Nyaris Terenggut

2.8K 155 5
                                    

Hari itu aku hendak berangkat ke Kampus. Sebenarnya memang tak ada jadwal kuliah, hanya saja Panitia Perlombaan Model Rambut Sehat di Kampus menghubungiku kemarin. Mereka memberitahuku bahwa aku terpilih sebagai juara ke dua. Sehingga siang nanti akan ada penyerahan hadiah, pemotretan sekaligus penutupan acara. Setelah melihat bayangan diri dalam cermin, akhirnya aku berangkat mengenakan gaun tanpa lengan hijau toska selutut, dipadukan dengan high heels delapan centimeter dan kalung kecil yang menggantung di leherku. Rambut sebahu yang kubiarkan tergerai menambah kesan anggun. Ditambah lagi kulitku yang terbilang putih dan riasan yang berpadu dengan warna baju, membuatku semakin menarik untuk dipandang. Sebenarnya menurutku riasan ini terbilang menor, sebab selama ini aku belum pernah memakai eye shadowblash on dan mascara. Aku hanya memakai eye linerdan lipstik warna bibir saja tipis-tipis. Tapi karena tuntutan kamera, maka aku memakai riasan lengkap sampai memakai softlens seperti hendak show.

Sebelum masuk bangku kuliah, sebenarnya aku belajar di Madrasah Aliyyah memakai jilbab lengkap, panjang dan longgar. Tetapi banyak yang bilang aku lebih cantik tanpa jilbab. Saat selfie memainkan rambut dan memakai pakaian yang agak ketat, katanya ‘pangling’ dan sangat cantik. Setelah dua tahun kuliah jauh dari orang tua, aku baru berani melepas jilbab. Dan dengan terpilihnya aku sebagai juara ke dua dalam perlombaan ini, ucapan mereka memang terbukti. Meski panitia lomba dan tempatnya diadakan di kampus kami, tapi lingkup perlombaan itu sampai satu wilayah kota. Sehingga perasaan bangga tentu saja hadir ketika bercermin tadi.

Acara penutupan berakhir jam delapan malam. Sebagai bentuk dukungan, pacarku juga hadir mendampingi. Namun tak bisa seperti biasa mengantar pulang, katanya mau ikut main final futsal. Sehingga aku harus pulang sendiri. Meski perasaan takut menghampiri, tapi tetap kuberanikan diri naik angkot. Setelah menunggu agak lama angkot yang agak penuh, akhirnya aku bisa duduk di bangku depan. Entah mengapa duduk di bangku depan, membuatku merasa aman jika dibandingkan dengan duduk di bangku belakang. Terlebih lagi bangku belakang sudah agak sesak. Seiring angkot melaju, sang sopir pun mengakrabkan diri bertanya ini itu kepadaku. Orang yang duduk di depan memang biasa terlihat akrab dengan sopir.

Mungkin memang karena jarak duduknya yang dekat, sehingga tak perlu berteriak untuk berbicara. Setelah lumayan agak jauh, penumpang semakin penuh. Tentu saja hal tersebut membuatku lega, serta aman rame-rame sepert ini. Tapi semakin kesini tak ada lagi penumpang yang naik, hingga penumpang terakhir pun turun. Padahal jarak ke kosanku masih dua kilometer-an lagi. Sang sopir pun mengeluh padaku karena angkutannya kosong. Sementara aku hanya menimpalinya dengan senyuman terpaksa sambil mencoba mengusir kegundahan dan berharap di depan akan ada penumpang lagi yang naik. Tak lama berselang, ia melambatkan laju mobilnya, lalu tangan kirinya memegang tanganku yang sedang memegang souvenir dipangkuan.

Aku kaget dengan perlakuannya dan langsung mengibaskan tanganku. Aku tak berani menatapnya, tapi tubuhku langsung kurapatkan ke tepi pintu. Badanku bergetar hebat saat ia bilang bahwa aku tak usah malu-malu sebab tak ada orang disana kecuali kami. Aku terisak. Lututku lemas. Belum pernah aku merasa ketakutan yang hebat seperti ini. Bingung harus bagaimana, sementara waktu semakin larut. Isakku semakin keras, saat tahu ia hendak meraihku lagi. Lalu di jalan yang gelap dan hanya pohon-pohon besar saja yang tumbuh di sisinya, tiba-tiba mobil berhenti. Aku terkesiap kaget, isakku pun berhenti. Tapi detik berikutnya tanganku reflek membuka pintu mobil, lalu berlari sekencang-kencangnya. Meski beberapa kali terseok-seok karena tingginya high heels yang kupakai, aku tetap mencoba berlari secepat yang kubisa. Kemudian aku mendengar ia berteriak tak jelas dan mencoba menghidupkan mobilnya lagi. Karena perjalananku yang masih satu kilometer-an lagi, sedang ia bisa dengan mudah menyusulku, maka aku melepas high heels yang kupakai. Kemudian aku lari lebih kencang lagi. Kerikil yang tajam dan kerasnya batu yang menusuk kakiku tak kuhiraukan. Aku hanya ingin cepat sampai.

Tak ada seorang pun di pinggir jalan. Dan itu berarti tak ada seorangpun yang bisa kumintai pertolongan. Sambil berlari, air mataku terus mengalir dan tak henti-hentinya aku berdoa memohon perlindungan, hingga kosanku terlihat semakin mendekat.

Setelah sampai di depan gerbang, dengan cepat aku masuk, lalu kuambil kunci pintunya. Dengan badan yang bergetar hebat aku mencoba membuka pintu yang terkunci, sebab dua teman kosku sedang pulang ke rumahnya. Tapi semakin cepat aku mencoba, kunci yang kumasukan tak kunjung masuk. Sambil berurai air mata, aku terus mencoba. Bercampur kesal karena kunci tak kunjung masuk, kuawasi daerah sekitar, khawatir ada suara mobil atau derap langkah yang mendekat. Tak berapa lama kemudian suara mobil yang kutakutkan pun mendekat. Napasku tercekat. Reflek aku merapatkan diri ke ujung tembok, mengawasi siapa yang datang. Tapi ternyata itu Avanza dan terus melaju begitu saja ketika melewati kosanku. Aku menghela napas lega, tetapi badanku masih lemas dan bergetar hebat. Dengan sisa tenaga yang ada, kuraih lagi kunci pintu untuk kembali mencoba membuka pintu. Dan kali ini akhirnya pintu berhasil dibuka. Dengan cepat aku masuk ke dalam dan menguncinya kembali. Lalu aku mengurung diri di dalam kamar yang sengaja kubiarkan gelap dengan sisa ketakutan yang masih mencekam. Dengan lirih dan terisak aku terus beristihfar sambil mendekap diri di pojok kamar menjauhi jendela.

Setelah kejadian itu aku sakit selama seminggu. Selain kakiku yang bengkak tak bisa kulangkahkan, badanku juga meriang. Kedua teman kosku yang besoknya pulang, bergantian merawatku. Mereka bertanya mengapa aku seperti ini, namun setiap mereka bertanya tentang kejadian itu, tiba-tiba ketakutan itu muncul kembali. Aku kembali terisak dan merengkuhkan badanku, karena merasa sopir angkot itu sedang berada di dekatku. Hingga mereka tak pernah menyinggung soal itu lagi.

Setelah bisa berjalan, meski dipapah, pacarku datang menjenguk. Saat itu kondisi emosiku juga sudah mulai stabil, hanya memang belum berani keluar kos saja. Saat duduk berdua, ia kemudian bertanya tentang kondisi dan penyebab aku bisa seperti ini. Tapi aku tak menjawab pertanyaannya, malah meminta dukungan serta mengutarakan niatku untuk kembali berjilbab. Seperti yang kuduga, ia menolak dan melarang keras keputusanku. Ia mempertanyakan mengapa aku harus menutupi rambutku yang bagus serta kulitku yang juga mulus. Ia terus memujiku dan meyakinkankua agar mengubah kembali niatku. Sedang aku hanya terdiam mendengarkannya.

Malamnya kulihat bayangan diri dalam cermin di kamarku. Sambil melihat rambutku yang indah, tak terasa air mataku keluar. Hatiku juga ikut perih melihatnya. Rambut dan tubuh inilah yang membuatku melepaskan jilbab. Membuat orang lain ikut berdosa melihatnya. Kemudian tangisku pecah. Aku hilang kendali. Rasa marah dan jijik terhadap diri, membuatku mencakar tubuhku sendiri secara brutal. Tak hanya itu, aku pun memangkas habis rambutku dengan gunting. Sampai aku tak mengenali lagi bayangan diri dalam cermin. Kedua teman kosku ikut panik karena suara tangisanku yang lumayan keras. Tak lama kemudian mereka bisa masuk mengunakan kunci cadangan. Meski syok dengan keadanku, tetapi mereka mencoba menenangkanku.

Semenjak saat itu aku kembali berjilbab. Banyak yang bertanya-tanya akan perubahanku, tak sedikit yang menyayangkan bahkan ada yang mencibir. Hingga hubungan dengan pacar pun putus. Tapi tekadku sudah bulat. Memangkas habis rambutku adalah puncak kebulatan tekadku. Sebab aku takut melemah lagi setelah melihat keindahannya.

Emosiku sudah stabil sekarang, hanya masih sedikit paranoid saja jika keadaan mulai sepi, apalagi dalam angkutan umum. Tetapi saat ini, semenjak memakai jilbab tak ada lagi yang menggodaku, apalagi berbuat macam-macam. Hanya sahutan salam dan panggilan ‘bu haji’ saja yang terdengar mereka ucapkan. Jelas itu lebih baik daripada perkataan-perkataan menggoda seperti dulu.

Kini aku sadar, bahwa Allah melindungi perempuan dengan jilbab, menutupi keindahan mereka agar tidak mengundang setan untuk merebutnya. Menjaga kehormatan perempuan, agar hanya sikap dan perkataan hormat saja yang harus mereka terima. Memuliakan setiap keindahan yang telah Dia ciptakan pada perempuan, agar tak sembarang orang yang menikmati dan menyentuh keindahannya. Lewat teguran itu aku sangat bersyukur karena tak kehilangan apapun. Dan aku sangat sadar betapa Allah mencintaiku.

Maka, nikmat Tuhan-mu yang manakah yang engkau dustakan?

sumber : http://www.nabawia.com/read/6026/nyaris-terenggut

********************

Semoga kita bisa ambil hikmahnya :') subhanallah.

Proud To Be MuslimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang