang mulai membasahi palto hitam nan tebal yang ia kenakan. Sambil sesekali mendongakkan kepala, menatap langit dan awan mendung yang setia menyelimuti Berlin sore itu.
Kakinya lantas diarahkan berjalan ke barat. Memasuki kawasan sebuah Boulevard Unter den Linden. Tak lama kemudian nampaklah Brandenburg Gate, bekas gerbang Berlin Timur pada masa lampau. Seperti gedung di beberapa negara Eropa pada umumnya, design Brandenburg Gate menyerupai Propylaea, gerbang masuk Acropolis di Athena. Enam pilar berdiri tegak membentuk lima pintu masuk menuju jalan raya, menopang bagian atap dimana patung Viktoria, dewi kemenangan Yunani mengendarai 4 Quadriga. Patung menghadap ke timur. Kental sekali dengan sejarah perpolitikan Prusia masa lalu.
Di kanan-kirinya, gedung-gedung berarsitektur modern maupun klasik berpadu, seolah hendak menyombongkan diri akan sejarah pada jamannya.
Ini bukan kali pertama bagi Karin menapakkan kaki di kiblat penganut fasis yang berjaya dijamannya itu, tapi Berlin memang terlalu artistik untuk diacuhkan.
Tak lama kemudian ia memasuki kawasan Hauptbahnhof, stasiun utama kota Berlin. Pendatang yang baru menginjakkan kaki di tanah Jerman akan mengira bangunan modern itu sebagai pusat perbelanjaan; 2 bangunan tengkurap persis diatas gedung memanjang menyerupai ruang lintasan kereta. Lapisan kaca yang menyepuh tiap permukaan, menjadikan tingkat transparansinya tinggi.
Karin lantas merogoh kocek, mengambil sebuah karcis seharga 40 Euro (senilai Rp. 90.000) untuk sekali jalan. Ia lantas menyematkannya pada sebuah mesin pemindai.
Sangat berbeda dengan kebiasaannya saat di Jakarta. Transportasi massal di beberapa negara Eropa mengharuskan penduduknya berjalan kaki menuju tempat pemberhentian setempat. Jika belum terbiasa sekujur tubuh pasti merasa kesemutan karna jarak Bahnhof (stasiun) dari pemukiman cukup jauh. Tapi bagaimanapun Karin merasa beruntung, dengan begini dia lebih sering berjalan dan kesempatan membakar lemak lebih banyak didapat.
Berdiri diantara kerumunan membuat Karin semakin merasakan betapa hebat rancangan arsitektur stasiun itu. Setiap jenis kereta mempunyai jalur lintasan dan tempat tunggu masing-masing baik U-Bahn, S-Bahn maupun ICE dan Tram (Trem). Membuat segala sesuatunya nampak lebih efisien dan terintegrasi.
Beruntung sekali warga Eropa, terutama di negara maju seperti Jerman dan Swiss. Hidup mereka tidak ditentukan oleh macet dan antrian panjang seperti yang terjadi di kota-kota besar Indonesia.
Sebuah eskalator lantas membawanya menuju platform 5. Dari eskalator ia dapat menyaksikan pemandangan luas nan rumit yang tersaji. Pengunjung bisa menggunakan sarana lift, tangga atau eskalator menuju ke 14 peron yang ada. Cukup megah untuk seukuran stasiun. Sama halnya dengan stasiun metro Smolenskaya di Rusia, sangat megah dan berwibawa seperti yang diceritakan dalam Bumi Cinta karangan Habiburrahman El Shirazy.
Sejurus kemudian kereta jenis ICE datang. ICE atau Intercity Express adalah salah satu jalur antar kota di Jerman. Kereta ini merupakan jenis terbaru yang mengangkut penumpang langsung antar kota tanpa transit seperti jalur U-Bahn atau S-Bahn.
Ia sengaja memilih kereta cepat untuk perjalanan pulang kali ini. Kereta bawah tanah adalah nuansa terbaik minat penulisannya sejak di Jerman. Dengan lingkup seadanya ia mampu menjelajahkan pikiran dan memory-nya akan setiap sudut Jerman sebagai latar penulisan.
Gadis itu lantas mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Sebuah mini tablet yang langsung terhubung dengan aplikasi pengetikkan.
5 menit kemudian kereta berangkat
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweeter Than Macaron
Teen FictionBecause human is restricted with the consequences