Prolog

18 4 3
                                    


Saat itu sedang hujan. Orang-orang bergegas menuju tujuannya, berjalan di atas trotoar yang basah sambil berusaha melawan kuatnya angin. Gemuruh guntur dan petir melengkapi suasana malam yang suram.

Ferdinand Wines sambil menopang istrinya berjalan menuju mobilnya di parkiran rumah sakit. Tidak ada kebahagiaan tersirat di wajah mereka. Istrinya harus menahan kesedihan yang besar.  Penantian panjang mereka telah sia-sia.

Elli keguguran.

kebahagiaan selama 5 bulan itu sirna dalam sekejap. Ferdinand menggigit bibirnya, tidak tahu harus berkata apa. Elli juga sepertinya tidak ingin dihibur. Mempunyai anak adalah hal terumit yang pernah mereka lakukan.

"Sudahlah Elli, m-mungkin lain kali akan berhasil.," tutur Ferdinand dengan suara parau.

Elli menggelengkan kepalanya dengan lesu. "Tidak, aku tidak kuat lagi..." suaranya tersendat. "Kita sudah menikah selama 4 tahun dan belum memiliki satu pun anak!! Aku capek mendengar sindiran Ibumu!!"

"Kau pikir aku tidak capek?! Bukan hanya kau saja yang diomelinnya!" Suara Ferdinand sekarang lebih keras.

Mereka kemudian berjalan tanpa berbicara. Elli terus memandang ke bawah. Telinganya kemudian mendengar sebuah suara. Suara itu seperti suara gesekan daun-daun. Elli mengangkat kepalanya lalu mencari sumber suara itu, matanya melihat cahaya keemasan dari sebuah gang kecil di samping kirinya.

Ferdinand memperhatikan istrinya yang dari tadi melihat gang kecil itu. "Ada apa?" Tanyanya bingung sambil mengikuti istrinya memasuki gang.

Elli berjalan dengan pelan menuju sumber cahaya itu. Tak lama kemudian cahaya emas itu mulai meredup. Elli tersentak, ia segera mempercepat langkahnya.

"Elli? Hei, tunggu!"

Ketika mereka sudah hampir sampai ke ujung gang, mereka segera mengintip dari balik dinding.

Seorang pria berambut pirang keemasan dengan pakaian yang mirip ksatria abad pertengahan sedang berlutut kesakitan. Tangan kirinya memegang sebundel kain besar. Tapi apa yang membuatnya semakin mencolok adalah sayap besar berwarna emas yang membentang dari punggung pemuda itu.

Pemuda itu sepertinya menyadari kehadiran Elli dan Ferdinand. Dia menatap mereka sambil menunjukkan ekspresi kesakitan. Iris matanya berwarna emas tapi terlihat redup sama seperti cahaya emas yang menyelimutinya.

"Kalian berdua!" Serunya sambil mengerang kesakitan.

"Y-ya?!" Jawab mereka ketakutan.

Pemuda itu berusaha mengatur nafasnya, dia terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Ferdinand baru sadar, ada sebuah tombak cahaya menembusi perut pemuda itu.

Dia menyerahkan sebundel kain di tangannya. "Tolong jaga anak ini," pintanya.

Elli mendekat perlahan-lahan dan setelah memutuskan aman, diambilnya bundelan itu. Elli merasakannya bundelan itu bergerak, disikapnya kain itu sedikit. Seorang bayi sedang tertidur pulas.

"B-bayi?! Bagaimana-"

Sayap pemuda itu hancur menjadi debu emas. Pemuda itu menatap mereka untuk terakhir kalinya.

"Rawatlah dia sampai ia siap untuk terbang bebas."

Tangan pemuda itu perlahan mulai hancur menjadi debu emas. "Nama anak itu Pablo," katanya sebelum tubuhnya benar-benar hancur menjadi debu emas.

Ferdinand memeluk istrinya dengan erat sesudah melihat kejadian aneh tadi. Istrinya tersenyum bahagia sambil mengelus pipi bayi dipelukannya.

"Ferdinand." Elli menatapnya sambil tersenyum. "Ayo, kita rawat anak ini."

******Prolog: END*******

Liburan  nggak tahu mau ngapain jadi yah.... nulis cerita deh. Mumpung pas lagi dapat inspirasi, hehehe. Ini cerita pertama saya di wattpad, ada sih yang lain tapi saya hapus.

Please enjpy the story :)

The Sky ProtectorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang