GREKK.
Lagi-lagi bunyi itu terdengar. Suara seperti furnitur sedang digeser di lantai atas rumahku. Padahal aku tahu jelas tidak ada siapa-siapa di atas. Rumah ini memang sudah tua, sejak jaman nenek dan kakek melepas lajang sampai sekarang. Hampir seratus tahun usia rumah ini. Suara-suara yang tidak ketahuan asal-usulnya kerap terdengar dan sudah dianggap lumrah.
"Bun, ada suara lagi tuh," tetap saja aku selalu berujar ke Bunda tiap kali itu terjadi.
"Asal kita nggak diganggu ya biarkan saja," kata Bunda santai.
Aku manggut-manggut saja. Sejujurnya aku merinding kalau harus sendirian di rumah lama-lama. Bunda sudah biasa karena memang dia dibesarkan di rumah ini bersama kakek dan nenek. Aku baru menginjak rumah ini tiga bulan lalu setelah Oma Martha, adik nenek yang tinggal di sini meninggal. Kami pindah rumah karena Ayah ditransfer ke cabang Jakarta Selatan.
Di satu sisi aku senang karena Ayah sekarang adalah kepala divisi. Di sisi lain, aku sedikit kesal kenapa aku harus pindah sekolah juga? Dari Bekasi ke Jakarta hanya satu setengah jam kalau lewat tol. Teman-temanku juga sudah banyak yang ngekos sendiri. Dasar Bunda kawatiran.
GREKK.
Aduh... Aku bergidik. Ada apa sih di atas? Aku meraih remote yang ada di meja dan membesarkan volume suara TV.
"Nia, kalau berisik Bunda jadi nggak bisa kerja," protes Bunda.
Sambil manyun, aku mengecilkan lagi suara TV.
***
Hari itu aku pulang lebih awal dari biasanya karena guru les yang mengajar ilmu eksak sedang sakit. Biasanya aku sampai rumah sekitar jam setengah enam sore, selalu hampir bersamaan dengan Bunda yang baru pulang kantor. Namun kali ini, matahari masih terik ketika aku masuk ke rumah. Jam digital yang ditaruh di atas rak sepatu memajang angka 3:10.
Aku membuka sepatu dan kaus kaki, menyusunnya dengan rapi di dalam rak sepatu. Bunda akan mengomel kalau aku menaruh alas kaki sembarangan.
"Oi, Nia." Aku berbalik badan mendengar namaku dipanggil.
Ternyata aku nggak sendirian di rumah.
Di ruang keluarga, Kak Andre sedang makan mi instan sambil main handphone. Tumben, batinku. Biasanya Kak Andre hanya pulang di kala weekend. Itu pun nggak selalu.
"Kok tiba-tiba di rumah, Kak?" tanyaku sembari berjalan ke arah sofa.
"Aku mau ambil buku di rumah, ntar balik lagi habis itu," sahut Kak Andre. "Kamu sendiri kok sudah pulang jam segini?"
"Bu Irma sakit, Kak. Jadi hari ini nggak les." Aku melempar badan ke sofa di samping Kak Andre. Tas sekolah yang berat oleh buku-buku pelajaran aku taruh di lantai.
Kak Andre kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta Barat, jadi sebenarnya kalau mau pulang setiap hari bisa saja. Tapi, Kak Andre dengan alasan, 'Jakarta kan macet, Bun, lagipula Andre ingin belajar mandiri,' bersikeras untuk ngekos. Bedanya antara aku dan Kak Andre, dia diizinkan untuk kos sendirian, sedangkan aku tidak.
Kadang-kadang aku berharap bisa masuk kembali ke dalam rahim Bunda dan berganti kelamin menjadi laki-laki.
"Minta dong makanannya, Kak," ujarku. Perutku keroncongan melihat Kak Andre menyeruput mi rebus.
"Enak aja. Masak sendiri sana."
Aku mengernyitkan wajah. "Males, Kak. Capek nih habis jalan kaki. Kak Andre pelit."
YOU ARE READING
Cawan Teh Berhantu
Horror[Oneshot][Horror] Keisengan Nia dan Kak Andre memanggil teror yang menghantui rumah Oma Martha.