Kalo sempet dengerin mulmed yay.
εïзεïзεïз
Sinar matahari menerobos masuk dari jendela kamar yang kubuka lebar. Tapi, Ken masih saja terlelap. Tadi, saat aku membangunkannya, ia hanya bergumam tidak jelas lalu mengganti posisinya menjadi terlentang. Bibirnya terbuka sedikit, rambutnya semrawutan. Ia memiliki rahang yang tegas dengan garis tampan yang memesona. Alisnya tidak terlalu tebal, hidungnya mancung dan bibirnya merah seperti buah apel. Kombinasi yang sempurna. Keine Lowen, namanya juga bagus, menurutku.
“Hei, tuan. Bangunlah!” bisikku di telinganya. Ia bergidik dalam diam. Melihat itu aku terkikik geli. Ia lucu ketika mengerutkan dahi dalam tidurnya. Aku menghentakkan kaki di udara untuk merubah bentuk menjadi manusia peri. Kami—para peri—memiliki kemampuan untuk berubah bentuk dan ukuran sesuai dengan keinginan kami. Aku menginjak lantai kayu dan duduk di sisi tempat tidurnya.
“Kau mau tidur sampai kapan?” tanyaku lagi. Aku tidak sempat mengelak saat satu tangannya melingkar di pinggangku. Bisa kurasakan hembusan nafasnya membuat punggung tanganku yang tepat berada di depan bibirnya terasa hangat. Untuk beberapa saat aku bertahan dalam posisiku, mendengarkan detak jantungnya, menghitung berapa kali ia mengembuskan nafas.
“Tuan…,” suaraku tercekat, tiba-tiba ragu untuk membangunkannya. Ia merapatkan tangannya, membuatku tertarik rapat ke tubuhnya.
“Hmmmhhh?” Ia membuka mata, mengerjap-ngerjap. Mungkin untuk mengusir rasa kantuk atau mungkin untuk memastikan kalau aku ini benar-benar nyata.
“Kau… masih disini?” tanyanya dengan ekspresi yang sama seperti pertama kali ia melihatku malam tadi. Terkejut.
“Seperti yang kau lihat,” jawabku.
“Ekh!” Ken menarik tangannya dari tubuhku dan merapat ke dinding. Aku beranjak dan duduk di kursi kayu yang tak jauh dari tempat tidurnya.
Ken duduk, ia mengucek-ucek mata dengan sebelah tangan bersamaan dengan kaki kanannya yang turun dari tempat tidur lalu disusul kaki kirinya. Ia memakai celana pendek berwarna krem dan kaos putih polos. Ia berjalan terkantuk-kantuk ke kursi diseberangku. Setelah duduk, ia menopang dagu dan menatapku lurus-lurus.
“Aku masih mengantuk,” katanya sedikit kesal. “Kenapa kau menggangguku?” tuduhnya. Aku tersenyum serta menopang daguku, persis seperti apa yang dilakukannya sekarang.
“Maaf.”
“Aku masih tidak percaya ini,” katanya.
“Kenapa tidak?” tanyaku. Ia mengedikkan bahu.
Lama ia memfokuskan pandangan padaku.
“Apa kalian para peri… bisa memasak?” tanyanya.
Agak lama aku menjawab pertanyaannya, bahkan sampai sekarang aku masih belum menjawab. Tidak mengangguk, tidak juga menggeleng. Ia memiringkan kepalanya. “Tidak bisa, ya?”
“Kami melakukannya dengan ini!” Aku mengayunkan tongkat sihirku ke meja, serbuk bintangku yang bercahaya berubah menjadi makanan mentah. Sayur-sayuran, ikan, juga kerang basah. Sesuai dengan yang aku pikirkan.
“Ini?” Ken bertanya dengan kedua alis terangkat.
“Ya?”
Aku tersentak saat mendengar ia tertawa terbahak-bahak sambil memukul meja. Apa yang lucu?
“Kami membuatnya sesuai dengan yang kami pikirkan,” aku membela diri, agak tersinggung. Ken menutup bibirnya rapat-rapat, tapi yang kulihat ia hanya berusaha menahan tawanya. “Katakan tuan mau apa? Aku akan menyiapkannya!” kataku sombong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Catcher
FantasyCopyright © 2014 Pandanello Ini fantasi, yang nggak suka nggak usah baca hehehe, ntar pusing loh ;) Keine Lowen bermimpi buruk sepanjang hari. Tidak pernah ada mimpi indah sejak kecelakaan itu merenggut nyawa kedua orang tua dan tiga saudaranya. Aki...