Larian : Thursday Night

282 13 2
                                    

Angin menderu, sepoi-sepoi dari jendela kamar yang sengaja gue buka lebar-lebar. Malam ini langit mendung, terlalu berkabut sampai-sampai sama sekali nggak ada satupun bintang yang nongol kelap-kelip di atas sana. 

Ritual buka jendela dan mantengin langit luar sepertinya sudah jadi suatu kebiasaan semenjak tiga tahun gue hidup sendiri di kosan. Memang sedari kecil setiap selang jam delapan sampai sepuluh malam gue pasti ke teras rumah. Entah sekedar nyari angin atau mendongakkan kepala buat lihat-lihat ada apa aja di atas sana. 

Kemudian sampai ketika di sekolah menengah atas gue bisa menyalurkan hasrat buat belajar mengenai konstelasi bintang dan hal-hal lain yang lebih dari itu. Gue pergi kesana kesini buat ikut pertemuan rutin setiap minggu di beberapa klub cuma buat dapetin pengetahuan astronomi yang sebenarnya nggak pernah gue pikirin karena waktu itu yang ada di otak gue cuma kudapan di ruang musik sekolah. 

"Larian! Sampai kapan kamu mau ngelihatin langit mendung? Bintangnya ketutupan kabut!" suara melengking di belakang gue membuat gue menoleh dari langit mendung di atas sana.

Gue menoleh ke belakang, kemudian tersenyum kecil ketika melihat cewek dengan rambut sebahu sibuk mengerutkan alis sama kerjaan di depannya.

"Langit mendungnya lebih penting daripada bantuin aku ya, Yan?" ujarnya sinis. Mau nggak mau gue samperin dia – dan duduk di bangku kosong tepat di sampingnya – yang sedari tadi masih sibuk dengan kertas putih dan pensil serta beberapa alat tulis lainnya.

"Langit semendung apapun juga kamu suka!" Gue menggerutu di sampingnya. "Masih kurang apalagi sih, Le? Udahin aja kenapa..." ujar gue sembari menengok pekerjaan dia yang sebenarnya udah hampir menuju final. 

"Rakyat jelata kaya aku nggak bisa main udahan, Yan. Beda kaya kamu yang punya otak jenius," jawabnya berlebihan. Dia membolak balikkan sketsanya untuk kesekian kalinya, "Apa yang kurang menurut kamu?" 

"Nggak ada, Le. Udah oke, udah bagus." Gue menilai dengan penuh kejujuran. "Kalau kamu ragu, kamu telpon aja Pak Seno buat meriksa proyeknya sekarang juga, kan lega tuh. Nggak perlu mikir mana yang kurang." 

Jawaban asal ceplos dari mulut gue mendapat hadiah cubitan di lengan kiri, "Sakit, Le." Gue mengaduh sambil mengusap-usap bekas cubitannya sedangkan dia cuma meletin lidahnya ke gue.

"Lagian kamu sok tau, kaya kenal Pak Seno aja," ujarnya sambil menambahkan sketsa tipis di beberapa bagian yang gue nggak paham gimana cara buatnya. Tapi gambar perspektif punya dia berhasil membuat gue selalu amazed. Dalam waktu dua hari dua malam dia berhasil ngerjain semuanya. 

Cewek yang selalu kerja keras buat tugasnya ini namanya Antaresa Orlea dan gue biasa manggil dia Lea. Tapi kalau lagi marah, kesel bahkan nasehatin dia, gue suka manggil Antares. Iya Antares, salah satu nama bintang yang Lea favoritin. Kalau gue lagi pengen ngeledekin dia, gue nggak akan segan manggil dia lele yang kemudian bakalan dikasih hadiah dari special ability-nya yaitu nyubit lengan orang.

Ya dia nggak suka dipanggil lele, katanya gara-gara itu salah satu jenis ikan dan kebetulan dia nggak suka makan ikan jenis itu. 

"Kenapa yaa Yan, langitnya harus mendung? Padahal aku udah niat buat ngerjain tugas ini di gazebo kosan kamu. Bukan kudapan di kamar kamu kaya gini," gerutu Lea. 

Gue tersenyum dengan pernyataan yang terdengar seperti anak-anak di telinga gue. Lea memang suka banget sama gazebo depan kosan yang kadang juga sering dibuat nongkrong sama anak-anak Rise

Scarlet SunriseWhere stories live. Discover now