(2) Revisi

8.2K 464 5
                                    

(Telah direvisi, 25 Oktober 2020)

Seorang gadis yang mulai beranjak dewasa itu tengah melihat refleksi tubuhnya pada cermin yang berdiri tegak, melirik dari atas ke bawah terus-menerus sampai dirasa sudah cukup.

"Bu, Dhira ke masjid dulu, ada pendaftaran buat gabung remaja masjid," pamit Nadhira pada Ningrum, ibunya.

Ningrum yang tengah disalami itu membulatkan matanya maksimal, lalu memegang kening putrinya secara dramatis. "Kamu? Masjid? Kamu kesurupan hantu pohon jambu depan rumah, ya?"

Ningrum masih menatap takjub ke arah Dhira sedangkan yang ditatap memutar kedua bola matanya malas. "Bu, udah telat. Assalamu'alaikum."

"Dhira! Kamu yakin mau ke masjid pake celana yang itu? Itu kan udah bolong-bolong!"

Baru saja Dhira berjalan tiga langkah, teriakan Ningrum mampu membuat niat Nadhira luntur seketika.

"Terus aku pake celana apa dong, Bu? Aku bingung banget. Aku gak punya pakaian yang bisa dipake ke masjid. Tau sendiri di lemari aku kebanyakan baju oblong sama boxer."

Iya, Dhira memang jarang mempunyai baju lengan panjang. Apalagi rok panjang dan kerudung, mau dicari sampai mata juling pun tak akan ketemu.

Kepercayaan diri Dhira semakin menurun, bahkan ia ingin menyerah dan mengurungkan niatnya untuk gabung ke remaja masjid. Namun, bukannya itu belum ada dua persen dari perjalanannya? Walau Dhira terkenal mageran, tetapi jika menyangkut keinginannya, ia akan bertekad untuk mendapatkannya.

Lalu, bagaimana dengan tekad untuk mendapatkan hati lelaki yang dari beberapa tahun lalu sudah berhasil mencuri perhatiannya?

"Ibu punya baju yang bisa aku pake ke sana, kan? Pinjemin aku, Bu, tapi jangan yang tua motifnya, kalau bisa polos aja. Jangan yang kegedean juga, harus pas sama badan aku. Oh, satu lagi, warnanya yang soft biar gak norak dan mencolok, Bu."

Ningrum menatap datar ke arah anaknya, lalu bergegas menuju kamar pribadinya. Ia membuka lemari besar berwarna coklat berbahan jati yang berada di samping meja rias. Ningrum mengeluarkan lima gamis yang sesuai dengan kriteria Dhira, kemudian langsung memanggil anaknya untuk melihat gamis pilihannya.

"Nah, ini bagus, Bu, kayaknya cocok deh kalau aku pake. Eh, tapi berlebihan gak, Bu? Masa cuma ke masjid yang beberapa langkah dari rumah harus serapi ini?" tanya Dhira sambil mengangkat gamis berwarna hijau toska yang lengkap dengan kerudungnya.

Dan ketika melihat gamis serta kerudungnya secara keseluruhan, Dhira langsung menatap horror. Gamis dan kerudungnya itu sangat panjang, bisa-bisa Dhira terlihat seperti melayang karena kakinya tak akan terlihat. Kepalanya juga pasti akan terlihat sangat aneh ketika dibalut kerudung yang panjangnya sampai melebihi pinggulnya.

"Bu, gak jadi, ini panjang banget. Nanti kesannya heboh banget, plus aku bakalan keliatan kayak lagi make sprei ketimbang gamis sama kerudung."

Ningrum tertawa geli mendengar komentar yang diberikan Dhira. Apa-apaan itu? Gamisnya terlihat seperti sprei saking panjangnya? "Dhir, kamu keturunan siapa, sih? Lebay banget jadi anak."

Dhira hanya memajukan bibirnya, ngambek. Membuat Ningrum menghentikan tawanya sambil mengambil gamis yang tadi dibilang mirip sprei. "Nggak, kok. Nanti di sana pasti ada yang make gamis dan kerudung lebih panjang dari ini. Sekarang gamis dan kerudung emang lagi jaman, kok, bisa kamu pake ke mana aja. Percaya sama Ibu."

Akhirnya Dhira menyerah, memilih untuk mendengarkan perkataan ibunya kemudian mengambil gamis serta kerudung yang tadi telah dipilihnya. Ia kembali menuju kamarnya dan segera mengenakan gamis toska itu Seumur-umur Dhira tak pernah memakai pakaian seperti itu, bahkan membayangkannya saja tak pernah. Sepertinya ini adalah hal yang perlu diabadikan karena akan menjadi momen bersejarah dalam hidupnya.

"Bu!!! Ibuuuuu!!!" Nadhira histeris. Teriakannya membuat Ningrum dengan tergesa menghampirinya, khawatir terjadi sesuatu terhadap putri semata wayangnya.

"Eh? Kamu siapa? Ngapain ada di kamar anak saya?"

Hening. Mereka berdua saling menatap tanpa ada satu pun yang mengeluarkan suara. Rasanya tenggorokan mereka saling tercekat karena saking terkejutnya.

"Aku Nadhira, Bu .... Tuh, kan, aneh, kan? Udah, ah, aku gak usah dateng, gak tau mau make baju apa," ucap Dhira sambil membuka jarum-jarum yang tertancap di jilbabnya.

Dan setelah tersadar dari lamunannya, Ningrum dengan cekatan menahan pergerakan Dhira. "Ngapain dilepas, sih? Cepet pasang lagi! Ibu anter sampe depan masjid biar kamu gak malu."

Diantar? Dhira membolakan matanya. Memangnya ia masih anak bocah yang harus diantar karena alasan malu?

"Ya sudah, ayo anterin aku."

Dasar Dhira, lain di hati lain di mulut. Pada dasarnya, Dhira tetap anak rumahan yang akan merasa tak nyaman ketika harus berada di luar zona nyaman.

***

"Assalamu'alaikum."

Dhira mengucap salam sambil berhenti di depan pintu aula masjid. Bisa dilihat tangannya yang sedikit gemetar ketika berada di gagang pintu. Pipinya memanas saat semua mata tertuju padanya, dan kemudian langsung menghembuskan napas lega saat ada satu wanita berjalan ke arahnya.

"Oh, ayo masuk, Ukhti. Acaranya sudah mau dimulai," ucap perempuan yang tidak Dhira kenali. Dhira melihatnya sekilas, dan lagi-lagi ia menghembuskan napas lega karena wanita itu memakai gamis yang lebarnya bahkan melebihi gamisnya.

"Anu, nama aku bukan Ukhti, nama aku Nadhira," jawabnya berusaha sopan dan halus. Kesan pertama harus baik, kan?

Perempuan itu terdiam melihat Dhira, seluruh aula masjid pun ikut hening seketika. Namun, setelah itu hanya terdengar tawa yang membuat Dhira semakin salah tingkah karena bingung harus memberikan respon seperti apa.

"Nadhira, perkenalkan nama saya Risty. Eum, Ukhti itu semacam panggilan untuk saudara perempuan, Dhir," ucap Risty dengan halus.

Pipi Dhira semakin memerah, ia seperti ingin menghilang dan mengubur dirinya dalam-dalam. Kemudian ia menggaruk tengkuk kepalanya canggung. "Iya, sebenernya aku udah tau, cuma biar lucu gitu, he-he."

Risty tertawa kecil menanggapinya. "Yuk, masuk, gak enak diliatin sama yang lain."

Dhira mengangguk, ia langsung berjalan mengekori Risty yang membawanya duduk di sebelah tiga wanita. Rissa, Aisyah, dan Tiwi, yang ternyata adalah teman Dhira ketika di sekolah dasar.

Bahkan Shira baru mengetahui kalau ketiga perempuan itu tinggal di dekat rumahnya. Jangan heran jika ia hanya mempunyai satu teman, Rara. Itu pun karena Rara tinggal di depan rumahnya, pun Rara yang gencar mengajaknya bermain. Kalau tidak, bisa-bisa Dhira hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar sampai matanya rabun.

Omong-omong soal Rara, batang hidungnya benar-benar belum terlihat oleh Dhira. Padahal tujuan awal Dhira ketika sudah sampai di masjid adalah mencaci maki Rara yang sudah meninggalkannya.

Setelah mengedarkan pandangan dan tetap tidak menemukan keberadaan Rara, akhirnya Dhira fokus pada pembawa acara yang sedang membacakan susunan kegiatan. Dan setelah itu, matanya membawa ke arah tiga sosok yang berdiri di belakang pembawa acara. Iya, tiga sosok itu adalah para kandidat calon ketua remaja masjid.

Penglihatan Dhira terhenti pada wajah yang sudah tak asing, ia sibuk memindai pemandangan yang berada jauh di hadapannya. Bagaimana tingkah lakunya, ucapan-ucapannya, kemantapannya dalam membacakan visi-misi membuat jantung Dhira tiba-tiba berdebar dengan cepat.

Ia tersenyum tanpa sadar, merasa bersyukur karena setidaknya diberi kesempatan untuk mengetahui sensasi jantung berdebar akibat melihat sang pujangga.

Dan titik fokus Dhira buyar karena suara notifikasi yang berasal dari ponselnya.

"Cie, sama-sama pakai baju warna hijau. Jodoh jangan-jangan?"

Dhira menatap nyalang ke arah ponselnya, rasa bunga-bunga berganti menjadi rasa emosi yang ingin segera ia tumpahkan. Awas saja Rara, berani-beraninya ia mengirimkan pesan yang membuat Dhira kepedean setengah mati.

*Bersambung*

Mengagumi dalam Do'aku [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang