First Kiss

61 6 19
                                    

Sore itu, Aku masih asyik membaca Annida. Majalah remaja kesayanganku. Annida banyak memuat kisah islami yang inspiratif. Tiba-tiba, dari luar kamar Mama memanggilku,

"Qhis, Sayang, ada telepon dari Vina," panggil Mama.

"Iya, Mam," jawabku pada Mama.
Aku ambil telepon rumah tanpa kabel itu,

"Balqhis, bisa kerumahku tidak? Sekarang, ya." Suara Vina terdengar lirih dan tidak bersemangat.

Vina adalah sahabat terbaikku, sejak kami duduk di Sekolah Dasar. Jarak rumah kami tidak begitu jauh. Sekitar Lima menit naik angkutan umum.

Rumah Vina sore itu tampak sepi. Rumah besar bercat merah itu, terletak tepat di pinggir jalan. Setibanya di pintu pagar, aku melihat Vina sedang berbicara dengan seseorang di telepon. Raut wajahnya begitu serius dan tegang. Dari balkon kamarnya, dia menyuruhku masuk.

"MASUK, QHIS!" teriak Vina  dari atas.

Aku hanya mengangguk. Membuka pintu pagar. Lalu menyusur jalan setapak kecil di taman anggrek Ibu Vina.

"SUDAH! aku tidak mau dengar apapun lagi. Semua salahmu!"

Langkahku terhenti di depan pintu kamar Vina. Firasatku mengatakan, telah terjadi sesuatu pada sahabatku. Lalu ku buka pintu kamarnya. vina nampak mematikan telepon lalu duduk bersandar di jendela kamar. Di tangannya tergenggam foto Adrian, yang sudah basah oleh air matanya.

Tiba-tiba, Vina melempar foto itu. Amarahnya memuncak. Dia melempar semua benda di sekelilingnya. Vina juga menarik tirai hello kity kesayangannya. Semuanya terurai jatuh. Aku menahan nafas, melihat itu semua. Udara kesedihan meliputi kamar Vina.

Tangis Vina pecah, meraung-raung. Aku mendekatinya, memeluknya tanpa bertanya apa-apa. Aku biarkan tubuh Vina berguncang keras di bahuku. Air mataku pun ikut mengalir.

"Sabar, Vin, Istigfar." Aku berusaha menenangkan hatinya. Mengusap lembut punggungnya. Dan membelai rambut Vina yang kusut masai.

Aku yakin, Masalah yang cukup besar telah terjadi.

"Semua karena Adrian, Qhis," lirih Vina. Dia masih tergugu dalam tangisnya.

"Semua karena ciuman itu. Ciuman pertama yang membuat aku terjatuh tidak berdaya."

Tangis Vina kembali pecah. Rupanya belum hilang sesak yang membuncah di dadanya.

Aku diam, mendengarkannya selesai bicara. Aku tidak ingin  menyela curahan hatinya. Aku membiarkan badai di hati Vina mereda dipelukanku.

"Aku harus bagaimana lagi, Qhis?" tanya Vina padaku.

Vina semakin memelukku erat.

"Hanya kamu yang aku percaya, Qhis. Apa yang harus aku bilang pada Papa dan Mama? Sungguh, Qhis! Aku tidak bermaksud melakukan hal itu. Adrian yang menjebakku karena aku sangat menyayanginya."

Aku melepaskan pelukan ku sesaat, mengusap air mata Vina.  Lalu aku menawarkan cokelat dingin kesukaan dia.

"Aku ambilkan coklat dingin, ya, Vin?"

Vina hanya mengangguk lemah, sambil membersihkan sisa air matanya dengan tissue.

Syukurlah, dia sudah mulai sedikit tenang, pikirku.
Kemudian aku bergegas ke dapur, menyeduh cokelat, lalu menambahkan bongkahan es batu di gelasnya.

"Minum dulu, Vin," ujarku pada Vina. Aku sodorkan gelas Mickey Mouse kesayangannya. Van houten dingin dengan dua sendok gula telah memenuhi gelas itu.

Setelah dia meneguk habis cokelatnya. Aku mengambil bantal dan meletakkannya di senderan tembok Vina.

Kata-kata mengalir dari mulutnya. Aku berusaha menjadi pendengar yang baik untuknya.

"Qhis, kamu lihat ini," ucapnya lirih, "Aku mendapatkan petaka, Qhis."

Vina menyodorkan sesuatu yang di bungkus tissue padaku. Aku membukanya. Dadaku berdebar kencang dan sedikit tegang. Namun, aku harus tetap tenang.

"Astagfirullah! Vin, ini beneran?" Mataku terbelalak, sementara tanganku menutup mulut. Sebatang test pack berstrip merah dua terpampang di hadapanku.

Vina hanya mengangguk lemah. Lalu dia menjelaskan semuanya dengan bibir kelu padaku. Wajah cantik mirip Angelina Jolie itu, kembali berurai air mata.

"Beberapa minggu yang lalu Adrian mengajakku ke villa orang tuanya di Puncak. Dia bilang ada acara ulang tahun kakaknya disana. Namun, setibanya kami disana, villa itu kosong. Dia membuat ruangan romantis di sana.

Lalu, dia menciumku untuk pertama kalinya," Perkataan Vina terhenti sesaat, suaranya seperti tercekat di tenggorokan.

"Aku khilaf, Qhis. Kami melakukan hal itu." Dadaku sesak mendengar penjelasan Vina. Dia kembali memelukku, hijabku semakin basah oleh air matanya.

Sayup-sayup terdengar suara azan magrib, aku mengajak Vina sholat berjamaah. Selesai sholat, Vina masih tersedu disampingku. Aku memahami kebimbangannya.  Satu minggu lagi kami harus menghadapi Ujian Nasional SMA. Bagaimana dia akan melewatinya.

Senja berganti kelam, memekatkan segala yang ada di sekeliling. Aku berdoa, semoga esok hari, Allah masih menerbitkan mentari yang cerah untuk Vina. Setelah Vina tenang dan terelap, aku pamit pulang pada pembantu Vina.
                        **
Esok paginya, dengan berurai air mata, aku berlari menuju rumah Vina. Aku tidak percaya semua terjadi. Vina, mutiaramu memang telah retak. Tapi mengapa kamu melakukan semua ini? Aku menangis memeluk Ibu Vina, yang tergugu didepan jenazah putrinya. Vina memotong urat nadinya pagi itu.

Hatiku menjerit, Vina, Bukankah Allah Maha Pengampun? Dia akan mengampuni Hamba-Nya yang bertaubat. Mengapa?

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 12, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

FIRST KISSWhere stories live. Discover now