Kalimatku selesai namun pemilik telepon di seberang memutuskan sepihak. Wajahku berubah merah, "Kusso!"
Aku melempar tasku sembarangan, menjatuhkan tubuhku ke tempat tidur, dan sesekali duduk sambil menjambak rambutku frustasi.
"Harusnya aku bahagia saja hari ini!" kataku bermonolog.
"Ah kusso! Kusso! Kussoooo!" kali ini bantal-bantalku menjadi korban kebrutalan tanganku yang gatal ingin menghajar seseorang.
Pasti ayah yang mematikan teleponnya, aku yakin sekali. Sebelum meninggalkan rumah, suasana hati ayah benar-benar tidak baik. Aku benar-benar menyulut amarahya hingga membuat hubungan kami merengggang.
"Pokoknya Hana yang menentukan jurusan Hana!"
"Tidak boleh! Sudah berapa kali ayah katakan kau harus fokus jadi atlet!"
"Tapi kenapa, ayah? Hana selalu menurut pada ayah. Dari Hana kecil sampai sekarang ayah yang selalu menentukan apa yang boleh dan tidak boleh Hana lakukan. Hana tidak pernah menolak. Tapi untuk kali ini Hana tidak bisa menuruti ayah."
"Kau terlahir dari keluarga atlet, dalam darahmu mengalir semangat atlet, kau berbakat Hana, kau ditakdirkan untuk melanjutkan tongkat estafet ayah."
"Ayah selalu berbicara takdir takdir takdir. Hana bosan, ayah. Hana bosan takdir Hana ditentukan oleh ayah. Hana ingin menenetukan takdir Hana sendiri. Hana ingin kuliah, Hana tidak ingin jadi atlet!" baru kali ini aku memberanikan diri membentak ayah dengan suara yang begitu melengking. Air mataku tumpah ruah. Ayah terdiam dan ibu yang menyaksikan perdebatan kami ikut menangis.
Ayah terdiam lama sekali. Tidak biasanya dia seperti ini. Aku tahu aku salah, kata-kataku pasti menyayat hatinya.
"O-otou—"
"Baiklah, jika itu keputusanmu maka ayah akan membuat keputusan juga."
DEG
Raut wajah ayah terlalu serius sekarang ini. Matanya menatapku lekat-lekat. Menciutkan nyaliku, membuat was-was menunggu kelanjutan kalimatnya.
"Ayah telah memutuskan..."
DEG
Aku mulai keringat dingin. Keputusan seperti apa yang akan ayah katakan?
"Jika kau benar-benar ingin kuliah silahkan saja. Cari kota lain untuk tempat tinggalmu. Hiduplah sendiri. Jangan pernah mengadakan kontak dengan ayah lagi. Jangan pernah berharap kau akan dijenguk oleh kami. Tiap bulan ayah akan menyuruh ibumu mengirim uang untuk kebutuhanmu. Jangan pikir ayah peduli, kau hanya masih tanggung jawabku. Mengerti?!"
Setelah menyelesaikan kalimatnya, ayah pergi meninggalkanku yang masih mematung. Tidak perlu menunggu persetujuanku, aku tahu ayah tidak pernah main-main dengan perkataannya.
Ah, aku teringat hari itu lagi. Hari di mana aku diberi kesempatan menentukan pilihanku dengan harga yang harus kubayar karenanya. Hari di mana aku mengorbankan keluargaku untuk kelulusan hari ini.
Ayahku memang seorang atlet lari profesional, begitu pun dengan ibuku yang merupakan seorang karateka. Sejak kecil aku sudah dibiasakan olahraga oleh mereka. Mulai dari lari pagi bersama ayah hingga latihan bela diri bersama ibu saat sore. Bedanya, ayah terlalu menekanku sedangkan ibu mengerti titik jenuhku. Sebelum matarahi terbit, aku sudah lebih dahulu lari keliling Yamashita Park bersama ayah. Sebelum latihan bela diri dengan ibu pun aku terlebih dahulu pemanasan bersama ayah. Lagi-lagi lari.
Jujur saja aku menikmatinya. Aku menikmati berolahraga dengan ayah. Aku menghargai tiap detik berharga dengannya. Tapi, tetap saja rasa bosan, lelah, dan butuh kebebasan selalu berkobar dalam jiwa masa mudaku dan ayah tidak mau mengerti itu. Dia tidak mau terima alasan bahkan setelah berdebat lama-lama dengan ibu. Aku selalu berakhir mengikuti kemauannya.
Tapi hari itu aku benar-benar telah jenuh diatur oleh ayah. Usiaku telah matang untuk bisa membedakan mana yang baik dan buruk untukku. Aku mencoba membicarakan rencana masa depanku kepada ayah tapi dia tetap saja keras kepala bahwa pilihannya yang terbaik untukku. Dan di sinilah aku sekarang, sendirian tanpa satu orang pun yang bisa kubagi bahagia dan sedihku saat ini.
"Hana no baka~" umpatku. Kepalaku semakin terasa berat, mataku bengkak minta untuk ditutup.
Di saat seperti ini, ketika aku diabaikan oleh ayahku sendiri, ibu akan ada di sampingku, menenangkan amarahku. Ibu akan membelaku mati-matian, membenarkan aku dan mencoba menasehati ayah. Ibu selalu tahu apa mauku, ibu bisa menebak isi hati anaknya. Ah, andai saja ibu ada di sini.
"Okaa-san..." ucapku lirih. Mataku mulai meneteskan air mata. Rindu menggerogoti tubuhku.
Masih terisak, mataku memejam menutup diri dari penjara realitas.
"Oyasumi..."
Aku berharap hari esok tidak seburuk hari ini.
---TBC---
Kusso : Sial
Baka : Bodoh
Otou-san : Ayah
Okaa-san : Ibu
Oyasumi : Selamat tidur
Terima kasih bagi yang sudah berkenan membaca, vote, dan comment di chapter sebelumnya. Ohiya, bagaimana chapter 4 ini? Kritik saran dan masukan sangat dibutuhkan. Maaf atas update yang teramat sangat lama ini wahahaha kupikir aku tidak punya akun wattpad #dorr xD
KAMU SEDANG MEMBACA
WARNA
Teen FictionMerah, Jingga, Kuning, Biru... dan masih ada ribuan warna yang dicipta manusia. Aku tidak pernah tertarik bagaimana warna-warna tersebut bisa lahir dan hidup berdampingan dengan manusia. Tidak ada yang lebih menarik dari hitam dan putih bukan? Setid...