"Ibu aku berangkat!" seruku sambil mengecup kedua pipi ibuku. Hari ini adalah hari pertama di tahun terakhir sekolah menengah atas, tentu saja semangat masih membumbung tinggi di hatiku.
Aku melangkah santai sambil memilin-milin tali tasku. Sekarang masih pukul 7 pagi, berarti aku masih memiliki waktu satu jam untuk menikmati perjalananku menuju sekolah. Lagipula, perjalanan dari apartemen kecilku yang ada di lantai 4 sampai ke sekolah tidak begitu jauhㅡcukup 20 menit berjalan kaki.
Tanpa terasa aku sudah menyusuri lorong lantai dua saja. Senyumku yang tadinya terlukis di bibir perlahan luntur. Lantai dua, bilik apartemen nomor 218 yang berjarak beberapa langkah dari ujung sepatuku adalah rumah sahabatku. Ia baru saja pindah dua minggu lalu.
Langkahku terhenti menatap pintu rumah yang sudah kosong itu. Benar kata ibuku, ketika sebuah rumah ditinggalkan oleh penghuninya maka rumah itu akan kehilangan nyawanya. Sama persis dengan rumah sahabatku ini.
"Mimpiku terlalu jauh dari sini, sekarang aku akan menjemputnya."
Ah, kata-kata itu terngiang di kepalaku saat membantunya memasukkan barang ke mobil bak. Mimpi dia terlalu besar dan tak cukup untuk ditampung oleh apartemen kecil nan murah ini. Ia harus pindah ke pusat kota untuk mimpinya itu.
Mataku menatap ke lampu lorong apartemennya yang mulai diselimuti debu. Rumah ini memang akan dihuni oleh pemilik baru dalam waktu dekat namun untuk hatiku rasanya tidak akan secepat itu.
"Kau akan melihatku di TV dengan segera, jangan khawatirkan aku."
Aku tidak mengkhawatirkannya, sungguh. Aku hanya akan menyaksikan sepotong kecil hatiku yang kosong lalu mengering oleh waktu sampai akhirnya akan ada orang mengisi tempat miliknya.
Lagipula, TV? Aku ingat ketika aku tertawa terhadap leluconmu itu. Jadi idol? Yang benar saja! Ia yang kukenal hanyalah sesosok anak laki laki berkulit hampir gelap, penggemar sepak bola dan adu panco serta pemakan ramen cup dengan kecepatan tinggi. Ia bukanlah seorang laki-laki yang mau dipaksa untuk latihan hingga dini hari, memasang senyum yang tidak bisa ditebak keasliannya di depan banyak orang, membentuk jari menjadi simbol hati dan mengedipkan sebelah matanya hanya untuk membuat gadis-gadis bersorak.
"Haha, kau kira aku mau seperti itu? Kalau bukan karena keluargaku aku juga tak akan mau."
"Keluarga? maksudnya kebutuhan hidup?" tanyaku saat itu.
Meskipun itu pahit untuk dikatakan namun kenyataannya memang benar. Seluruh penghuni gedung apartemen sempit ini memiliki mimpi yang samaㅡmemiliki penghidupan yang lebih baikㅡ Entah bisa kukatakan beruntung atau tidak, kini kesempatan baik sudah terbuka didepan matanya, memanggil namanya untuk dijemput.
Tanpa sadar aku jadi teringat saat-saat dimana kami berdua harus berlari menerobos hujan deras karena tak memiliki cukup uang untuk naik bus, mengenakan parka tipis ketika musim salju karena harga sandang yang merambat naik atau ketika menatap iri teman lain yang memiliki ponsel keluaran terbaru.
"Kita berdua akan selalu jadi teman. Kita memiliki banyak kesamaan bukan?"
Harus kuakui, kami berdua memang memiliki banyak kesamaan. Kami berdua pun tumbuh dan berkembang di tempat yang sama dengan masalah ekonomi yang hampir sama. Memang betul bahwa kami tidak pernah menderita busung lapar atau hidup gelap gulita karena tak mampu membayar tagihan listrik namun percayalah kami HAMPIR pernah mengalaminya. Bisa dibilang kehidupan kami hampir menyentuh batas awal kemiskinan.
Hal yang membuat kami berbedaㅡselain jenis kelamin dan wajah kami,tentunyaㅡadalah suara yang dibenamkan Tuhan di pita suara kami. Suara dia pula yang membuat hidupnya sejauh ini lebih beruntung daripada aku.
Tuhan membenamkan suara berkualitas tinggi lengkap dengan seperangkat power dan highnote di pita suaranya, tidak seperti milikku. Lagipula, jika aku boleh jujur, wajahnya pun cukup tampan meskipun tertutup oleh kulit tan dan mata cekung khas remaja ekonomi menegah kebawah.
Terlepas dari itu, bukan hanya kepergiannya dari bilik apartemen bernomor 218 saja yang membuatku merasa hampa. Perginya lelaki muda itu menuju ke sebuah tempat bernama asrama agensi itu pun diiringi dengan pulangnya orangtua dan adik-adiknya ke kampung halaman diluar pulau.
Sepi?
Tentu saja!
Aku tidak menyangka jika perginya keluarga keduaku membuat perasaanku merasa sekosong ini.
Aku tak akan bisa lagi mendengar tawa sahabatku yang renyah atau suaranya yang mengalun merdu ketika pelajaran seni di kelas. Aku tak akan bisa lagi menyapa adik-adiknya yang masih SD dan prasekolah saat melewati lorong lantai dua. Aku juga tak akan bisa lagi menikmati makan malam bersama Ayah dan Ibunya setelah belajar bersama di apartemen mereka yang sempit.
Benar kata ibuku, apartemen ini seperti kehilangan nyawanya.
Semenjak ia dan keluarganya pindah.
END-
Author's Bias for this story : Kim Taehyung (BTS)
Yours?ㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡㅡ>Anggi's Note: Gimana? Aneh ya? Hehe. Iya soalnya emang lagi agak-agak writer's block sih wkwk.