Aku menatap nanar dua manusia itu.
Mereka adalah dua orang yang sempat menjadi alasan kebahagiaan ku. Orang yang selalu ada di saat diriku merasa sulit. Saat diriku terpuruk.
Wanita itu, adalah wanita yang sama dengan yang selama ini menemani ku lebih dari dua puluh tahun. Dia yang sudah ku anggap seperti keluarga ku sendiri.
Saat sahabat mu, justru bersanding di pelaminan bersama calon suami mu, apalagi yang bisa kau lakukan? Menangis sendirian di kamar dengan ditemani lagu lagu mellow? Atau justru mengunci diri di kamar selama berhari hari dan mogok makan?
Ah! Sialnya aku bukan remaja 16 tahun yang akan melakukan hal demikian saat putus dengan cinta monyet nya. Aku, seorang wanita berumur 23 tahun yang seharusnya sudah siap menikah hari ini.
Seharusnya aku yang berada di sana.
Seharusnya aku yang berdiri di altar bersama nya.
Seharusnya aku yang diberikan ucapan selamat hari ini.
Seharusnya aku yang mengenakan gaun putih itu.
Seharusnya aku yang mendapatkan cincin di jari manis.
Seharusnya aku yang mendapatkan ciuman itu.
Seharusnya aku yang mengucapkan janji suci abadi.
Seharusnya, seharusnya, seharusnya...
Seharusnya aku yang menikah hari ini. Bukan dia. Seharusnya dia menjadi pengiring pengantinku. Bukan aku yang menjadi tamu di gedung ini.
Namun sebanyak apapun kata seharusnya yang bibirku ucapkan, itu semua tidak akan merubah apapun.
Tidak akan membuat cincin itu berpindah ke jari ku.
Kalau saja mencintai dapat dilakukan hanya dengan menatap, mungkin aku akan dengan mudah melupakannya dan berpaling pada laki-laki lain. Tapi sayangnya, bukan seperti itu mekanisme mencintai.
Mencintai dia yang pada akhirnya bersanding dengan sahabatku sendiri di pelaminan, demi Tuhan ini semua membuatku mati rasa.
Karena selama ini aku terlalu banyak bersabar. Terlalu sering menyisihkan waktu untuk berpikir positif. Terlalu menganggap semua baik baik saja.
Sampai aku lupa bahwa tidak ada yang baik baik saja saat calon suami mu tertangkap basah sedang mengunjungi sahabatmu yang saat itu hanya sendiri di apartemen nya.
Entah aku yang terlalu munafik untuk mengakui semua keganjilan itu, atau memang mereka para pendusta yang selalu berhasil mengelabui ku.
Dengan wajah terangkat aku menaruh satu bucket rangkaian bunga mawar merah di atas meja yang sudah di sediakan. Ada kartu ucapan di atasnya. Kartu ucapan dengan tulisan yang cukup besar. Sangat memungkinkan untuk dilihat dari jarak dua meter. Bucket bunga ku mendominasi meja ini.
Lalu setelah itu aku berjalan kearah pelaminan. Memberi selamat pada dua penghianat ini. Senang rasanya bisa melihat wajah kaget sekaligus canggung mereka, sementara aku hanya mengumbar senyum bahagia yang tentu saja palsu.
Sebenarnya sedikit tidak sudi bersentuhan dengan mereka. Tapi hanya ini satu satu nya cara agar aku terlihat baik baik saja tanpa mereka. Tidak ada yang tahu bahwa hati ku menjerit. Aku menjadi pesakitan sekarang.
Aku melangkah keluar dari gedung ini dengan berbagai rasa menyelimuti hati. Sedikit sakit, namun bahagia mendominasi saat aku mendengar beberapa tamu membicarakan ucapan pada salah satu bucket. Jelas itu dari ku.
Bucket bunga mawar merah dengan ukuran paling besar. Bertuliskan;
🌹 HAPPY WEDDING 🌹
to my fakest friend and my ex fucking boyfriend
Thanks for making out in front me three days before we marriage
🌹 Love ya, xoxo 🌹
KAMU SEDANG MEMBACA
Broken
Short StoryA novel that conveys some stories about : Broken. Sad. Lonely. Hurt. Upset. Alone. Depressed. Suicidal. Angry. Hateful. Breaking down. Screaming. Dead. Empty. Nothing. Crying. Shouting. Giving up. Hiding. Wearing a mask. Cutting. Horrible. Down. Hol...