Kematian Zubaidah

59 2 0
                                    

Andai saja mereka tak bersama, mungkin Zubaidah tak mati bunuh diri. Tan benar-benar kejam. Sejak mereka menikah dua tahun lalu , Zubaidah selalu menangis. Hutang ke tetangga dan warung sudah menumpuk. Padahal Tan Malin adalah orang kaya. Apalagi dia seorang perwira di kepolisian. Begitu yang ku tahu saat menghadiri pemakaman Zubaidah.   

Angin berhembus kencang sesaat setelah Buya membacakan doa di kuburan Zubaidah. Bunga mawar, melati dan sebotoh air mawar sudah bercampur aduk di atas tanah yang menggunung. Belum ada mejan yang terlihat. Kuburan Zubaidah masih dipancang dengan patahan kayu sebagai penanda kaki dan kepala.
Daun-daun di pohon yang rindang berguguran. Ranting-ranting yang kokoh di batang, berayun seperti menari. Semua pelayat pulang sambil membicarakan kesedihan Zubaidah semasa hidup. Benarlah, perbincangan tentang Zubaidah tak sekedar hangat dibicarakan semasa hidup. Ketika matipun Zubaidah selalu dipergunjingkan. Aku baru menyadari itu, setelah kisahnya dikuak orang banyak di pemakaman.Zubaidah, selamat jalan dan semoga engkau dilapangkan di alam kubur. Kemudian bangkitlah sebagai bidadari saat terompet malaikat memintamu berbaris di Padang Mahsyar. Zubaidah, engkau adalah wanita yang selalu ku pandang anggun. Pekertimu sangat baik. Sungguh tak layak kau dipergunjingkan. Zubaidah, tenanglah, pahit yang kau derita akan berbuah manis di akhirat. Nama yang kau tinggalkan akan harum dikenang."Aku berjanji Zubaidah, orang-orang itu akan sadar," gumamku.Pemakaman ini sungguh aneh bagiku. Batang hidung Tan Malin tak kulihat sedikitpun . Kemanakah bajingan itu pergi? Rasanya aku ingin membawa sebilah golok untuk menggorok lehernya. Orangtua Zubaidah juga tak ada. Dimanakah mereka semua, akankah aku juga membawakan golok untuk orangtuanya?Pertanyaan yang terbesit di hatiku itu mulai menggerayangi kepala. Terasa panas di ubun-ubun. Zubaidah sudah ku anggap adik sejak Tan Malin menikahinya. Andai ku bisa meyakinkan hati Zubaidah dan orangtuanya, mungkin tak seperti ini jadinya. Mungkin dia akan jadi istriku. Kami bisa hidup damai dan memiliki beberapa orang anak. Zubaidah akan selalu tersenyum. Setiap kali aku pulang dia pasti memeluk dan menciumku. Zubaidah oh Zubaidah, kau adalah cintaku yang lama ku pendam.Sepulangnya dari pemakaman, aku singgah ke rumah Zubaidah. Rumahnya terlihat lebih mewah dari rumah tetangga. Ruang tamunya besar, lantainya keramik dihiasi sofa empuk dan meja kayu. Perabotan di almari tersusun rapih. Anehnya, tak ada foto pernikahan Zubadaih yang terpajang. Di antara seluruh foto yang menggelantung di dinding, foto dengan pigura besar adalah foto keluarga Tan Malin. Cukup gagah foto bajingan itu dengan baju perwiranya. Dia berdiri di belakang orangtuanya yang duduk di sofa. Di sampingnya ada seorang gadis yang tak pernah ku lihat di pernikahannya dengan Zubaidah.Aku mengira, mungkin gadis itu adalah adiknya. Tak lagi aku mau menambah masalah dibenakku. Kalau dugaan ku benar, syukurlah. Tapi bila tidak, jangankan golok yang ku bawa untuk menggorok lehernya. Aku juga bisa menyiapkan kampak untuk mencincang tulang-tulangnya hingga hancur menjadi debu.Dulu Zubaidah adalah kekasihku. Sejak Sekolah Menengah Atas (SMA) aku sudah berpacaran dengannya. Sampai aku menamatkan kuliah, orangtuanya mulai tak merestui. Setelah ku usut, Tan Malin lah pangkal bala dari semua itu. Pangkatnya yang tinggi di kepolisian sudah mengaburkan mata orangtuanya. Padahal Tan Malin terpaut tujuh tahun dari Zubaidah. Sementara aku diabaikan orangtuanya karena baru tamat kuliah. Apalagi pekerjaan ku belum jelas. Masa depanku dianggap kabur. Padahal aku sudah menjanjikan dua tahun di rantau orang aku akan pulang untuk melamar Zubaidah. Tapi apa lacur, kehendakku bagai punduk merindukan bulan. Tak terkabul juga walau aku sudah mendapatkan pekerjaan yang ku kira bisa menjamin masa depan Zubaidah.Di tahun ketiga aku di negeri orang, aku mendapatkan kabar dari Zubaidah. Sepucuk suratnya diantarkan pak pos ke rumaku di Jakarta. Surat itulah yang meleburkan hatiku. Zubaidah mengiyakan pinta orantuanya untuk menikah dengan Tan Malin. Aku diundang datang. Bahkan Zubaidah mewajibkan ku menghadiri pesta pernikahannya sebagai perpisahan cintaku dengannya.Kepada kekasih ku, Labai.Aku sudah menunggu kabarmu selama dua tahun. Kau menjanjikan akan pulang setelah dua tahun itu. Aku sangat berharap kau akan datang ke rumah. Melamarku dan menyelematkanku dari perjodohan dengan Tan Malin. Selama dua tahun itu aku berjanji pada orangtuaku untuk membuat keputusan menerima atau menolak Tan Malin. Kekasihku Labai, ini sudah tiga tahun sejak kau meninggalkan kota ini.Aku tahu kau masiih mencintai ku. Aku juga tahu kau selalu mengirimkan surat kepadaku. Maaf aku baru mengetahuinya saat menemukan amplop surat darimu yang sudah terbakar setengah. Aku minta maaf karena tak bisa menemukan isi surat yang kau tulis.Kekasihku Labai, aku masih mencintaimu. Mungkin selama dua tahun kau di negeri orang kau sudah berusaha menghubungiku lewat telepon ataupun media sosialku. Asal kau tahu Labai, semua peralatan itu disita bapakku. Sepertinya surat-suratmu juga dibakar. Andai aku tak menemukan bekas amplop suratmu, mungkin surat ini tak akan ku tulis Labai.Labai cintaku, aku sudah memutuskan dengan tangis. Pinangan Tan Malin aku terima. Aku akan menikah dengannya dua minggu sejak surat ini aku tulis. Aku ingin sekali menemuimu. Bila kau berkenan, datanglah untuk berpisah.                                                                                        Dari Aku Zubaidah, Padang 10 Januari 2017

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 04, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Kematian ZubaidahWhere stories live. Discover now