TES//5

22.4K 1.6K 29
                                    

Laras terus saja merutuki dirinya. Bagaimana mungkin semudah itu ia mengikuti kemauan bosnya itu.

Yang benar saja. Mereka hanya sebatas pimpinan dan karyawan. Bukan teman ataupun lebih daripada itu.

Kenapa juga dia meminta dirinya memanggilnya hanya dengan sebutan nama saja.

Garra.

Aaaaaaahhhhh teriaknya di atas ranjangnya dengan bantal yang menutupi kepalanya.

Drrrttt drrrt

Terdengar dering telponnya yang berbunyi di atas nakas. Laras tidak langsung menerima panggilan itu. Laras semakin menutup telinganya menggunakan bantal.

"Aaaaahhhhhh" teriaknya kesal saat mendengar suara ponselnya yang terus bernyanyi, Laras meraba nakasnya dan meraih ponselnya tanpa harus bangun dari ranjangnya.

"Berisik" gerutunya lagi.

Kemudian tanpa melihat siapa yang menelpon Laras langsung saja menerima panggilan itu dengan suara kesalnya.

"Hallo" ucapnya kasar.

"Hei Lily, kenapa kasar sekali sih."

Laras langsung menegakkan tubuhnya. Siapa lagi yang memanggilnya dengan sebutan seperti itu.

Ya Tuhan. Karena laki-laki inilah Laras seringkali menyebut nama Tuhan akhir-akhir ini.

"Ada apa?" tanyanya langsung.

"Hanya ingin mengucapkan selamat malam dan selamat tidur" ucapnya santai.

"Aku sudah tertidur dengan nyenyak kalau saja kamu tidak menelponku."
kata Laras berbohong.

"Benarkah? Aku yakin tidur kamu akan semakin nyenyak setelah aku mengucapkannya."

"Kamu benar. Terima kasih dan selamat malam." Laras langsung menutup teleponnya dan langsung merebahkan dirinya lagi di atas ranjangnya.

Telepon kembali berdering cukup lama.

"Halo" kata Laras kesal.

"Kenapa di matiin. Aku belum selesai bicara."

"Mau bicara apa lagi?" tanya Laras putus asa.

"Tidak jadi" ucap Garra Santai.

Laras menggenggam ponselnya erat dan mematikan panggilan tidak penting itu.

Laras berusaha mengatur napasnya dan juga deru jantungnya.

Apa aku harus ke dokter jantung atau ke psikolog batinnya.

Drrrrtt drrrrrt drrrrt

Ponselnya kembali berdering.

"Oh Tidak" gumamnya pasrah. Laras harus mengangkatnya kalau tidak dia akan terus mendengarnya. Dan itu sangat berisik.

"Apa lagi maumu Garra?" kata Laras kesal.

"Garra? Siapa Garra?"

Laras langsung menatap layar ponselnya dengan nanar.

Oh tidak batin Laras.

"Tan.te" ucapnya pelan tapi masih bisa terdengar oleh Tantenya.

"Iya.ini Tante. Dan siapa itu Garra sayang?" tanya Tantenya semangat.

"Bukan siapa-siapa Tante. Oh ya ada apa menelpon Laras jam segini?" tanya Laras.

"Tante hanya merindukanmu. Dan benar Garra itu bukan siapa-siapa? kedengarannya kamu kesal sekali padanya."

"Tante sudahlah, dia hanya mahluk pengganggu. Satu kata untuknya Tante Abaikan."

Terdengar suara Tantenya tertawa di sana. "Bagaumana keadaan Om dan Tony Tante? Kalian baik-baik saja bukan?" Suara Laras terdengar khawatir.

"Mereka sangat baik sampai-sampai tidak membiarkan Tante menonton televisi. Mereka sedang menonton acara bola."

Laras tertawa. "Kenapa nggak nonton di kamarku Tante?"

"Kau lupa ya televisi yang ada di kamarmu rusak. Lebih baik Tante menghubungimu saja. Oh ya benar Garra bukan siapa-siapa kamu?" tanya Tantenya yang kembali kepo.

"Dia bosku di kantor Tante" kata Laras akhirnya.

"Bosmu. Dan dia memintamu memanggilnya hanya dengan sebutan nama?" tanya Tantenya dengan nada tak percaya.

"Ya begitulah." jawab Laras malas-malasan.

"Sepertinya dia menyukaimu sayang" kata Tantenya.

"Tidak mungkin Tante. Dia bos gila" kata Laras.

"Kenapa kamu mengatakan bosmu gila? Apa bosmu laki-laki tua dengan perut buncitnya?"

"Tidak Tante. Orangnya masih muda. Usianya mungkin terpaut tiga atau empat tahun denganku. Laras tidak tahu."

"Apa dia tampan?"

"Tante ganjen sekali sih. Orangnya sangat jelek Tante."

"Masak iya sih dia jelek sayang. Apa kau tidak menyukainya?"

"Tidak. Dia gila."

"Sayang tidak apa-apa kalau kamu mau membuka hatimu sedikit."

"Hati Laras tidak akan di miliki sama siapapun Tante."

Terdengar helaan napas Tantenya di seberang sana.

"Kamu berhak bahagia sayang. Lupakan semuanya."

"Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya Tante. Semua laki-laki itu brengsek." kata Laras emosi.

"Setidaknya kau mencoba dulu sayang. Tidak semua laki-laki itu brengsek seperti papamu."

"Dan membiarkan diriku berakhir seperti mama? Tidak Tante. Itu tidak akan pernah terjadi. Laki-laki itu tidak akan pernah Laras maafkan."

"Jangan merusak dirimu dengan dendam sayang. Kamu berhak bahagia."

Tantenya berusaha menasehati Laras agar melupakan masa lalunya dan mencari kebahagiaannya sendiri. Dia ingin keponakannya menjadi gadis yang periang lagi. Tapi seperti papanya Laras juga orang yang keras kepala.

"Aku tidak akan membalas dendam Tante. Tapi jika kesempatan itu datang maka pembalasanju akan di mulai." kata Laras dengan emosi yang sudah tidak bisa lagi dia tahan.

"Baiklah sayang. Tante hanya mau kamu baik-baik saja."

"Iya. Tante jangan khawatir. Maafkan aku." kata Laras menyesal dengan perkataannya meskipun itu semua benar.

"Iya sayang tidak apa-apa. Kami menyayangimu. Ingat itu."

"Iya Tante terima kasih."

Laras duduk di tepi ranjangnya setelah menutup teleponnya. Di pegangnya dadanya yang terasa sesak. Air mata mengalir di pipinya yang mulus. Matanya menatap kalung berlian milik Mamanya.

Satu-satunya harta yang tidak di jualnya, karena itu adalah kalung kesayangan yang diberikan Mamanya sebelum menghembuskan napas terakhir.

"Maafkan Laras Ma. Laras sayang sama Mama. Laras kangen sama Mama." ucapnya terisak di kamarnya.

Tangisnya pun pecah di kamarnya. Di bawannya kalung itu ke dadanya dan menggenggamnya erat.

Rasa sakit dan penyesalan dalam dirinya menyeruak begitu saja. Tangis yang hampir bertahun-tahun di pendamnya kini mendapatkan pelampiasannya.

"Aku benci kamu Bimo Prakoso. Aku.membencimu." katanya di sela isakan tangisnya dengan rasa sakit yang sangat mendalam di hatinya.

THE EMPTY SOUL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang