Hampa.
Sesak.
Gelap.
Genangan merah senada dengan darah.
Makhluk hidup yang sekarang sudah tidak berdaya.
Runcing pisau digenggaman.
Aku tidak tau.
Kenapa ini bisa terjadi.
Seingatku, aku hanya memukuli mereka dengan palu.
Tapi tidak membunuh mereka.
Sama dengan dua tahun yang lalu.
Menemukan semua anggota keluargaku di ruang tamu.
Namun mereka sudah tidak bisa apa-apa.
Ibu duduk menatap televisi.
Ayah duduk dengan sebuah koran dipangkuannya.
Kakak tertidur di lantai.
Adik yang asik bermain.
Paman yang sedang mengerjakan pekerjaannya.
Dan Bibi duduk disebelah Ibu.
Lalu sekarang hanya tempat dan tokohnya saja yang berbeda.
Semua murid disekolahku asik dengan kegiatan mereka.
Ada yang duduk diam.
Ada yang membaca buku.
Berkumpul dengan teman-temannya.
Bercanda ria.
Membully dan dibully.
Dan lain sebagainya.
Sempurna.
Bagaimana bisa aku menciptakan suasana karya seni seindah ini?
Aku pantas menjadi seniman.
Motifnya indah dan gampang.
Jariku menekan tombol-tombol yang ada di ponselku.
Lalu aku mulai mengucapkan sesuatu saat ada yang menerima panggilanku ini.
"Jln. XXXX, SMA XI. Aku membunuh semua orang yang ada disini. Cepatlah kemari sebelum aku melanjutkan ke semua penduduk kota ini."
Tak lama suara sirine yang sangat kucintai itu terdengar jelas.
Suara berisik di sekolah bergema.
Seseorang menodongkan pistolnya padaku.
Aku hanya tertawa remeh.
"Cepat juga kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Stories Complication
Teen Fiction• Mendekam di masa lalu bukanlah pilihan yang baik. Aku harus segera pergi dan mengunci pintu itu. Lalu pergi mencari masa depanku. • Izaya senang berkelahi. Semua orang menjauhinya dan tidak mempedulikannya. Tapi siapa sangka masih ada yang mau ped...