4 : Rendezvous

1.2K 177 17
                                    

Shilla menggigit bibirnya supaya tidak menangis di depan Alvin yang tangannya baru saja dibalut perban entah berapa lapis untuk menghentikan pendarahan dari lukanya yang dijahit. Peralatan di klinik itu terbatas, tidak banyak yang bisa diharapkan dari klinik desa itu. Masih untung perawatnya percaya begitu saja ketika Shilla mengatakan itu peluru nyasar ke tangan Alvin.

“Kita harus ke rumah sakit.” Shilla bergumam, tangannya menyentuh lengan Alvin yang dingin. Ia tidak tahan harus melihat Alvin terus menerus meringis dan menahan suaranya untuk tidak merintih kesakitan, “kamu butuh anti nyeri.”

“Aku butuh istirahat.” Alvin menggigit bibirnya setelah bersuara. Matanya terus terpejam sejak mereka tiba di klinik yang sepi itu.

“Apa nggak sebaiknya dibawa ke rumah sakit?” Perawat yang membebat luka Alvin datang dengan segelas air putih, membantu Alvin untuk minum dengan cekatan.

“Apa harus?” Shilla bertanya.

“Lukanya sudah dibersihkan dan ditutup, seharusnya itu sudah cukup. Beberapa hari lagi lukanya akan mengering. Tapi akan lebih baik kalau dibawa ke rumah sakit. Kasian dia kesakitan, di sini nggak ada pereda nyeri.”

Shilla menatap Alvin yang sudah menutup matanya dengan lengannya yang tidak diperban, tapi Shilla tahu ia belum tertidur. Tidak dengan nyeri yang begitu hebatnya.

“Alvin, please.” Shilla rasanya sudah tidak peduli lagi jika memang Cakka akan menemukannya toh ia percaya apa kata Sion, ke manapun ia bersembunyi, Cakka akan menemukannya semudah membalikkan telapak tangannya sendiri.

“Bisa kasih aku waktu istirahat? Please.”

Shilla menyerah menghadapi penolakan itu, ia menatap perawat yang juga menatapnya itu. Wanita paruh baya itu tampaknya mengerti, “semoga lukanya cepat kering. Jangan banyak dipakai beraktifitas untuk beberapa hari ke depan. Kalian boleh di sini, klinik ini buka duapuluh empat jam. Perawat yang berjaga besok pagi akan pastikan lagi keadaan lukanya. Saya usahakan dapat obat-obatan dari rumah sakit di kota.”

“Terima kasih.” Hanya itu yang bisa Shilla katakan ini.

“Saya ada di ruang jaga kalau Alvin butuh sesuatu.”

Perawat itu meninggalkan bangsal dan menutup tirainya kembali setelah keluar, meninggalkan Shilla dengan Alvin yang keadaannya begitu menyedihkan. Besok keadaannya akan ditinjau lebih lanjut, apakah ia butuh tambahan darah, apakah lukanya membaik atau memburuk, apakah ia masih memerlukan obat-obatan. Shilla hanya berharap semuanya baik esok hari. Setidaknya, Alvin masih tetap hidup.

“Bertahanlah, oke?” Bisik Shilla mengusap rambut Alvin yang basah oleh keringat.

Alvin tampak lebih rileks ketika ia akhirnya bisa tertidur. Shilla menggenggam tangan Alvin yang dingin karena tidak ada apapun di sini yang bisa ia gunakan untuk menghangatkan tubuh Alvin yang dingin. Menatap tangannya yang menggenggam Alvin, ia baru sadar tangannya sendiri masih penuh dengan darah Alvin yang sudah mengering. Begitu juga dengan baju yang ia pakai. Darah Alvin dimana-mana.
Shilla menyembunyikan wajahnya di balik telapak tangannya yang sejak tadi gemetaran dan terisak. Trauma itu masih ada di dalam dirinya. Suara tembakan itu, melihat orang terluka dan darah dimana-mana. Semuanya masih begitu jelas meski dua tahun sudah berlalu sejak ia meninggalkan kenangan buruk itu di rumahnya. Hari demi hari ia lalui untuk menyembuhkan dirinya dari trauma dan ketakutan, namun bayangan mengerikan itu selalu datang di mimpinya. Bahkan dalam lamunannya. Terburuk, Cakka selalu ada di sana. Menatapnya, mengingatkannya bahwa ia akan menemukan Shilla. Ia tidak ingin mempercayai mimpinya, bagaimana pun mimpi hanyalah mimpi. Tapi teror itu terus membayanginya, sampai detik ini.

HYPE (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang