Something About Love

Prolog

Aku mencintaimu seperti jamur di musim hujan, akan selalu bertebaran hingga akhir dari sang musim datang menjelang.

Aku menyayangimu layaknya semburat jingga yang menghias angkasa, akan selamanya tinggal walau tak pernah ada jawaban atas sebuah rasa.

Bolehkah aku bertahan walau aku tahu itu hanya fatamorgana? Aku ingin merasakan kebahagiaan dengan mencintai, setidaknya sebentar saja. Hingga saat hujan itu berhenti berkelana, aku akan memutuskan untuk menghapus semua asa.

“Kreetek...kretek.” bunyi ranting daun yang saling bergesekan. Rintik air masih terasa di kulitku. Suara gelak tawa anak-anak kecil yang basah kuyup oleh serbuan hujan pun terdengar sangat nyaring di telingaku. Jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan tepat, dari tadi aku hanya diam memperhatikan derasnya hujan sambil berharap hujan akan segera reda, seolah-olah langit hanya menertawakan aku yang tidak bisa berbuat banyak.

Pagi ini hujan turun lagi, mengingatkan aku pada kenangan tentang seseorang di masa lalu. Seseorang yang kaku namun penuh pengertian, seseorang yang mampu membuatku tersenyum hanya dengan memandang wajahnya. Hujan selalu mengiringi setiap lembar kisahku, mungkinkah kini hujan kembali membawakan cerita untukku?

Aku termangu sambil menatap ke atas meja dekat tungku perapian, secarik kertas tersembul dari dalam amplop yang dibiarkan tergeletak. Ada surat di dalamnya, surat dari seseorang yang jauh disana, seseorang yang pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupku.

Perlahan aku berjalan kearah meja dan mengambil amplop itu, kemudian mulai  membaca surat yang berwarna putih dengan tulisan tangan seseorang yang sangat ku kenal. Entah mengapa aku tidak pernah bisa melupakannya. Aku selalu ingat janjinya dulu, janji bahwa ia akan datang bila aku membutuhkannya. Dari dulu aku selalu berusaha untuk tetap percaya bahwa ia akan datang. Ya, ia akan datang. Entah kapanpun itu, aku tetap ingin melihatnya datang. Sambil meminum teh, aku mulai membaca surat itu.