Ketika Sains Bertemu Agama

782 15 0
                                    

Di dalam sejarah peradaban manusia, kita dapat mengetahui bagaimana proses kemajuan sains berkembang. Pada abad sebelum Renaisans (abad 16 M), fenomena alam masih bergantung pada penjelasan metafisis yang berasal dari keyakinan mitologi masyarakat setempat. Seluruh penjelasan alam hanya ditafsirkan secara dangkal menggunanakan argumen-argumen teologis dan metafisis. Misalnya, seperti penjelasan tentang bumi yang ditopang oleh Dewa Atlas dan maupun penjelasan yang mengatakan bahwa bumi itu datar oleh masyarakat Yunani Kuno lebih dari 2500 tahun silam.

Kini, melalui sains segala fenomena alam dapat dijelaskan dengan akal budi manusia sehingga manusia mampu untuk memahami hukum-hukum alamiah yang terdapat di alam semesta ini. Diawali dengan peristiwa revolusi saintifik di Eropa di abad Renaisans (16 M), sains mendapat perhatian yang cukup baik dalam kehidupan manusia. Sains diyakini mampu menjelaskan fenomena alam dengan penjelasan yang rasional, objektif, serta dapat dibuktikan kebenarannya melalui metode-metode yang dirumuskan secara sistematis dan ketat. Dalam situasi semacam ini sains mulai menggeser kepercayaan kuno, dan memulai dengan menjelaskan semua fenomena alam dengan akal budi.

Buah manis sains adalah teknologi. Teknologi adalah bentuk aplikatif (terapan) dari sains. Sains menyediakan metode-metode yang ketat untuk menguji sebuah pengetahuan. Sebelum sebuah pengetahuan bisa diterapkan maka perlu pengujian-pengujian terlebih dahulu. Selanjutnya, pengetahuan-pengetahuan yang telah teruji itulah yang disebut dengan ilmu. Hanya melalui pengujian, sebuah pengetahuan dapat diterapkan. Ini berlaku bagi semua bidang ilmu, termasuk ilmu-ilmu sosial dan ilmu ilmu alam (rekayasa).

Lalu, bagaimana dengan agama? Apakah ia bisa diuji kebenarannya? Pertanyaan ini cukup sulit, sehingga menciptakan kotroversi di dalam wacana filsafat ilmu.

Ada dua pendapat besar mengenai agama menjadi bagian dari sains. Pendapat pertama berasal dari penganut positivisme. Paham positivisme hanya mengakui bahwa ilmu adalah pengetahuan-pengetahuan yang dapat diindera, diukur dan teruji. Dengan begini hanya objek-objek yang bisa indera saja yang layak dikatakan sebagai ilmu pengetahuan. Maka konsekuensi logis dari anggapan semacam itu adalah bahwa agama bukanlah bagian dari sains sebab kebenaran agama tidak bisa dibuktikan secara empiris (inderawi) maupun diukur. Jadi, menurut pandangan positivisme, agama tidak lain adalah pengetahuan subjektif, kebalikan dari pengetahuan objektif.

Pendapat kedua berasal dari aliran filsafat Fenomenologi. Aliran ini memandang bahwa semua jenis pengetahuan baik fisik maupun non-fisik adalah bagian dari sains. Aliran ini berangkat dari pengalaman dan penghayatan manusia sebagai dasar pengetahuan. Pengalaman dan penghayatan manusia tidak perlu, bahkan tidak bisa, dibuktikan dengan indera maupun angka-angka. Dengan kata lain, kebenaran sebuah ilmu adalah fakta (subjek yang berbicara) itu sendiri, maka tidak perlu melakukan pengujian yang ketat dengan melalui data-data angka sebab walaubagaimanapun angka tidak mampu menggambarkan pengalaman intuitif manusia. Jadi, dalam hal ini agama adalah bagian dari sains sebab ia menangkap sisi penghayatan manusia. Pendapat ini kerap ditolak keabsahannya, terutama bagi saintis positivistik. Menurut kaum positivis, sains itu memiliki kebenaran relatif sedangkan agama menghendaki kebenaran absolut. Tentu saja ini akan saling bertentangan satu sama lain.

Lalu, bagaimana pendekatan untuk memahami hubungan antara sains dan agama? Kemudian ini dijawab oleh Ian Barbour melalui bukunya "When Sciense Meets Religion". Ia membagi empat tipologi hubungan sains dan agama. 1) Pendekatan konflik yang memandang bahwa agama sebagai musuh abadi sains. Tokoh yang menggunakan pendekatan ini ialah Richard Dawkins, Peter Atkins, dan Carl Sagan. 2) Pendekatan independensi yang memandang tidak tepatnya suatu penghakiman baik terhadap agama maupun sains. Ini bisa saja disebabkan karena metodologinya yang berbeda, ataupun upaya untuk memisahkan keduanya demi menghindari konflik yang tak berujung. 3) Pendekatan dialog yang berupaya melihat persamaan dan perbedaan antara sains dan agama. Pendekatan ini, bagi Barbour dinilai lebih bersifat membangun daripada pendekatan independensi sebab walaubagaimanapun keduanya sebagai sarana memahami realitas sebagai sumber pengetahuan manusia. 4) Pendekatan integrasi yang menekankan keterkaiatan antara sains dan agama. Menurut Barbour, pendekatan ini merupakan tuntutan alamiah dari dialog yang membutuhkan penjelasan konstruktif, interaktif, dan integratif.

Sesunggunya, sains dan agama memiliki keutamaan masing-masing yang pada dasarnya saling melengkapi pengetahuan manusia. Sains, misalnya, senantiasa mengajarkan kita untuk sabar dalam mencari suatu kebenaran. Ketika kita hendak mencari kebenaran, kita harus menunda pemahaman kita terhadap pengetahuan yang sudah kita terima sebelumnya dari tradisi, budaya, dan agama. Meskipun berbagai metode yang telah diterapkan benar namun hasilnya kadang tidak sesuai dengan yang kita harapakan. Maka di titik inilah seorang ilmuwan dituntut untuk sabar. Sains mengajarkan pada kita bahwa pengetahuan yang telah kita peroleh sebelumnya belum tentu benar maka haruslah diuji terlebih dahulu sebelum layak dikatakan sebagai "benar". Para ilmuwan harus sadar keutamaan semacam ini.

Pun demikian dengan agama juga mengajarkan kita tentang pengetahuan yang tidak bisa kita dapatkan melalui indera dan akal semata. Agama mengajarkan kepada kita tentang siapa diri kita sesungguhnya, apa tujuan kita hidup, dan kemanakah selanjutnya setelah kita mati. Agama adalah pengalaman persentuhan manusia langsung dengan Tuhan. Bahkan pada tingkat tertentu, pengalaman mistik keagamaan seseorang berbeda dengan yang lain walau menganut agama yang sama. Pada intinya, agama menjawab persoalan batin yang tidak mampu dijawab oleh akal budi maupun indera kita. Para pemeluk agama harus sadar keutamaan semacam ini.

KNTL StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang