AKU memperhatikan calon tuanku lagi. Ia berusaha melawan kantuk yang pasti amat sangat menyiksanya. Ketika pandangannya mulai kabur menatap ribuan bintang, ia menampar wajahnya untuk kesekian kali agar rasa kantuk itu pergi. Sayang sekali, usahanya belum berhasil. Ia mendecak keras sebagai bentuk kekecewaan, membuat para Pinion—peri kecil bersayap burung— yang sedang tertidur pulas di kelopak bunga-bunga tulip di atas nakas bergerak tidak nyaman.
Sekali lagi ia mencoba mengusir rasa kantuknya dengan cara mengerjap berkali-kali, menggeleng, memutar bola mata tapi usahanya gagal. Bulu-bulu matanya yang hitam menyatu, mengantarnya ke alam mimpi.
Keine Lowen. Pria bermanik abu-abu itu meneteskan air mata saat ia menutup matanya. Satu persatu mimpi buruk berdatangan ketika ia tertidur. Aku bisa melihat dengan jelas bagaimana kecelakaan itu terjadi. Juga ketika ia gagal menyelamatkan satu dari tiga saudaranya yang terjepit pintu mobil. Ia menangis hingga tubuhnya terguncang hebat saat mengetahui hanya dia yang selamat dari kecelakaan maut itu.
Splash. Asap hitam yang tadi mengepul di atas kepalanya hilang ketika ia terbangun. Kelopak matanya yang terbuka lebar mengawasi setiap sudut ruangan kamarnya yang sunyi. Sadar karna itu hanya mimpi, ia melempar pandangan ke pekarangan rumah yang dihuni puluhan peri brownies.
“Maroonlina?” Suara itu membuatku menoleh cepat. Peri dari suku Pixies menyeringai padaku. Sayapnya yang transparan mengepak indah dan mengeluarkan serbuk keemasan. Hati-hati dengan serbuknya karna itu bisa membuatmu tertidur. Manusia tidak pernah tahu bahwa menguap disebabkan oleh para pixy yang bertengger di ujung hidung mereka. Para pixy juga membuat kebanyakan manusia malas dan memilih tidur sepanjang harinya.
“Kau mengenalku?” tanyaku seraya mengepakkan sayap putihku yang panjangnya sama dengan panjang tanganku. Seketika tubuhku yang tadinya duduk manis di tepi nakas melayang menghampirinya. Serbuk putihku yang berbentuk bintang berjatuhan di atas kelopak tulip.
“Siapa yang tidak kenal dengan para Dream catcher? Hmmm?” Ia mengerling nakal lalu meletakkan kedua tangannya di pinggang. “Kau kah selanjutnya?”
Aku menjawab pertanyaannya dengan mengedikkan bahu. Matanya yang besar dilindungi bulu-bulu lentik panjang berwarna ungu memicing ke arahku.
“Mungkin langit akan kejatuhan bintang lagi.”
Aku mendengus pelan. Bintang jatuh menandakan bahwa ada peri yang jatuh cinta pada tuannya. Mereka akan terbang ke langit dan hancur membentuk pendaran bintang yang kemudian jatuh ke bumi. Hal yang ditakutkan para Dream catcher. Hanya sedikit peri yang mampu melindungi dirinya.
“Tapi, itu tugas kami para penangkap mimpi," ucapku ntah mengapa merasa begitu takut.
“Lihat?!” Tiba-tiba jarinya terangkat menunjuk langit. Dari jutaan cahaya bintang aku bisa melihat satu di antaranya jatuh menuju bumi. Itu….
Aku mendengar suara bisik-bisik dari para Pinion yang terbangun. Mengucapkan permohonan. Bukan rahasia lagi jika bintang yang jatuh mampu mengabulkan keinginan semua makhluk. Jika para peri hitam bernyanyi menyambut jatuhnya bintang, maka jutaan peri putih mengubur kepergian si penangkap mimpi dengan tangisan.
Aku menoleh ke jendela, tempat di mana Ken masih menyandarkan sebagian tubuhnya. Rambutnya yang kusut karna ulah peri usil dibiarkan begitu saja. Dia tersenyum menyadari satu bintang lagi jatuh dari langit.
Pesan untuk si penangkap mimpi :
Jangan jatuh cinta pada manusia karna bintang-bintang akan berjatuhan.
Aku... takut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Catcher
FantasyCopyright © 2014 Pandanello Ini fantasi, yang nggak suka nggak usah baca hehehe, ntar pusing loh ;) Keine Lowen bermimpi buruk sepanjang hari. Tidak pernah ada mimpi indah sejak kecelakaan itu merenggut nyawa kedua orang tua dan tiga saudaranya. Aki...