✳✳✳
Kata mereka, jauhi dia.
Kata mereka, jangan berbicara padanya.
Kata mereka, dia berbahaya.
Kata mereka, lagi, jauhi dia.Kata dia, dengarkan mereka.
Kata dia, pergi, Joe.✳✳✳
Dark Side.
Written by nadbananadsKata mereka aku keras kepala. Mereka bilang aku selalu melakukan apa yang mereka larang. Aku bilang, aku tidak peduli. Aku tau mereka salah dan aku benar.
Sudah cukup mereka mengatur apa yang harus kuperbuat dan apa yang tidak. Aku bukan robot. Aku manusia yang punya akal sehat, tapi mereka tidak mendengar. Mereka melakukan apa yang mereka mau lakukan padaku, jadi kenapa aku tidak bisa melakukan apa yang kumau?
Sampai suatu hari aku memutuskan untuk memberontak, aku lari. Keluar dari kandang yang mengekangku sejak lahir. Mereka berteriak, memintaku kembali.
Jauhi dia, kata mereka.
Dia siapa? Benakku bertanya.
Jangan berbicara padanya, kata mereka.
Aku terus berlari, menghindari tangan-tangan yang ingin membawaku kembali pada mereka.
Dia berbahaya, kata mereka.Aku tidak percaya pada mereka lagi. Mereka hanya mengatakan apa yang ingin kudengar agar aku kembali pada mereka. Tidak. Aku tidak ingin kembali.
Kata mereka, lagi, jauhi dia.
Aku berhasil pergi. Mereka menjerit marah. Aku tidak peduli. Aku sudah pergi.
Aku meraih pintu hitam itu, mendorongnya, mendobrak dengan sekuat tenaga tapi percuma. Pintu itu tetap terkunci, seakan enggan mempersilahkanku masuk.
Tolong, seruku. Biarkan aku masuk. Mereka mengejarku. Biarkan aku masuk.
Hampir putus asa, aku menjerit pilu diikuti air mata yang jatuh membasahi wajah tirusku. Buka pintunya, mohonku.
Mereka mulai mendekati tubuh lesuku yang bergetar hebat. Tidak, jangan biarkan mereka membawaku. Buka pintunya. Sekali lagi aku memohon.
Pintu itu terbuka seperekian detik sebelum tangan mereka menyentuhku. Oh tuhan, aku nyaris saja dibawa mereka pulang.
Pintu kembali tertutup, meninggalkanku sendirian di ruangan serba hitam. Sendirian, tangisku berubah menjadi tawa getir. Akhirnya aku sendirian.
Mereka tidak bisa menangkapku di sini. Mereka tidak bisa. Aku mulai tertawa lagi. Mereka tidak bisa.
"Dengarkan mereka."
Aku menatap sekelilingku was-was. Ada sebuah suara. Aku tidak sendiri. Aku mencari dimana asalnya, tetapi yang kudapat hanyalah ruangan kosong berwarna hitam.
"Si-siapa di sana?"
Tidak ada jawaban. Aku semakin merasa cemas. Aku tidak sendiri, pasti ada seseorang. Kuharap dia tidak seperti mereka.
"Pergi, Joe."
Tangisku kembali meledak. Dia tau namaku. Dia ingin aku pergi, tapi aku tidak mau. Dia sama seperti mereka.
Aku menggeleng di sela tangisku. Tidak, kumohon. Jangan usir aku.
"Pergi, Joe."
Aku menutup telingaku, menjerit. Suaranya terdengar begitu dekat, seperti menyatu dalam pikiranku. Tidak. Aku tidak ingin pergi, jeritku.
Sesuatu seperti mencekik leherku, jeritanku seketika lenyap. Napasku berantakan. Dia marah. Aku membuatnya marah tetapi aku tetap tidak ingin pergi.
"Pergi, Joe."
Kali ini suaranya membisik di telingaku, dengan nada tajam membuatku berkeringat. Aku menggeleng. Masih menutup telingaku.
Suaranya memantul di gendang telingaku, masuk dan bergaung di dalam kepalaku seperti kaset rusak milik bibiku. Aku menjerit lagi, kali ini tidak ada suara yang keluar dari tenggorokan. Menangis, hanya itu yang bisa kulakukan.
"Pergi, Joe."
Dia di sana. Menatapku dengan marah. Aku menggeleng. Dia mendekatiku, meraihku. Aku ingin lari, tapi tubuhku tidak bisa bergerak. Dia semakin mendekat.
"Pergi, Joe. Pulang. Ini bukan tempatmu, pulang."
Suaranya berubah menjadi halus namun tidak membuatku tenang. Dia mengelus kepalaku dengan tangannya yang dingin. Dia menatapku, menunggu jawaban.
"Tidak."
Yang kutahu setelah itu, dia menjerit. Mendorong tubuhku ke lantai yang berdebu. Jeritannya membuat telingaku tuli. Wajahnya berubah, bola matanya meneteskan sesuatu berwarna merah. Darah.
Kemudian semuanya gelap, hanya warna merah yang dapat kuingat. Kurasakan banyak tangan meraihku. Mereka datang. Mereka membisikkan sesuatu yang tidak jelas.
Mungkin, aku memang keras kepala. Mungkin, mereka benar dan aku salah. Mungkin, jika aku mendengarkan mereka, aku tidak akan berakhir di ruangan ini. Tidak bergerak, bisu, tuli, buta. Seharusnya aku tidak keras kepala.
Seharusnya aku tidak pergi.
End.
***