Suara musik terdengar sangat kencang di telinganya, sekarang dirinya sedang duduk di kursi sambil meneguk vodka yang sekarang lebih menyenangkan baginya. Dio menatap hambar gelas kelima yang isinya sudah habis diteguk olehnya, cewek itu benar-benar membuat Dio kehabisan akal sehatnya. Dio benar-benar sangat kacau, membayangkan kembali kejadian itu—Dio tersenyum picik.
“Yo, lo udah menghabiskan lima gelas vodka. Gue tau lo lagi banyak masalah, tapi gak begini caranya Yo.” Ucap seseorang yang entah siapa—tapi suaranya terdengar familiar di telinganya.
Dio hanya membalas dengan sedikit tawa, dirinya sudah tak bisa kembali berfikir sehat. Sekarang yang dibutuhkannya adalah gelas yang berisi vodka, itu lebih baik. Suara musik yang dibawakan oleh dj semakin kencang, seakan membuat Dio berada di dimensi lain, setidaknya dia bisa melupakan sedikit masalahnya. Sekarang pun sudah sangat malam, jam menunjukan pukul 24:00. Tapi Dio tak perduli, lagi pula siapa yang akan mencarinya? Tidak ada.
****
Arsy berjalan di tengah malam—menuju supermarket yang buka 24 jam yang dekat rumahnya. Dia lupa untuk membeli susu, karna susu bubuk yang sering diminumnya setiap malam—sudah habis dan hanya tersisa sedikit.
“Bisa-bisanya gue lupa beli susu, ah jadi harus beli kan, mana malam lagi.” Ucapnya pada diri sendiri.
Saat sudah sampai supermarket, Arsyi segera mencari susu bubuk yang diperlukannya. Untungnya susu bubuknya masih ada, dengan segera Arsyi mengambil dan membayar susu bubuk itu ke kasir. Saat sudah selesai, Arsyi kembali pergi untuk pulang.
Namun saat dalam perjalanan pulang, ada seseorang yang membuat Arsyi berhenti di tempat dan mengamati orang itu secara saksama. Arsyi seperti kenal orang itu, Dio. Dengan cepat Arsyi langsung menghampiri Dio yang sudah terduduk di aspal jalanan. Arsyi melihat wajah Dio yang sepertinya mabuk berat, saat Arsyi ajak bicara pun—Dio menjawab dengan asal, dan bau alkohol sangat tercium. Tanpa aba-aba, Arsyi segera membawa Dio pergi, membawa Dio dengan tenaga yang Arsyi punya.
Tapi dirinya kesulitan untuk menggotong Dio, Arsyi segera mengambil ponselnya dan menghubungi Abangnya—untuk menjemput Arsyi menggunakan mobil. Saat Abangnya bertanya, Arsyi hanya menjawab “Ini gawat Bang.”
“Lo jahat Ge,” ucapan Dio dibarengi oleh bau alkohol yang sangat membuat hidung perih.
Dari situ Arsyi tahu, bahwa Dio sedang banyak masalah. Seorang seperti Dio sudah tak khayal akan melakukan hal seperti ini untuk menghilangkan beban pikiran. Sesaat sudah mengucapkan kalimat itu, Dio tak sadarkan diri—membuat Arsyi semakin panik karna Abangnya pun belum datang.
Tapi syukurlah saat Arsyi melihat mobil Bang Ricko berjalan menujunya, saat mobil itu sudah berhenti di hadapannya—Arsyi meminta bang Ricko untuk membawa Dio ke dalam mobil. Bang Ricko pun menurutinya, dia membawa Dio ke kursi belakang dan menyuruh Arsyi duduk di belakang untuk menjaga Dio yang sudah tak sadarkan diri.
****
Dio terbangun, kepalanya sangat pusing dan seperti ingin pecah. Matanya melebar saat melihat dirinya di ruangan asing, ini bukan kamarnya, ini pula bukan rumahnya. Lantas dimana sekarang dirinya berada. Dio menatap ruangan 5×5 m yang di dominasi oleh warna biru muda, seingatnya—dirinya berada di club malam, dan dirinya keluar dari club malam tersebut dengan keadaan mabuk parah. Selebihnya dia tidak ingat. Dirinya tersadar dari lamunannya saat melihat seorang cewek dengan T-shirt bertuliskan “Never give up” berwarna putih—masuk ke dalam dan menghampiri Dio yang masih bingung. Cewek itu adalah Arsyi—teman sekelasnya.
“Udah bangun lo?” Tanya Arsyi seraya menaruh segelas susu dan sepotong roti di atas meja nakas, lalu beralih ke kursi di hadapan Dio.
“Kenapa gue bisa ada di sini?” Ucap Dio, dia benar-benar tak mengetahui kejadian semalam.
“Gue nemuin lo di depan club malam, lo udah tersungkur di atas aspal. Dan lo sepertinya semalam mabuk berat, dan saat gue bantu lo—lo pingsan. Yaudah gue bawa lo ke rumah gue,”
“Kenapa harus nolongin gue? Gue gak butuh.”
“Bersyukur kek udah gue bantu, ini malah marah. Lo tuh emang gak bisa berterimakasih sama orang,”
“Gue gak minta lo buat nolongin gue, lagi pula seharusnya lo biarin gue di sana sendirian. Biarin mobil nabrak gue, biar sekalian gue mati.”
Arsyi mengerutkan keningnya, bingung dengan ucapan ngawur yang keluar dari bibir cowok itu. Sebodoh itu kah dia, sampai ingin mati saat keadaan berlumuran dosa? Memang dasar seseorang yang sangat angkuh.
“Lo itu bodoh, pea atau apasih? Lo mau mati gitu dalam keadaan abis mabuk? Tuhan juga gak sudi buat bawa lo ke alam kubur,” caci Arsyi.
“Gak perduli, udah misi! Gue pengen pulang,” Dio turun dari kasur, tapi dengan cepat Arsyi menahan tangannya.
“Gue yakin lo belum sadar banget, gue udah buatin lo susu dan roti. Hargai sedikit kek, makan kek walaupun sedikit.” Suruh Arsyi seraya mengambil nampan yang di atasnya terdapat segelas susu dan roti isi.
Dio melihat sekilas nampan itu,” Gak. Gue gak minat makan,” Dio keluar dari kamar, menuruni tangga dan beranjak untuk keluar dari rumah Arsyi. Namun dirinya terhenti saat seorang wanita paruh baya memanggilnya. Dio menoleh ke belakang, melihat wanita paruh baya yang menggunakan baju berwarna merah tua.
Wanita paruh baya itu sedang menaruh piring berisi makanan di atas meja makan, Dio tahu—itu Ibu Arsyi. Ibu Arsyi menyuruh Dio menghampirinya, Dio pun menghampiri Ibu Arsyi. Di sana juga sudah ada Arsyi serta seorang cowok kuliahan yang sepertinya adalah Abangnya Arsyi.
“Kamu ingin kemana? Mendingan sarapan pagi dulu dengan kami,” ucap Ibunya Arsyi, suaranya terdengar lembut—selembut musik klasik.
“Saya ingin pulang Bu,” jawab Dio dengan senyum yang khas dirinya, setidaknya walaupun dirinya brandalan. Dia tidak akan bersikap brandalan kepada orangtua—terkecuali Ayah dan Mommy-nya.
“Ini masih sangat pagi, Bunda tau kamu pasti belum makan. Ayo kita makan dulu, tidak baik mengendarai mobil dalam keadaan lapar.” Bunda—terdengar asing di telinga Dio, karna tak mau mengecewakan—Dio pun mengiyakan tawaran dari Bundanya Arsyi.
Dio duduk di kursi dekat Arsyi, cewek itu sedang menuangkan nasi ke piring. Sedangkan wanita paruh baya yang biasa dipanggil Bunda oleh Arsyi—sedang menuangkan makanan ke piring anak-anaknya dan Dio. Dio nyaris saja ingin menangis karna melihat prilaku baik dari Bunda.
“Maaf Dio, makanannya sederhana.” Ujar Bunda kembali, dia tersenyum manis dan hangat kepada Dio yang bukanlah anaknya.
“Iya gak papa tante,”
“Jangan panggil tante, panggil Bunda aja.” Suruh Bunda, Dio pun memanggil wanita paruh baya itu dengan sebutan Bunda.
****
Arsyi duduk di salah satu kursi di kantin, menunggu Vita—temannya datang. Tapi tak lama, Vita datang dengan kotak persegi yang berada di tangannya, Vita tersenyum ke arah Arsyi dan Arsyi pun membalas senyuman Vita.
“Nih, gue dapat kotak ini di meja lo. Gue liat tulisannya buat lo, ya gue bawa aja ke sini,” jelas Vita sembari menaruh kotak berwarna biru muda itu di meja mereka.
“Buat gue?” Arsyi mengerutkan keningnya, heran. Perasaan dirinya, Arsyi tak pernah memesan apapun, kalaupun memesan ya alamatnya ke rumah dirinya. “Dari siapa?” Sambung Arsyi, Vita malah mengangkat bahunya—tidak tahu.
“Udahlah, palingan juga fans lo. Ambil aja, rejeki anak soleha, Syi. Gue mau pesan makanan dulu ya,” Vita beranjak dari kursi, untuk memesan makanan.
Arsyi masih heran dengan kotak biru muda yang berada di atas meja, siapa pengirimnya? Atas dasar apa dia mengirim sesuatu ke Arsyi? Ah sudahlah, saat sudah di dalam kelas—Arsyi akan membuka kotak tersebut dan melihat isi dari kotak tersebut.
“Oh iya Syi,” Vita datang dengan mangkuk bakso yang berada di tangannya, dia kembali duduk di kursi. “Katanya ya, Dio buat onar lagi.” Sambung Vita seraya memasukan suapan pertama baksonya.
“Bukannya emang dia sering buat onar ya? Udah gak aneh kan?”
Vita bersusah payah menelan bakso yang masih berada di dalam mulutnya.” Tapi bukan buat onar kayak biasa, jadi tuh katanya—Dio sama teman-teman seperjuangannya buat masalah ke sekolah lain. Mereka kayak tawuran gitu,”
“Owh, ya itu urusan dia. Lagi pula buat apa lo beritahu berita kayak gitu ke gue?”
“Gak papa, gue cuman kasih berita dan gosip terhangat dari cowok pujaan seantero.”
“Pujaan? Gue sih gak ya,” Arsyi tersenyum lebar, tapi Vita tetap asik melahap bakso yang sudah tersisa sedikit.
****
Dio sudah siap dengan jaket kulitnya, malam ini seperti biasa—Dio akan melakukan rutinitas malamnya. Dio mengambil kunci motor sport-nya, lalu beranjak pergi menuruni tangga kayu bercat coklat tua. Tapi langkahnya terhenti karna seseorang memanggil namanya, dengan malas—Dio membalikan tubuhnya dan melihat ke arah orang yang memanggilnya tadi.
“Mau kemana kamu?” Tanya seorang wanita paruh baya yang memakai pakaian super modis, Dio hanya memasangnya wajah datar.
“Kemana kek, seterah saya dong.” Jawab Dio acuh tak acuh.
“Sayang__”
“Jangan pernah panggil saya dengan sebutan ‘sayang’ saya gak sudi, Anda panggil seperti itu.” Dio dengan cepat memotong kalimat wanita paruh baya itu, sedangkan wanita paruh baya itu hanya diam mendengar ucapan Dio yang menyakitkan.
Setelah mengucapkan kalimat paling menyakitkan, Dio kembali berjalan meninggalkan rumah yang sering dirinya sebut ‘Neraka’. Dio tak pernah betah tinggal di dalam rumah itu, walaupun rumahnya besar dan mewah. Tapi Dio tak pernah merasa nyaman, karna dia tinggal dengan orang-orang yang sangat ingin Dio benci. Saat Dio sudah pergi keluar rumah, wanita paruh baya itu membungkam.
“Mommy tau kamu belum bisa menerima Mommy, sayang.” Ucap wanita paruh baya itu—dengan ekspresi wajah sedih.
Dio mengendarai motor sport-nya dengan kecepatan di atas rata-rata, ingatannya kembali dimana dirinya sangat kacau karna keluarganya yang berantakan, dimana dirinya kacau karna seorang wanita yang sangat dia jaga. Semua mengkhianatinya, semua. Rasanya hidup tak adil untuk Dio, hidupnya selalu membuatnya gila.
Motor sport Dio berhenti mendadak karna direm mendadak olehnya, Dio menabrak seseorang. Bukan, bukan menabrak, hanya saja hampir menabrak seseorang. Dio melepaskan helm-nya dan menghampiri seseorang yang hampir ditabraknya. Dio terkejut ketika melihat Arsyi tergeletak di aspal dengan sikut yang memar, Dio mengulurkan lengannya dan membantu Arsyi untuk berdiri.
“Lo gak kenapa-napa?” Dio menatap Arsyi yang masih memegang sikutnya yang memar.
“Sedikit sakit sih, lagian lo kenapa sih bawa motor kayak orang kesurupan? Lo emang bener-bener pengen nyari mati,”
“Lah lo yang ngapain jalan di tengah jalanan? Malam-malam gini lo malah keluar rumah, jangan-jangan lo habis ketemu sama om__” Dio berbicara ngawur, membuat Arsyi menatapnya kesal.
“Lo kira gue cewek apaan? Gue cewek baik-baik, gak akan melakukan hal kayak gitu.” Arsyi memotong kalimat ngawur Dio. Arsyi tak habis pikir, cowok itu bisa bicara yang tidak jelas.
“Ya gue kira, lagian malam-malam malah keluar rumah.”
“Gue habis ke apotek, beli obat.” Jelas Arsyi. “Lo juga malam-malam gini mau kemana? Segala bawa motor kencang banget,”
“Kepo lo, udah misi gue pengen pergi. Lo bisa pulang sendiri kan? Lagi pula lukanya gak begitu parah kan?”
Dio kembali menaiki motornya, tanpa dirinya sadari—Arsyi sudah duduk di jok belakang, dengan santai. Dio menatap gadis itu heran, untuk apa dia duduk di motor yang hampir tak pernah ditumpangi oleh gadis. Saat Dio menyuruh Arsyi turun, Arsyi malah tidak mau dan bersikukuh tetap ingin duduk di jok motor. Arsyi meminta Dio untuk mengantarnya pulang, sebagai balasan karna Dio sudah membuat sikutnya memar. Enak aja pengen ninggalin gue sendirian, udah buat gue luka kayak gini, malah gak bertanggung jawab. Batin Arsyi.
Dengan terpaksa, Dio pun mengantar gadis aneh itu. Udara malam cukup dingin, angin malam pun bertiup dan membuat rambut Arsyi terbang tertiup angin. Dio fokus mengendarai motor sport-nya, lain halnya dengan Arsyi yang diam-diam mencuri pandang. Arsyi melihat Dio dari kaca spion motor, tapi sayangnya wajah Dio tertutupi oleh helm dan hanya menyisakan mata nan tajam milik Dio.
“Coba aja kalo lo gak dingin, baik, selalu berterimakasih dengan orang yang udah membantu lo. Lo pasti makin kelihatan ganteng, Yo. Sayangnya aja, lo bad.” Gumam Arsyi pelan, dan tentunya Dio tak kan mendengar kalimat itu.
Tak lama, motor Dio berhenti di depan pagar besi berwarna merah bata. Arsyi turun dari motor Dio dan tersenyum lebar ke arah cowok tersebut, namun Dio malah hanya diam dan menatap Arsyi dengan mata nan tajam itu. Lalu beranjak pergi meninggalkan Arsyi yang belum masuk ke halaman rumahnya—dengan begitu saja.Minta vomentnya boleh ya,biar bisa lanjutin ceritanya.
Ig:Fauziahnri01
:hard Love
KAMU SEDANG MEMBACA
Hard Love
Teen FictionGak semua cerita cinta itu mirip kayak cerita Cinderella, mirip Romeo and Juliet. Cinta itu kadang menyakitkan perasaan dan batin, terkadang juga membuat air mata sering jatuh tanpa alasanya yang jelas. Gak semua cinta itu mudah dijalani untuk menda...