I

21 1 0
                                    

Normal's

Ini pukul 05.17 pada pagi hari. Ada banyak sekali oksigen bersih di sekeliling jalan raya utama. Dengan earphone yang menyangkut di lubang telinganya dan masker hitam pada setengah area wajahnya dia menyusuri jalan. Jaket loyal royal hitam menutupi seragam dan name tag pada kaos sekolahnya, hari ini dia all black. Dia bahkan tak menggunakan bedak.

Dia menaruh duduk pada tempatnya di bus. Masih sepi juga, hanya ada segelintir karyawan dan maba yang memang harus mengejar beberapa sekon lebih cepat pada Senin ini. Di dekat pintu sana pada barisan ketiga dari depan setir, ada dua gadis dengan setelan sama, mungkin seragam ospek kampusnya. Pada kursi tengah, tepat diseberang kanannya adalah seorang wanita manula yang memberinya senyuman renta dan rapuh ketika menyapa. Dan di utara, jauh dibelakangnya seorang karyawan yang sibuk dengan koper serta kertas-kertas dan ponsel pada telinganya. Benar-benar hanya beberapa orang. Orang yang normal dan positif juga tidak melebih-lebihkan hidupnya.

"Bagaimana kabar anda? Apakah pagi ini baik? Kami punya playlist dengan beberapa lagu untuk menemani pagi anda."

Dia suka suara penyiar ini. Benar-benar mengalir walaupun ia yakin bahwa orang itu adalah pria. Lagunya diputar, ada beberapa ballad yang menyeimbangi laju bus hingga sampai pada tujuan. Dia turun dan sudah pukul 06.28 AM.

Melucuti jaket serta maskernya, menarik kursi, menyampirkan tas, duduk dan menikmati radio lagi. Kelas masih kosong dan bersih. Oh, lagu ini benar-benar seimbang dengan mood. Dia tidak ingin diusik. Dia menggumam mengikuti nada lagu, sedikit menghanyutkan tubuhnya juga untuk meliuk dalam irama.

"Apa yang kamu dengarkan?" Dia meringis ketika sesuatu menarik earphone-nya secara tidak sopan dan tentu saja, mencari emosi. Ia kemudian melihat pada kanannya, tinggi yang tegap, bahu yang lebar, mata yang cemerlang, rahang yang tegas dan terlampau tampan. Athas.

"Oh?"

"Selamat pagi." sapa orang itu.

Dia mengangkat sebelah alisnya sebelum kembali mengembalikan posisi earphone pada indra rungunya. Ia tidak bertanya kenapa kau tiba-tiba disini? atau apapun yang mengakibatkan sentimentil dan ingin tahu berlebihan mengenai sosok tampan yang kurang ajar disini.

"Dasar tidak sopan," umpatan itu tertuju padanya. Ia mengernyit.

"Kau bilang aku?" balasnya.

"Ya."

"Maafkan aku."

"Tidak."

"Aku mengerti."

Lalu kembali pada menit dengan ballad dan irama menyejukan. Apapun decihan yang ia dengar dia masa bodoh. Hari ini biarkan dia sendirian.

"Kau tahu aku ini apamu Nayana, jadi hentikan sikap sok muak mu itu dan berpalinglah."

Dia—Nayana—acuh tak acuh. Itu adalah tindakan yang membuang oksigen dan melelahkan untuk berdebat dengan pacarmu dia pagi hari. Demi Dewi Fortuna yang menginjak keberuntungannya, dia tidak bermaksud sok muak atau apapun. Tenang dan tinggalkan.

"Kau tidak mengerti sesuatu yang disebut batas emosi?" suara Athas menggeram.

"Aku tidak mengabaikanmu."

"Iya, kau."

"Aku tidak."

"Apa perlu kuperjelas tentang sabar?"

"Oh, terimakasih. Telingaku terisi."

"Hati-hati dengan mulutmu!"

"Hati-hati!"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

NayanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang