Alzheimer

4K 590 202
                                    

Mata mulai terkatup, napas teratur diiringi senyum samar terpancar dari bibir mungilnya. Aku suka tiap kali ia bersandar di dada seraya meremas jaket tebal yang kupakai. Ia butuh istirahat. Di bawah pohon rindang, semilir angin berembus menerbangkan surai putih miliknya.

Awan tebal di atas kepala berlomba menutup matahari dan pancaran sinar membuat suasana makin sejuk. Ia tetap cantik, walau sedang tidur. Pesonanya kuat, mengalahi indah ciptaan Tuhan di luar sana.

Aku ingat pertama kali kami bertemu di perpustakaan umum. Ia tampak bingung di tengah keramaian, maka aku mendekat dan memulai semua. Aku tidak pernah berpikir bahwa pertemuan itu menjadi takdir kami di masa kini.

"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya dengan suara rendah.

Aku menunduk, mengecup sekilas kening penuh kasih. Aku tersenyum simpul, mengeratkan dekapanku padanya.

"Mengenang masa lalu," jawabku pelan. Dia mengangguk mengerti.

"Sudah dingin, sebaiknya kita masuk bila tidak ingin bernasib sial," gurauku. Ia tertawa halus.

Tangannya memeluk tengkukku kuat, kedua mata itu masih terpejam damai. Kukecup lembut sebelum melangkah masuk ke dalam rumah seraya menggendongnya.

🍁

Baskara mencalang dari balik kelabu. Hamparan langit berwarna biru dihias beberapa nyanyian kukila menambah daya pikat membuat aku tak henti mengurai senyum simpul.

"Kau tidak mengajakku?"

Aku menoleh ke belakang. Wanitaku sedang memberengut kesal, perlahan ia berjalan mendekat dan memeluk tubuh ini. Ah, selalu menjadi kesukaanku di pagi hari.

"Aku tidak tega membangunkanmu dari bunga tidur," jelasku menariknya untuk duduk di kursi. Ia mengangguk mengerti.

"Aku lupa di mana letak kacamata semalam," lapornya tiba-tiba.

Senyumku agak memudar, hatiku serasa dilumat berkecai. Aku mengambil kacamata di atas kepalanya kemudian memakaikan untuk menutupi netra.

"Kacamata itu berada dekat denganmu."

Dia tertawa. "Ternyata ia mulai menyerangku lagi."

Aku memilih diam, bahkan lidahku kelu.

"Saat aku lupa semuanya. Aku mau kau mengingatkanku tentang satu hal."

Ia menengadah, menusuk irisku menggunakan mata biru laut damai.

"Aku mencintaimu."

🍁

Keadaannya semakin buruk, semua yang sudah ia lalui langsung terlupakan begitu saja. Beberapa kali ia bertanya mengenai namaku dan siapa aku. Air mata terus aku tahan mati-matian. Semakin lama, perasaanku ketang mencapai level teratas.

"Siapa namamu?" tanyanya untuk kesekian kali. Mata sayu menatapku seperti bius di tengah musim semi.

"Aku Adam, suamimu," jawabku lirih. Ia menganggut sembari tersenyum.

🍁

Esok harinya, kami memilih duduk di kursi taman rumah sakit. Menghirup udara segar. Kepalanya bersandar di pundakku, matanya terpejam tenang.

"Apa aku melupakan sesuatu?"

Aku menautkan jariku dan jarinya, memberi kehangatan walau tak seberapa.

"Kau mencintaiku," kataku mengecup helaian rambut putih itu.

"Terima kasih."

Suaranya tampak dipaksa keluar. Napas juga terengah-engah. Aku mulai gugup, aku mengeratkan genggaman tanganku padanya.

"Apa kau tidak apa?"

Ia diam tak berucap, kemudian aku sadar, bahwa tangannya tidak membalas genggamanku. Kristal bening mulai jatuh dari mataku. Dadaku kosong dan hampa. Hatiku diremas kuat sampai retak menjadi butiran halus. Aku mengecup pucuk kepalanya dalam. Menyalurkan harapan bahwa dia hanya tidur seperti hari sebelumnya.

"Aku juga mencintaimu, Hawa."

🍁🍁🍁

Alzheimer ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang