Pertama

780 77 19
                                    


Kini aku mengerti, untuk apa aku ditakdirkan untuk menggeluti profesi yang selalu didamba oleh kedua orang tuaku ini. Kini aku juga sadari untuk apa aku membuang semua cita yang aku inginkan dari masa aku belum mengenal tulisan abcde atau aku bisa berkata dengan lancar. kini juga aku memahami, untuk apa aku melakukan semua ini. Semula aku berfikir. Untuk apa aku harus melakukan hal ini. Untuk apa aku harus selalu menuruti apa kata seseorang yang sudah melahirkan dan menafkahiku di dunia ini. Dan untuk apa pula aku menghiraukan apa kata hatiku. Aku pernah membaca sebuah kutipan, yang entah siapa yang mengucapkannya. "Ikutilah kata hatimu, bukan ikuti apa kata orang lain". Tetapi, mengapa aku selalu mengikuti kata kedua orang yang aku kasihi selama ini, bukan malah mengikuti apa yang aku ingin, aku cita, dan aku damba selama ini.






Dan kini, Tuhan menjawab semua hal itu sejak aku dengan secara tidak sengaja, bertemu denganya. Ya... dengannya. Seseorang gadis, yang murah senyumnya, senyumnya itu seakan membuat aku terlena, lesung di kedua pipi yang menawan, mata sipit yang menyejukkan seakan kita memandangnya, bibir tipis merah merekah nan sexy tanpa balutan alat kosmetik yang menurut kaumku itu menggoda hasrat, hidung yang tidak terlalu mancung dan pesek, rambutnya yang panjang sebahu bergelombang indah, tubuhnya yang elok dan enak untuk dipandang. Oh Tuhan... itulah ciptaanmu? Itukah pahatanmu untukku? Seorang yang menurutku malaikat, membuatku seakan terhipnotis dan terlena akan setiap apa yang dilakukannya. Ia seperti seorang bayi yang polos dan tanpa dosa. Apapun dosa yang ia lakukan, aku yakin jika Tuhan akan selalu menghapuskan setiap dosanya. Dia tercipta begitu sempurna di mataku.






Namun, Tuhan memang adil. Dibalik kesempurnaannya, ia memiliki kekurangan yang selama ini tidak terduga. Yang aku tak pernah menyangka akan hal ini. Aku mengetauhinya ketika ia dirawat intensif di tempat dimana aku bekerja. Yang memang mungkin Tuhan mentakdirkan agar aku merawatnya. Aku juga tak pernah menyangka, dibalik setiap senyum dan tawa menyejukkan yang selama ini aku perhatikan, ia ternyata menyimpan sebuah rahasia. Rahasia yang tak diketauhi oleh siapapun kecuali orang terdekatnya. Aku hanya bisa menghela nafas kasar ketika aku mengetauhi hal itu. Tapi, dengan ia seperti itu. Kini aku mengerti. Untuk apa aku menjalankan profesiku ini agar bermanfaat.

"Ehem... Dokter... sekarang adalah waktunya memeriksa pasien di kamar 365." Suara asistenku mengagetkanku dalam lamunan panjangku.

"Oh... baiklah... aku akan segera kesana, siapkan peralatanku asisten Park, jika sudah selesai, panggillah aku." Kataku kepada sekretarisku tersebut.

"Baik Dokter, akan saya laksanakan tugas dari anda." Katanya sambil berlalu pergi meninggalkanku dan menyiapkan barang – barangku untuk memeriksa seseorang yang special dalam hatiku. Disela – sela itu, aku kembali memikirkan awal aku bertemu dengan gadis berlesung pipi indah tersebut.

Aku dengannya tak sengaja bertemu ketika aku melakukan kunjungan kerjaku memeriksa sebuah taman kanak – kanak di pusat kota Seoul, ia menyambutku dengan senyumnya yang manis nan menawan. Siapapun yang melihatnya, aku yakin pasti akan terpesona akannya. Dengan telaten dan sabar, satu persatu para siswanya ia antarkan kepadaku untuk melakukan suntik polio. Sebelum itu, aku memandangnya dari luar ruang kelas itu, ia menjelaskan pada para siswanya dengan senyum yang terpantri selalu, menjawab pertanyaan – pertanyaan yang tak berdosa yang keluar dari mulut anak – anak belia tersebut. Menghilangkan rasa ketakutan di wajah para siswanya yang kemungkinan belum mengenal jarum suntik. Setelah itu aku masuk dan membawa seperangkat alat yang dibutuhkan, para siswa itu memandangku takut, akan tetapi, ia... tetap tersenyum, meyakinkan jika disuntik itu tidak akan menjadi sakit. Dengan sabar ia membawa satu persatu anak didiknya padaku. Ia melindungi muridnya, memeluk ketika salah satu muridnya kesakitan saat aku memasukkan sebuah carian pelindung tubuh bagi mereka. Menenangkan para anak didiknya. Tak ada sama sekali raut yang menampakkan sedih dalam wajah cantiknya. Yang ada hanya sebuah senyuman berarti yang menawan dan menyejukkanku dan para anak didiknya. Semenjak itulah kami saling mengenal satu sama lain.

ChoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang