foreword

3.8K 334 38
                                    

Aku melangkah masuk ke dalam kamar yang gelap itu, jendelanya sengaja tidak dibuka dan membuat aroma di dalamnya jadi pengap. Kakiku menapak di atas lantai yang dingin, meninggalkan sandalku di kamar berusaha tidak menimbulkan suara. Tubuhku gemetar, aku ketakutan. Tanganku bergetar hebat begitu melihat punggung yang berbaring di atas kasur putih itu. Begitu ketakutan sampai aku nyaris menjatuhkan sebuah pisau roti yang kubawa sebagai bekal menuju kemari.

Punggung itu bergerak, aku berhenti melangkah—bahkan aku berhenti bernafas untuk sesaat. Jangan bangun, aku memohon sekali pun aku tahu takdir tidak berpihak padaku akhir-akhir ini. Tapi tidak ada salahnya berharap. Dia tidak bangun. Aku terkejut takdir memihakku kali ini. Aku mengetatkan genggamanku yang mulai basah oleh keringat pada gagang plastik pisau itu, berdiri tepat di sebelah kasurnya. Jantungku melonjak seiring aku mengangkat pisau itu, siap menancapkannya dalam waktu beberapa detik.

Jangan.

Bunuh dia.

Jangan.

Bunuh dia.

Jangan.

Bunuh—

"Rule number one, Baby Girl." Aku tersentak, mataku—yang entah sejak kapan tertutup—kini terbuka dan tanganku sudah berada dalam genggamannya. "Jangan pernah berpikir dua kali untuk membunuh."

Aku meronta, berusaha melepaskan tanganku dan betapa mengejutkan dia melepaskan tanganku semudah itu. Tanganku terayun, ujung pisau itu melukai pipinya membuat garis panjang yang mulai mengeluarkan darah di sana. Pisau itu jatuh, tanganku bergetar hebat. Aku tidak pernah melukai orang dengan cara semengerikan ini sebelumnya.

"Rule number two... nessuna pietá. No mercy." Cakka mengusap darah yang mulai mentes di atas sprei putih kasurnya. "Musuh nggak akan mati kalau lukanya cuma segini."

Aku menatapnya, "aku bukan pembunuh."

"Ah... such a good girl, aren't ya?" Cakka mencemoohku dengan tatapannya, seperti yang biasa ia lakukan. Tangannya turun untuk mengambil pisau yang kujatuhkan, tapi aku menyambarnya lebih cepat. Dia menyeringai puas dengan gerak cepatku, terlebih ketika aku menyembunyikan pisau itu di balik punggungku.

"Gue akan pura-pura kesulitan ambil pisau itu dari lo." Cakka mengendikkan bahu dan aku tahu posisiku sangat tidak menguntungkan. Mengambil pisau itu dari tanganku seperti mengambil permen dari seorang bocah bagi Cakka.

Dia duduk di atas kasur dengan tangan kosong dan pipi terluka sedangkan aku berdiri tegap membawa pisau di tanganku, tapi kenapa sepertinya dia yang memegang kontrol di sini? Cakka mengintimidasiku dengan tatapannya, membuatku nyaris menjatuhkan pisau itu lagi jika aku tidak segera memalingkan wajah darinya, mengabaikan tatapan intens yang ia berikan padaku.

"Gue punya penawaran." Tukasku cepat dan sekali pun aku tidak melihat, aku tahu seringaian itu terbit di wajahnya. Dia tertarik.

"Lo tahu yang paling gue suka."

Aku tahu, aku tahu dia suka bermain-main dengan korbannya, aku tahu dia suka membuat penawaran yang sangat tidak imbang, aku tahu dia suka mencemooh, aku tahu dia suka permainan dengan hukuman, aku juga tahu dia menyukai segala hal yang buruk di dunia ini. Dia tidak waras. Tapi aku tidak akan menang jika tidak mengikuti aturannya.

Pikiranku berubah menjadi sarkas. Memangnya aku bisa menang dari Cakka? Sesaat lalu aku hampir membunuhnya dan sekarang... aku justru menawarkan penawaran yang jelas akan merugikanku? You're pathetic, Ashilla.

"Lo mending buang pisau itu ketimbang lo ngelukai diri lo sendiri kalau cara pegang lo kayak gitu." Cakka mengernyit melihat tanganku yang gemetar memegang pisau. Dia benar.

Tangan Cakka mengenai pinggangku ketika mengambil pisau itu dari balik punggungku, aku tahu dia sengaja menyempatkan menggenggam jemariku yang dingin untuk beberapa detik ketika mengambilnya. Baju putihku kini berwarna merah di bagian pinggang oleh darah Cakka. Aku merasa tidak nyaman dengan luka yang kubuat sendiri di pipinya. Jika dia bukan Cakka, aku sudah pasti berlari mencari obat dan mengobatinya. Tapi aku tidak melakukannya karena dia adalah Cakka... dan aku membencinya. Sangat.

"Spill it." Cakka menarikku duduk di atas kasur, di sebelahnya yang beraroma darah.

Aku menguatkan diriku menatap kedua matanya yang gelap di bawah pencahayaan yang sangat sedikit dalam kamar ini, aku bahkan tidak menemukan pupil matanya. Tanganku masih dalam genggamannya dan aku bahkan tidak bisa menarik tanganku darinya, aku tidak bisa melepaskan diri dari Cakka.

"Aku setuju untuk..." Bibirku gemetar, aku tidak bisa.

"Setuju apa?" Cakka menatapku, seperti serigala menatap kelinci yang ketakutan sebagai mangsanya.

"Me—menikah. Aku setuju menikah... dengan satu syarat!" Aku segera menambahi ketika melihat seringai lebar Cakka persis di depanku. Sebagian kalimat terakhir yang kuucapkan sepertinya bukan hal yang berarti untuknya.

"Spill."

Aku memalingkan wajah. Apa aku bisa melakukan ini?

***

Yep right, this is my next project after 'Season' trilogy. Quite dark? Dark enough? Or... not so dark? You tell me.

Sehubungan dengan bahasa, unsur kekerasan dan sedikit bahasan dewasa (bukan seksualitas, pastinya) di dalam cerita ini nantinya, saya mohon kebijaksanaan pembaca. Saya (mungkin) tidak akan mem-private cerita ini cukup memasukkannya dalam kategori dewasa karena cerita ini masih punya batasannya sendiri (R15+). Tapi bukan tidak mungkin saya akan melakukannya di tengah-tengah cerita nantinya.

Dan maaf kalau 'Hype' tidak memenuhi apa yang kalian (pembaca) inginkan baik dari segi tokoh, alur, sudut pandang, cerita atau genre sekali pun. Please know that i'm not here to fulfill all ur wishes.

.

Ps. cerita ini sebenarnya mau saya post bulan depan, but I'm quite happy right now so... ya, berbahagialah bersama saya:)

.

With love, V 

HYPE (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang