Kamu diam saja daritadi. Kedua mata milikmu memandang kosong kedepan, sementara tangan kananmu meraih cangkir berisikan kopi panas yang berada di hadapanmu sejak tadi. Mulutmu menyeruput isi cangkir dengan perlahan, kemudian meresapi harum asap kopi yang mengepul. Gerak-gerikmu menambah rasa gelisah dari dalam diriku.
“Vin..” panggilku dengan perlahan. Namun tidak ada balasan yang terucap dari bibirmu.
“Vin.. lihatlah kearahku.”
Namun dirimu masih tidak bergeming. Tatapanmu kosong, tanpa suara, hanya tanganmu yang bergerak meraih cangkir kopi, kemudian kau letakan kembali cangkir tersebut di atas meja.
“Kamu pulang saja Don,” akhirnya bibirmu berucap.
Separuh diriku senang bukan kepalang bahwa akhirnya kau bersuara juga, tapi separuh diriku terpacu emosi tak terima.
“Aku enggak mau,” jawabku tegas tanpa basa-basi.
Kemudian dirimu menoleh kearahku, dengan kedua matamu memicing tajam menatap aku dalam-dalam.
“Kenapa enggak mau?”
“Karena ucapanmu itu gila. Gila benar-benar gila. Kamu itu perempuan, Vina, dan sekarang sudah hampir lewat tengah malam. Aku tidak bisa meninggalkan kamu sendirian disini dan membiarkanmu pulang naik taksi,” jelasku panjang lebar.
“Aku butuh sendiri, Don..” jawabmu dengan lirih.
Aku terdiam oleh ucapanmu barusan. Namun tetap saja aku tidak bisa meninggalkanmu sendirian.
“Aku temani.”
“Tapi aku butuh sendiri!” sahutmu, sehingga dua atau tiga orang tak kuasa untuk menoleh kearah kita berdua. Mungkin merasa seru melihat pertengkaran dua sejoli.
Aku menghela napas. Kamu memang keras kepala, sulit untuk dibantah kemauannya. Kamu wanita dengan tekad yang kuat, namun terkadang dirimu dapat hancur dalam sesaat.
Lalu aku berdiri dan berkata, “Aku temani kamu dari jauh sampai kamu siap aku antar pulang.”
Ketika kedua kakiku siap untuk beranjak mencari tempat duduk lain bagi diriku sendiri, kulihat kedua matamu berkaca-kaca. Kedua matamu siap melontarkan bulir-bulir air mata.
“Apa aku kurang jelas barusan? Aku butuh sendiri, Doni. Aku butuh sendirian,” kemudian kau menundukan kepalamu dan menangis.
Aku terdiam. Tidak jadi aku pergi meninggalkanmu sendirian. Walaupun kau mungkin akan mengusirku lagi dari hadapan, namun bukankah kau juga seorang wanita yang ucapannya selalu bertolak belakang dengan kemauan?
Aku duduk kembali. Wajahmu meluapkan ekspresi kekesalan terhadapku. Lalu kembali menundukan kepala.
“Dengarkan aku, Vin. Mungkin dirimu sekarang sedang kesal, sedang marah. Aku yakin bukan marah terhadapku, tapi kau marah kepada dunia..” lalu disela-sela ucapanku kudengar suara tangisanmu.
“Tapi kamu tidak bisa terus begini, Vin. Kamu ini sedang kebingungan, bukannya ingin sendirian. Kamu bingung, marah, kesal karena nasibmu. Kamu ini masih muda, karirmu sedang berada pada puncaknya.
Dan dirimu cantik bukan kepalang. Namun sifatmu lah yang telah membuatku mabuk kepayang. Vin.. Kamu memang sakit dan penyakitmu ini fatal. Namun bukankah sekarang zaman sudah maju, Vin?
Pergilah ke rumah sakit dan tegarkan dirimu setiap harinya. Jalanilah semua kemoterapi yang diperintahkan oleh dokter-mu itu. Minumlah semua obat yang dia berikan kepadamu. Ya?”
Kemudian kamu mengangkat wajahmu. Riasan pada wajahmu sudah luntur akibat didera air mata. Kuseka sisa air matamu dengan lengan bajuku. Kamu selalu suka ketika aku melakukannya.
Tapi kali ini kamu menangis lagi. Kali ini dengan raungan penuh keputusasaan yang menyiratkan bahwa kamu tidak terima dengan nasibmu.
Kamu berteriak, “Tapi kamu sendiri tahu, Don! Penyakitku ini bukan sembarang penyakit! Manusia sudah banyak berkorban nyawa karena penyakit yang sama denganku ini, Don! Ya, aku akan pergi ke rumah sakit! Aku akan minum obat-obat pahit! Aku akan menjalani rentetan kemoterapi sampai rambutku rontok jadi botak! Lalu aku mati, Don! Aku mati dan kamu sendiri! Jadi apa salahnya bila aku ingin sendirian sekarang?”
Aku diam saja, lalu kau kembali berbicara.
“Jadi tinggalkan aku sendirian, Don. Kalau perlu sudahi saja hubungan kita ini. Carilah perempuan lain yang lebih cantik daripada aku. Daripada kamu tetap bersama aku yang sudah jelas-jelas akan mati. Biarkan aku sendirian, Don.. aku—“ lalu kau tak dapat menyelesaikan kalimatmu karena bibirmu aku cium tiba-tiba.
Aku ingin menyuruhmu diam. Aku tak sanggup mendengar ucapanmu yang membuat hatiku nyeri. Tapi tak mungkin aku berteriak padamu, lantas kucium saja bibirmu secara perlahan. Aku biarkan kehangatanku mengalir kepadamu. Kamu sendiri juga tidak berontak, dan kehangatan mengalir diantara kita berdua selama beberapa saat.
Kemudian aku lepaskan bibirku dan berkata, “Kamu bukan Tuhan, Vin. Kamu bukan penentu umurmu sendiri. Dan aku, aku tidak pernah peduli dengan rupamu. Aku suka melihatmu walaupun kau bilang rambutmu sedang sulit diatur. Aku suka melihatmu walau kau bilang berat badanmu naik beberapa kilo. Aku suka melihatmu tanpa polesan riasan sedikitpun.
Dan kalau nanti habis rambutmu, Vin.. tetap saja akan kuusap kepalamu saat aku melihatmu. Akan datang menemuimu setiap hari dengan kamera ditanganku, lalu akan aku ambil potret dirimu setiap hari sampai perlahan rambut hitam milikmu kembali memenuhi kepalamu. Kemudian akan kamu lihat bahwa dirimu cantik sebagaimana kamu adanya.
Dan akan kamu lihat juga bahwa aku cinta kepadamu sebagaimana kamu adanya..”
Kemudian kamu kembali menangis, namun kali ini wajahmu sudah disertai senyuman. Senyuman seorang kamu yang dapat membuat hari kelamku kembali terang. Sungguh, betapa aku menyukai senyumanmu itu.
Kamu sudah tampak lebih tenang. Lalu kamu mengemasi barang-barangmu pertanda kita berdua akan pulang. Aku hanya tersenyum melihat tingkahmu. Kamu memanggil seorang pelayan, dan kita berdua membayar tagihan dari apa yang telah kita pesan.
“Vin..” sahutku, kemudian kamu menoleh menunggu diriku berucap.
“Jangan lagi ingin sendirian, Vin.. karena nanti aku juga sendirian, tanpa kamu..” dan kamu tersenyum kembali. Dan saat itu kita berdua tahu, bahwa semuanya akan baik-baik saja.