Karena Kita Berbeda

27 3 2
                                    

     Langit abu-abu menampakkan kesedihannya. Seperti, awan yang berpura-pura setia bersamanya. Arbelle menatap nanar punggung langit, ia kecewa seseorang yang selalu dia tunggu tak kunjung datang. Bahkan sekedar menampakkan hidung saja, dia tak mendapatkannya.       Senyum manisnya perlahan pudar, di ganti dengan semburat wajah sedih ala langit yang ia pandang. Tertawa diantara kecewa, dan menganggap dirinya bodoh.
     " Ketawanya bagi-bagi, jangan dihabisin sendiri." Sahut seseorang, entah berantah datang dari mana.  Perempuan itu tertegun, melihat siapa yang tiba. Dirinya salah, ternyata tak sebodoh yang ia kira.
     " Gak usah. Tawanya pahit lho, emang kamu mau, tawa rasa pahit?" Arbelle Tak kalah menjawab.
     " Kalo itu untuk aku dan demi kamu?  Kenapa enggak?"
     Namanya Raffa. Berperawakan tinggi, pigmen kulitnya putih pucat. Berambut lurus, dan tentu dia terlihat sangat tampan.
     Ada kisah masa lalu bersamanya. Tentang persahabatan, persahabatan yang damai dan tak pernah kehabisan canda. Mereka seperti sepasang paru-paru, rusak satu maka berhentinya sebuah cerita.
    " Ini. Anggap saja, hadiah buat kategori menunggu aku tiba." Raffa, menyerahkan setangkai bunga mawar. Arbelle tak percaya, dia akan di beri sebuah mawar oleh seseorang yang dianggap monster es dari galaksi kutub Venus. Dia menerima, lalu mencium aroma wangi khas sebuah mawar.
     " Gak usah dicium kali, mawarnya halal , juga gak bakalan bau ketek kok!"
    " Raffaaa!!! "
    " Hahaha...  Eh Btw, maaf ya aku telat soalnya tadi ada latihan olimpiade fisika. Oh iya, selama latihan berlangsung aku gak fokus. Kamu tau alasannya? Karena aku gak mau di cap sebagai laki-laki ingkar janji, " Jelas Raffa panjang lebar, namun Arbelle hanya menanggapinya dengan senyuman. " Aku juga udah janjikan?  Bawa kamu ke sebuah tempat indah. Kali ini kamu bakalan gak berhenti ngedip. Liat aja nanti, yuk!" mereka berdua berjalan, beriringan seperti sepasang kekasih. Sayangnya, cerita kali ini bukan sebagai kekasih, hanya sebagai sahabat kecil yang diam-diam saling menguatkan.
                            ******
     " Raf, lo mau kemana?  Tugas lo belum kelar kali! "
     " Ke Posyandu, suntik imunisasi"
     " Hah?  Serius lo?
     " Yee!! yak pulang lah... " Raffa membawa tas, tak lupa dia juga sudah memiliki janji untuk membawa kotak coklat untuk seseorang. Dia memutuskan untuk berhenti dulu di sebuah cafe cookies di dekat persimpangan jalan padat ibu kota jakarta.
     " Mba, Coklat boxnya ya! "
     " Mau berapa mas? "
     " Satu aja mba," cepat, dia langsung memasukannya kedalam tas. Lalu berjalan ke arah parkiran. Dia melajukan motor ninja hitam, serasi dengan jaket dan helm yang berwarna serupa. Tanpa mengganti baju terlebih dahulu, dia langsung menghampiri tempat tujuannya.
     " permisi, boleh ikut duduk?" dia duduk disamping Arbelle yang sedang asyik melukis, kali ini ada yang berbeda dengan wajahnya. Wajah pucatnya disamarkan oleh senyuman khas seorang perempuan. Terlihat indah, semenarik bunga yang baru bermekaran. " Untuk kamu dan demi aku?  Kenapa enggak?" jawabnya, tanpa mengalihkan pandangan. Senyumnya tak pernah hilang, mengayunkan lengan dan jari lentiknya yang menawan,  sedikit-demi sedikit memberi warna sebuah gambar yang di apik seindah mungkin. " Aku bawa Coklat kesukaan kamu,  ini spesial rasanya." sahut Raffa semangat, mengeluarkan coklat box dalam tasnya yang berwarna abu. " Apa bedanya sama coklat yang sering kamu bawa, coba?" Tatapannya beralih memandang Raffa yang semangat membuka bungkusan kotak coklat. " Ini rasanya beda lagi, rasa 'lari dari tumpukan tugas' pasti rasanya enak banget, " dengan polos, dia melahap banyak coklat yang tadinya dia berikan pada Arbelle. " Ih, gak enak lah rasanya. Apalagi kalo lari dari tugas. Tapi, anyway kok malah kamu sih yang makan coklatnyaa!! "
     " Bell, yang belinya nyicip dikit boleh kali, masa iya pelit banget! "
     " Boleh sih boleh Raffa ganteng, tapi jangan kayak ngerampok gitu dong makannya!"
     " Iya deh iya. " Saat mereka sedang asyik bercanda tiba-tiba datang seseorang. "Raffaa ?" sahut seorang perempuan, dia berambut lurus dan panjang. Dia memiliki wajah cantik, dan rautnya sangat ramah. " Airin? Dari mana?  " tanya Raffa, berdiri mengsejajarkan posisinya dengan Airin.
     " Iya, kebetulan aja tadi aku habis main basket sama Deva. Ya udah aku duluan ya Raf, takut Deva nunggu, "
     " Oh, silahkan... "
     " Yaudah, emm- duluan ya, see you" kali ini Raffa menyempatkan untuk tersenyum. Matanya masih sibuk menatap langkah pergi Airin. Lalu, Arbelle mengalihkan pandangan menuju kanvas yang meriah kaya warna, dia mengambil water color untuk meneruskan pekerjaannya, namun kali ini ia memutuskan untuk mengubahnya menjadi warna hitam pekat.
                             ******
     Jalanan besar itu lenggang seketika. Waktu menunjuk pukul 07.00 WIB.  Perempuan berambut sebahu, kini tengah beradu piring menghabiskan sarapan pagi. Pikirannya kalut, membenci keadaan. Terhenti ketika datang Mba Lasti pembantu rumahan yang setia. " Non, minum obatnya. Bentar lagi, Ayah sama Bunda Non bangun, " ia tidak peduli, sahutan mba Lasti. Yang ia pikirkan adalah, bagaimana cara ia bersekolah normal seperti anak SMA lainnya, memakai seragam putih abu-abu dan berbaur bersosialisasi penuh kebersamaan. Lamunannya terhenti, ketika ayahnya mengusap rambut lembut milik seorang Arbelle. "Pagi, sayang.  Udah sarapan?  Minum obat? " tanya ayahnya. " Ini mau kok, yah. But, can you hear my grip right now? " ia balik bertanya. Ayah dan Bunda kini bertatapan satu sama lain,  lantas menjawab " Why not? Honey? " Bunda berkata lembut.
     " Arbelle gak suka home schooling. It's saturated, and i really hate.  Why?  Kenapa aku tidak boleh bersekolah seperti anak sekolah lainnya?  Aku dikurung selama 9 tahun oleh pelajaran home schooling yang menjenuhkan. Kapan aku punya teman? Lantas bercanda bersama-sama?  Lalu bersosialisasi memiliki banyak teman. Aku tau kalo aku berbeda, aku punya penyakit, tapi apa salahnya sekolah seperti orang lain?? " Arbelle tidak habis bicara. Ia mengeluarkan semua unek-unek dalam hatinya.
     " Arbelle sayang, Arbelle kan punya Raffa? Punya Farel adiknya Raffa terus ada Albema kakaknya Raffa,  banyak kan?  Sekolah itu cape sayang, mending di rumah." Bunda menenangkan Arbelle, berusaha memberikan solusi terbaik untuk anak semata wayangnya itu.
     " Asal bunda dan ayah tau, temen Arbelle gak sebanyak temen Raffa. Hal itu yang aku benci, seakan dunia ini berteriak kalo aku ini GAK NORMAL. ARBELLE KAMANDANU GAK NORMAL ..."
     "ARBELL CUKUP. cukup Arbelle. Ayah sama bunda gak punya banyak waktu. Ikuti saja perintah ayah dan jangan membantah!  Ayo bun, kita harus meeting sebentar lagi." Arbelle pergi meninggalkan kedua orang tuanya, dia berlari menuju kamar lantas menutup pintu dengan kencang. Bunda hampir berlari mengikuti Arbelle, tapi ayah melarangnya. 
     Di dalam sebuah keterbatasan dan waktu yang sempit itu, kini ia berbaring lemah. Menghabiskan waktunya untuk menangis di setiap saat, bertanya pada takdir yang sudah menyatu dalam jiwanya dari sejak lahir.
     Di sisi lain, seseorang ikut bersedih. Perasaanya tiba-tiba ikut-ikutan sakit seakan tau dan bisa merasakan sedih yang sedang di alami seseorang. Raffa memegang kepalanya yang terasa sangat pusing, di koridor sekolah, tepat dengan bunyi bel tanda masuk dia terjerembab jatuh ke lantai sekolah, matanya terpejam lalu menghitam seketika.

















Hulla.  It's my first Story, please vote. Oh iya, ceritanya masih berlanjut yaa...  Terima kasih pembaca pertama. You're the best ever after. ❤
See you on next story.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 19, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Between Me And SheTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang