Belum punya nama. Setidaknya untuk saat ini.
Suara itu memanggilku. Sebuah suara yang tinggi, lembut, dan terdengar jernih. Melodi dan irama menyatu dengan indah dalam suara itu. Tubuhku melayang di dalam kegelapan, tertarik ke arah suara itu.
Itu suara manusia. Aku yakin sekali. Suara manusia. Aku tidak sabar melihat manusia seperti apa yang dapat menarikku dengan suaranya. Para manusia yang memanggilku selama ini selalu menggunakan alat musik.
Kukerjapkan mataku beberapa kali dan aku berputar melihat keadaan di sekelilingku. Aku berada di dalam sebuah ruangan yang besar. Aku melihat sebuah meja dengan sebuah benda hitam, yang kukenali sebagai TV, di atasnya. Di seberang TV itu, terdapat sebuah ranjang. Di atasnya, terdapat seorang anak perempuan berbaju hijau yang sedang memelototiku dengan mulut sedikit terbuka.
“Salam,” kataku. “Apakah kamu yang memanggilku, Nona Kecil?”
“A... a... aku...”
Anak itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Dia hanya diam menatapku sambil membuka-tutup bibirnya.
“Apakah kamu yang bernyanyi tadi?” tanyaku.
Dia mengangguk. “I... iya.”
“Kalau begitu, sudah betul. Kamulah yang memanggilku,” kataku sambil membungkuk padanya. “Salam, sekali lagi.”
“K... kamu,” anak itu menelan ludahya, “apakah kamu Dewa Kematian?”
“Apa? Oh, bukan, bukan,” kataku menggeleng. “Sama sekali bukan. Aku adalah, hmm... biasanya kalian, para manusia, menyebutku monster.”
“M... monster,” kata anak itu gemetaran, “tapi kamu sama sekali tidak terlihat seperti monster.”
Memang betul apa yang anak itu katakan. Wujudku memang tampak seperti manusia. Kalau ada orang lain yang melihatku, mereka pasti tidak akan menyangka bahwa aku bukanlah makhluk yang sama seperti mereka.
Aku membuka topi besar yang sedari tadi bertengger di kepalaku. Anak itu terpekik dan dia menutup kepalanya dengan selimut.
“Apakah aku sudah lebih mirip monster sekarang?” tanyaku.
Anak itu mengintip dari balik selimutnya. “Ka... kamu, kamu tidak punya telinga.”
“Dan sebenarnya aku juga memiliki ekor dan berkaki empat,” tambahku. “Apakah kamu ingin melihatnya juga?”
Anak itu cepat-cepat menggeleng. Aku memakai topiku kembali dan tersenyum padanya. Anak itu menurunkan selimutnya, tapi dia tetap memandangku dengan takut-takut.
“Jadi, kamu betul-betul bukan Dewa Kematian?” tanya anak itu.
“Betul. Aku memang bukan,”
Kepalanya tertunduk. Anak itu terlihat sedih untuk sesaat, tetapi kemudian dia kembali menoleh padaku dan berkata, “Tapi kamu monster kan? Kalau begitu, bisakah... bisakah kamu,” anak itu terdiam sesaat, “bisakah kamu me... mengambil nyawaku?”
Aku mengangkat alisku. Sudah banyak orang yang memanggilku selama ribuan tahun ini. Berbagai jenis manusia dengan berbagai macam latar belakang. Walau begitu, selalu ada satu kesamaan dari orang-orang itu. Mereka tidak pernah memintaku untuk mengambil nyawa mereka.
“Sayangnya aku tidak bisa,” kataku. “Hidup dan mati adalah sesuatu yang diatur oleh kekuatan yang lebih tinggi dariku. Aku tidak bisa mencampurinya.”
Anak itu kembali menatap ke bawah. Tangannya memilin-milin selimutnya.
“Kalau aku boleh tahu,” kataku, “kenapa kamu ingin agar aku mengambil nyawamu?”